Aceh merupakan wilayah yang menerapkan konsep syari’at Islam berdasarkan Undang-undang No. 44 Tahun 1999 [1]. Ibarat pisau bermata dua. Provinsi yang memiliki julukan Serambi Mekkah ini merupakan pelopor atas formulasi syari’at Islam dalam bentuk perundangan untuk penerapan di kehidupan keseharian, sehingga kelak dapat dijadikan sebagai permodelan bagi daerah lainnya yang mayoritas beragama muslim. Namun dengan catatan bahwa formalisasi tersebut mampu mencurahkan hasil yang gemilang yang rahmatan lil alamin [2]. Industri pariwisata termasuk dalam 9 (sembilan) indikator sektor ekonomi, antara lain: 1) pertambangan, 2) industri, 3) perminyakan, 3), 4) konstruksi, 5) perkebunan, 6) pertanian, 7) perikanan, 8) logistik, dan 9) transportasi barang, dimana seluruh sektor tersebut secara bersama-sama diharapkan mampu meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) [3]. Sebenarnya essay ini akan lebih menarik bila pembahasan melebar ke seluruh sektor tersebut, namun karena penulis berkeinginan mengemas tulisan ini menjadi lebih ringan dibaca, maka pada kali ini hanya menyuguhkan satu tema yaitu tentang industri pariwisata teruntuk kota Banda Aceh. Khususnya tentang penawaran konsep wisata kecantikan sebagai upaya peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Pentingnya sektor pariwisata yang mendatangkan wisatawan dari berbagai suku dari dalam negeri dan dari negara asing ke suatu Aceh akan mengakibatkan terjadinya percepatan pergeseran budaya yang signifikan akibat banyaknya interaksi yang terjadi dengan orang-orang dari luar. Yang benarnya bila ditelusuri seksama memang Aceh dahulunya merupakan wilayah perdagangan internasional yang sudah terbiasa berinteraksi dengan negara asing diantaranya Portugis, Arab, China, dan lainnya menurut jejak sejarah [4].
Masalah Pariwisata di Aceh
Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dalam sektor ril kepariwisataan sedang mengalami berbagai tantangan dan permasalahan yang harus segera dijawab terutama karena dampak pandemi covid 19 yang telah menyebabkan terjadinya penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi (yang berazaskan keadilan). Penurunan tersebut dapat dilihat dari sektor pariwisata, karena dengan adanya pembatasan wisatawan yang masuk, maka secara otomatis sudah pasti akan menurunkan PAD di sektor pariwisata yang didukung oleh data BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa terhitung sejak bulan Januari sampai Desember tahun 2020 terdapat sejumlah 10.402 orang dengan penurunan jumlah kunjungan lebih dari setengahnya, yaitu sebesar 69,82 persen bila dibandingkan pada tahun 2019. Kemerosotan perekonomian akibat pandemi covid 19 bukan hanya terjadi di Indonesia, namun tentu saja juga terjadi di seluruh dunia [5]. Adapun permasalahan lainnya di Aceh adalah harus diakui bahwa pemberlakuan syari’at Islam berupa hukuman cambuk di depan umum memunculkan kesan horor dan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) di dunia internasional [6] bagi calon wisatawan domestik dan luar negeri yang akan berkunjung ke Aceh, hal ini dikarenakan kurangnya kejelasan informasi mendetil atas perundangan tersebut di media massa dan adanya stigma berupa kekekejaman atas pemberlakuan hukum cambuk tersebut [7]. Dan tentu saja investor kesulitan untuk melirik Aceh untuk melakukan investasi secara besar-besaran.
Seluruh tantangan dan permasalahan industri sektor pariwisata ibarat sungai mengalir yang akan bermuara di laut dengan permasalahan klasiknya yaitu bagaimana upaya peningkatan PAD melalui sektor kepariwisataan. Namun karena Aceh memiliki kekhasan atas pemberlakuan syari’at Islam, maka dia mempunyai tantangan dan permasalahan tersendiri yang berbeda dengan provinsi lainnya. Bisa jadi pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan jalan melirik Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, telah mencapai target SDGs (Sustainable Development Goals) [8]. Bisa juga berkaca dari berbagai negara Islam lainnya yang sedang menerapkan konsep wisata halal. Dari berbagai literatur memang sudah banyak penelitian di Aceh yang mengkaji mengenai konsep wisata Islami yang dapat dengan mudah ditemukan di google scholar. Namun apalah arti sebuah konsep apabila akar permasalahan kepariwisataan itu sendiri tidak diselesaikan terlebih dahulu. Seperti sekali dayung dua pulau tak terlampaui.
Semua orang memahami bahwa syarat keberhasilan pariwisata bukan hanya persoalan keindahan alam itu sendiri yang ditawarkan, melainkan adanya ketersediaan infrastruktur yang baik dan lengkap, kondisi sosial masyarakat yang menunjang kepariwisataan, keamanan dan ketiadaan pungutan liar, pemahaman serta kesadaran masyarakat atas pentingnya lingkungan, peran entrepreneur, R n D, dan lainnya. Hal demikian berlaku di Aceh. Tanpa adanya pembangunan berkelanjutan yang berkualitas yang berwawasan lingkungan, maka semua konsep kepariwisataan akan menjadi gagal. Jadi, tidak akan berarti konsep yang terbaik sekalipun apabila pada akhirnya tidak dapat dibumikan di Aceh. Sama halnya dengan kesulitan membuminya konsep dahsyat dari Bapak Ekonomi, Adam Smith (1776) mengenai tidak diperlukannya rasa terimakasih yang besar atas jasa yang ditawarkan oleh si pembuat roti yang dibandingkan dengan jasa para guru terbaik di dunia timur. Di dunia timur nilainya tidak akan ternilai. Sebagai contoh kemubaziran waktu dan usaha di lapangan terkait pariwisata semisal ingin melakukan upaya konservasi penyu di Pulau Weh, Sabang. Namun kondisi sosial masyarakatnya tidak mencintai lingkungan seperti perilaku tidak membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan pemisahan sampah organik dan non organik, tidak menjaga terumbu karang, tidak tertib dalam hal penangkapan ikan dan berbagai perlakuan yang tidak melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan lainnya.
1001 Jalan menuju Roma untuk Kepariwisataan Aceh
Dimana ada kekuatan disitu ada kelemahan dan sebaliknya. Oleh karena itu atas keberuntungan kondisi yang ada di Aceh saat ini antara lain keberlimpahan biota termasuk ikan-ikan terbaik di laut, tanah yang subur untuk bercocok tanam, ketersediaan buah-buahan tradisional terutama mangga dan manggis, masyarakat yang memegang teguh adat istiadat serta adanya formulasi syari’at Islam untuk menuju falah. Maka penawaran yang dapat dipertimbangkan untuk kepariwisataan Aceh yang dapat menjadikan kekuatan baginya yang sudah mulai mapan karena dorongan formulasi syari’at Islam adalah wisata medis dan kecantikan yang menjamur seperti di Gangnam, Seoul, Korea Selatan. Perawatan tersebut antara lain: analisis kulit, baby face cell theraphy, terapi relaksasi kulit, pengobatan rambut rontok, penggunaan berbagai peralatan laser yang canggih yang didatangkan dari berbagai negara maju, dan lain-lain. Saat ini Korean Tourism Organization (KTO) juga masih terus menerus menggalakkan jenis wisata ini. Nusa Dua Bali merupakan pioner di Indonesia yang sudah memulai wisata medis dan kecantikan. Namun Aceh akan tetap dapat menjadi pioneer dengan adanya tawaran pembedanya yaitu konsep kehalalan. Menurut pengamatan penulis, tawaran ini memiliki pertimbangan antara lain sebagai berikut:
- Aceh merupakan salah satu provinsi yang ibaratnya merupakan salah satu gudangnya perempuan cantik nan eksotik di Indonesia. Walaupun kecantikan bersifat relatif, namun ukuran standar kecantikan dapat dibuat, misalnya: memiliki kulit putih seperti orang Eropa dan berkulit hitam seperti orang India keling, berhidung yang mancung dan khas, warna mata yang khas, perilaku yang tegas nan berterus terang yang merupakan simbol manusia yang jujur. Dengan menyediakan jasa kecantikan di ibu kota provinsi Aceh yaitu kota Banda Aceh, maka akan semakin mempercantik perempuan Aceh dan mentampankan laki-lakinya yang memang sudah relatif banyak yang tampan. Tujuan wisata kecantikan dengan penggunaan teknologi dari seluruh dunia antara lain dari Eropa, Korea, Jepang, dan lainnya akan menyerap wisatawan terutama wisatawan domestik untuk mengunjungi Aceh, yang pada akhirnya akan meningkatkan PAD. Kepercayaan masyarakat atas syari’at Islam yang diterapkan akan dapat meningkatkan kesediaan mereka berkunjung ke Aceh untuk melakukan pengeluaran wisata kecantikan. Karena saat ini kebersihan dan treatment atas kecantikan sudah menjadi kebutuhan yang sangat dibutuhkan.
- Adanya kemungkinan formulasi syari’at Islam yang dapat dijadikan sebagai model bagi wilayah lain di Indonesia apabila mampu menjawab seluruh tantangan pembangunan semakin kompleks. Penulis sepenuhnya mendukung sepenuhnya atas formulasi syari’at Islam secara kafah di Aceh, namun dengan menambahkan adanya hukuman pemotongan tangan bagi pelaku korupsi, dikarenakan kemunduran generasi sebagai akibat moral hazard tersebut. Ilustrasinya untuk membersihkan kaca maka sebaiknya dari atas ke bawah atau yang dikenal dengan top-down, namun bila hal tersebut sulit untuk dilakukan, maka dapat melakukan jemput bola dengan sistem buttom-up.
- Kenyataan bahwa banyaknya calon wisatawan terutama wisatawan lokal yang mempertanyakan tentang hukum cambuk atas implementasi qanun jinayat di Aceh. Sehingga diperlukan kajian ulang untuk hal tersebut. Bila demikian yang harus dikaji ulang adalah implementasi dari hukum cambuk. Tawaran solusi untuk masalah hukum cambuk ini adalah: 1) dikaji dan dicarikan kembali jalan keluarnya oleh para ulama, akademisi, dan stakeholder yang concern terhadap masalah tersebut, antara lain yang memahami keilmuan kebijakan publik, ekonomi makro, ekonomi regional, dan lainnya, 2) demi kemaslahatan bersama, maka negara dapat memaksa pemberlakuan lokalisasi dengan persyaratan yang sangat ketat, 3) bisa jadi perpaduan hasil dari antara solusi pertama dan kedua, sebagai jalan tengah. Dan sebaiknya hukuman mati juga dipraktekkan bukan hanya untuk para bandar narkoba yang telah mengakibatkan kerugian atas generasi sebelumnya, saat ini dan ke depan, namun teruntuk para koruptor. Dan Aceh merupakan permodelan utama, memiliki kunci untuk membuka pintu selebarnya untuk melaksanakan hal tersebut, karena memiliki kekuatan dengan adanya Undang-undang No. 44 Tahun 1999. Proses pembangunan harus mampu melakukan dari bawah (bottom-up). Apabila korupsi tidak dapat dicegah dari atas, maka wajib bagi daerah yang memiliki keistimewaan untuk mendorong hal tersebut, sehingga akan terjadi pepatah lama gayung bersambut.
- Kondisi kebersihan lingkungan dan perilaku masyarakat belum terlaksana secara kafah. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, bahkan Aceh merupakan cermin bagi wilayah lainnya di Indonesia. Dengan landasan Islam, seharusnya memiliki kemampuan menjadi leading atas berbagai ide go green. Salah satu hal yang sudah dilakukan di Aceh adalah dimana kampus Universitas Syiah Kuala sudah melakukan penerapan go green di kampus dengan pemberlakuan tidak menggunakan plastik di saat wisuda offline yang digantikan dengan membawa wadah botol minuman.
- Belum adanya bioskop dan mall yang relatif besar, sehingga banyaknya para pejabat yang ke luar daerah terutama ke Medan di saat hari libur atau tanggal merah. Dengan menjamurnya fasilitas wisata kecantikan, maka akan menekan jumlah uang yang keluar Aceh di saat libur atau tanggal merah, karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penentuan lokasi liburan sangat ditentukan oleh istri dalam suatu rumah tangga.
- Data BPS menunjukkan bahwa wilayah Aceh yang tidak begitu luas yaitu sekitar 57.956,00 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 5371532 juta jiwa memungkinkan kontrol atas kemungkinan adanya pungutan liar terhadap sektor industri pariwisata untuk wisata kecantikan akan menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kota besar lainnya yang lebih luas dan padat.
- Wisata medis dan kecantikan merupakan alternatif untuk kota Banda Aceh, selain program pembangunan desa yang saat ini massif dilakukan di seluruh Indonesia.
Keseluruhan tawaran dengan berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di atas sesungguhnya telah mengandung konsep Pentahelix yang dirumuskan oleh Helix, hanya saja hal pokok yang membedakannya adalah aplikasi di lapangan. Karena hemat penulis, Pentahelix concept ditemukan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh penemunya yang merupakan konsep yang sering digunakan sebagai strategi pengembangan wisata, dimana penulis telah membahasnya secara sederhana pada tulisan sebelumnya di researchgate [9] yang memberikan ilustrasi bahwa buah Jamblang yang tumbuh di Jaboi di Sabang dapat dijadikan sebagai daya tarik melalui adanya festival pembuatan makanan yang berbahan buah tersebut antara lain: rujak Jamblang, asinan Jamblang, sambal Jamblang, sirup Jamblang, nasi pedas Jamblang, dan lainnya. Pentahelix yang merupakan konsep Helix terdiri dari 4 (empat) pondasi yang dapat diterapkan sebagai upaya pengembangan sektor kepariwisataan yang saling mempengaruhi satu sama lain antara lain: accessibility, attractiveness, convenience, dan ancillary. Dan pijakan pemerintah untuk masa pemulihan pandemi covid 19 adalah Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Pasal 6 yaitu penangggulangan bencana dengan memberikan perlindungan kepada korban dengan memberikan keadilan [10].
Kesimpulannya adalah teruntuk Aceh terutama kota Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi Aceh yang merupakan kampung halaman kedua bagi penulis setelah kota kelahiran, menjamurnya wisata kecantikan berupa salon dan lainnya yang terkonsentrasi di ibu kota merupakan upaya yang sangat layak dalam tataran ide yang dapat mendorong terjadinya peningkatan PAD.
Referensi:
[1] “Aceh dan Syariat Islam,” 9th Conf. Asia Pacific Sociol. Assoc., vol. Juni 13-15, pp. 1–20, 2014, doi: 10.31219/osf.io/q5b8n.
[2] R. Adawiyah, “Makna Islam sebagai Agama Rahmatan Lil Alamin Perspektif Partai-Partai Islam Periode 2014-2019 (Studi terhadap Pernyataan Petinggi Partai Islam dalam Menanggapi Isu SARA),” Imtiyaz J. Ilmu Keislam., vol. 3, no. 2, pp. 129–149, 2019, doi: 10.46773/imtiyaz.v3i2.53.
[3] T. Indonesian, “The Indonesian,” no. December. Hal Hill Australian National University, Australia, 2000, [Online]. Available: google.book.
[4] M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, II. DKI Jakarta: Obor Publisher, 2014.
[5] S. R. Baker, R. A. Farrokhnia, S. Meyer, M. Pagel, and C. Yannelis, “How does household spending respond to an epidemic? consumption during the 2020 COVID-19 pandemic,” Rev. Asset Pricing Stud., vol. 10, no. 4, pp. 834–862, 2020, doi: 10.1093/rapstu/raaa009.
[6] W. Aditya, D. Ali, and S. Suhaimi, “Pencegahan Jarimah Khalwat di Kota Sabang,” Media Syari’ah, vol. 21, no. 2, p. 188, 2020, doi: 10.22373/jms.v21i2.2491.
[7] A. Rahman, “Sistem pemerintahan berbasis syariat islam di indonesia (studi kasus penerapan qanun jinayat di pemerintah provinsi aceh),” KAIS Kaji. Ilmu Sos., pp. 91–107, 2020.
[8] Arief AY, Keadilan untuk Pertumbuhan, II. Bandung: Universitas padjadjaran.
[9] H. S. Manap and U. S. Mekkah, “The Important Factors that Influence Tourism Development in Sabang The Important Factors that Influence Tourism Development in Sabang,” no. April, 2019.
[10] D. Herdiana, “Rekomendasi Kebijakan Pemulihan Pariwisata Pasca Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Kota Bandung,” J. Master Pariwisata, vol. 7, p. 1, 2020, doi: 10.24843/jumpa.2020.v07.i01.p01.
Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Terapan Universitas Padjadjaran. Dan dosen FKIP Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.