Membaca Opini Jawa Pos (Rabu, 9 Oktober 2019) berjudul Joker Adalah Kita, mengingatkan pada sosok yang serupa tapi tak sama. Sosok itu adalah Sengkuni. Apalagi dampak film yang begitu masif di masyarakat.
Layaknya, hero yang didewa-kan. Hal itu menggugah keterasingan budaya lokal, atas fenomena yang selayaknya tak perlu terlalu ditanggapi gagap oleh para kaum (yang merasa) pesakitan. Perlu mengingat alam pembacaan dan merefleksikannya, agar tak begitu gagap fenomena keglamoran alam luar.
Berangkat dari wabah yang melanda penggila film akhir-akhir ini, sangat mengejutkan. Joker sang Comedian Sosioopat menjelma hero yang dikagumi oleh banyak orang. Tak lupa, hastag “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” menghujam ke-iba-an. Hal itulah yang menjadi kegaduhan masyarakat. Pada akhirnya timbullah efek Plasebo. Seolah-olah obat kekecawaan pada dirinya.
Sosok yang serupa pun sangat dikenal di kebudayaan kita. Sosok yang datang dari jagad pewayangan itu bernama Harya Suman, atau lebih dikenal sebagai Sengkuni. Sosok itu pun mengalami kekecewaan teramat dalam. Pertama, Sengkuni kalah perang tanding dengan Pandu.
Kedua, Dewi Kunti wanita idamannya menjadi istri pandu. Dia sangat cenburu dengan hal itu. Ketiga, Sengkuni merasa kecewa karena kakaknya yang bernaman Dewi Gendari dicampakkan Pandu. Malah, dihadiahkan kepada kakaknya Destrarata. Sengkuni sangat dendam kepada pandu. Hingga, melakukan tindak pelampiasan kepada seluruh keturunan Pandu yaitu Pandawa.
Sengkuni yang akhirnya menjadi sosok licik, culas dan penghasut menjadi pribadi pengadu-domba. Tanpa menggunakan tangannya, Sengkuni dapat membunuh target sasaran. Caranya dengan mengadu domba target dengan pihak lain. Sangat licik untuk ditaklukkan.
Sedangkan, Joker mengalami sebuah kekecawaan hingga menyebabkan kebencian. Dendam terhadap pengalaman buruk yang pernah dialamnya menjadi titik kekejiannya. Orang yang terlampau diremehkan orang, berusaha tampil untuk mendominasi kelas.
Jadilah, suatu teror Joker untuk menjadi Orang jahat yang baik (red:ahli). Joker pun digambarkan mengalami gangguan penyakit pseudobulbar affect (PBA), sehingga antara sedih dan senang reaksi tubuhnya hanya gelak tawa menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kedua sosok ini secara semiotik merupak simbol kekecewaan. Sampai tersabdanya promise kedua sosok untuk -menentang adanya kedamaian. Terus berbuat, demi menebus sakitnya pengalaman ketertindasan.
Satu hal yang perlu diingat, Joker merupakan representasi kekejaman yang sangat kuat dipertontonkan dalam adegan film. Hingga, menimbulkan kontrofersi atas penanyangan filmnya di bioskop.
Seperti 20 Juli 2012 lalu, mahasiswa kedokteran Universita Colorado melakukan teror penembakan, terinspirasi sosok Joker dalam film. Tanggapan lain pun dilakukan para dokter dan pengajar Universitas Airlangga Surabaya yang beralih tugas menjadi kritikus film untuk menganalisis psikodinamika sosok Joker (Jawa Pos, 8 Oktober 2019, hal 15). Begitulah pro-kontra tanggapan film Joker.
Menepis Kekhawatiran
Sebetulnya, dalam menonton film tentunya harus berbekal sudut pandang harapan terhadap film yang akan ditonton. Semisal, saya sendiri pertama kali menyaksikan trailer film Joker otomatis teringat sosok Sengkuni yang memiliki ceritra hidup yang hampir sama. Sosok yang menjadi jahat atas pengalaman buruknya di masa lalu.
Filter pikiran analitis pun harus digunakan. Untuk, meminimalisir konfrontasi pikiran atas visualisasi dari apa yang kita lihat. Sehingga, efek distorsi yang membangkitkan alam bawah sadar mengenai pengalaman buruk si Joker tak mempengaruhi kehidupan nyata kita.
Sosok Joker pun harus dianalis mendalam. Bagaimana sosok tersebut digambarkan, darimana asal-usulnya, hingga pesan apa yang ditawarkan pembuat film. Setiap yang melihat pasti mempunyai presepsi yang berbeda-beda terhadap film tersebut. Saya melihatnya pun sama. Joker adalah bentuk perlawan ideologi sosial terhadap kapitalis yang saat ini berkuasa.
Serupa Tapi Tak Sama
Joker dan sengkuni adalah satu kesatuan yang dipersatukan oleh rasa kekecewaan yang teramat dalam. Sosok Joker (mental) dan Sengkuni (fisik) pun cacat oleh ulah dari orang lain. Berawal dari itulah kedua sosok itu melakukan tindakan amoral untuk melampiaskan kekecewaannya. Hingga, berubah menjadi tragedi mengerikan.
Bedanya, Sengkuni adalah seorang patih licik yang berada dilingkaran pemerintahan. Nama Sengkuni pun sangat akrab digunakan sebagai simbol pejabat pemerintahan yang merugikan. Hal itulah yang menjadi trend Indonesia untuk menyimbolkan pejabat yang merugikan.
Sedangkan Joker adalah rakyat yang terhimpit oleh keadaan. Terlihat dari satu adegan kali terakhir Joker bertemu dengan psikiaternya. Psikiater itu mengatakan bahwa layanan sosialnya akan terhenti. Karena pemerintah memangkas dana yang ada di berbagai departemen, termasuk dana layanan sosial. Hingga, Joker tak dapat lagi mendapatkan konsultasi psikiater dan obatnya.
Joker adalah nama kartu yang sangat dikenal dalam jagad perjudian. Dinggap sebagai jurus pamungkas dalam permainan kartu. Sedangkan, Joker dalam film adalah rakyat yang terhimpit oleh kekecewaan. Serupa itu, kekecewaan Joker (dalam film) pun dapat dijadikan alat gerak masif dan tendensius mengkritisi baik sistem maupun kekuasaan.
Maka dari itu perlu ketenangan atas keterhanyutan arus “viral”. Buktinya, Kearifan budaya Indonesia pun memiliki Joker lokal yang bernama Sengkuni. Mungkin, tak banyak lagi yang membaca kasusastraan lama kekayaan Indonesia. Jadilah, kegagapan begitu cepat melanda bangsa. Yang takut tak berani menonton, yang terinspirasi lekas menyiapkan sublimasi.
Masihkah kita gagap-gempita?