Akhir-akhir ini publik dibuat resah mengenai masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat merasa sudah tidak punya harapan ketika kisruh revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mencuat. Jika kelak disahkan, UU baru ini disinyalir berpotensi membuat para koruptor bebas dari jeratan hukum.
Apalagi, ketika ada seseorang yang tercatat melakukan pelanggaran etis terpilih sebagai ketua KPK, makin remuk redam perasaan rakyat. Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua orang wakil ketua (Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang) lalu memberikan sinyal jelas bahwa tidak ada harapan di KPK.
Kekisruhan ini pun diperparah oleh tutur kata Denny Siregar. Pria Batak penulis buku ‘Tuhan dalam Secangkir Kopi’ ini malah menyebarkan berita yang tak bisa dipertanggungjawabkan, bahwasanya KPK telah disusupi oleh Taliban, nama yang populer disematkan kepada kelompok teroris lawas asal Afghanistan.
Tak cuma itu, Hasanuddin Abdurrakhman atau yang akrab disapa Kang Hasan, seorang Eksekutif di Perusahaan Jepang yang juga penulis di Geotimes, ikut mengomentari seorang sosok yang ia rasa turut menanam saham dalam silang sengkarut kali ini:
“Itu Prof. Eddy Hariej yang nuduh komisioner KPK mengintimidasi hakim, dia siapa sih? Kok omongannya langsung dipercaya sebagai fakta? Lha, kenapa nggak tunjuk hidung aja langsung? Ajaib deh, seorang profesor kok mendiamkan intimidasi, tidak lapor ke polisi, malah membeberkannya dalam pidato. Ini profesor atau buzzer?”
Professor Eddy Hiariej selama ini dikenal publik sebagai Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada. Dengan posisinya yang terhormat itu, Kang Hasan menilai bahwa tak seharusnya beliau melemparkan bola panas begitu saja ke tengah masyarakat. Jika ada dugaan bahwa terdapat Komisioner KPK yang melakukan praktik intervensi terhadap jalannya persidangan, hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu Korps Bhayangkara.
Kita tak tahu apa motivasi Professor Eddy yang sesungguhnya. Mungkin saja beliau merasa bahwa KPK sudah terlindungi oleh stigma bahwa “siapa yang mengkritik KPK adalah kompatriot koruptor”. Jadi tentu merupakan tindakan ceroboh apabila mencari-cari masalah dengan KPK. Akan lebih menggelikan lagi andaikata Professor Eddy sudah membawa kasus ini ke meja hijau sedangkan saksi yang akan ia hadirkan, jadi ciut mentalnya karena dirundung oleh mereka yang membela KPK.
Namun yang ingin penulis bahas disini adalah, apa Professor Eddy salah, jika bersikap seperti Buzzer?
Sebenarnya, melemparkan dugaan kasus yang melibatkan politikus maupun lembaga negara kepada media ataupun khalayak, bukan hal yang baru. Andreas Fischer-Lescano, guru besar Hukum dari Universitas Bremen, Jerman pun pernah melakukan perbuatan serupa.
Ketika itu beliau tengah mengerjakan ulasan untuk jurnal Kritische Justiz, sebuah jurnal beraliran Sosialis (Kiri). Ulasan yang beliau pilih, mengenai Disertasi Doktoral berjudul Verfassung und Verfassungsvertrag. Konstitutionelle Entwicklungsstufen in den USA und der EU” (Konstitusi dan Perjanjian Konstitusi. Tahap perkembangan Konstitusi di Amerika dan Uni Eropa) yang ditulis oleh menteri pertahanan Jerman dari Partai Konservatif, Christliche Democratische Union in Bayern (CSU) yaitu Karl Theodor Maria Nikolaus Johann Jacob Philipp Franz Joseph Sylvester Buhl von und zu Guttenberg.
Ketika sedang mengerjakan ulasan tersebut, Professor Fischer-Lescano menemukan terdapat beberapa paragraf dalam disertasi tersebut yang tak dilengkapi catatan kaki. Ia makin terkejut ketika menemukan beberapa indikasi penjiplakan dari sebuah koran Swiss berhaluan Liberal Klasik yaitu Neue Zürcher Zeitung.
Menemukan fakta mengejutkan seperti itu, Professor Fischer-Lescano tak semerta-merta langsung menghubungi Universitas Bayreuth, tempat disertasi itu ditulis, melainkan ia malah melempar dugaan itu pada surat kabar dari kampung halaman sekaligus basis partai zu Guttenberg sendiri yaitu, Süddeutsche Zeitung, yang berpusat di Munchen, Bayern.
Barulah dari sana, Süddeutsche Zeitung mengklarifikasi hal tersebut kepada Universitas Bayreuth. Namun dampaknya fatal, karena kasus tersebut sudah terlebih dahulu diserahkan pada media, maka bukan hanya gelar doktor zu Guttenberg yang ditarik, namun ia juga harus kehilangan posisi sebagai menteri pertahanan Jerman. Padahal ia sempat digadang-gadang sebagai calon Kanselir Jerman di masa mendatang.
Disini jelas Professor Fischer-Lescano bertindak sebagai buzzer. Menurut penuturan ayah penulis, Dipl.Ing. Sutjahjo Mukadi yang merupakan alumnus Universitas Bremen, memang universitas tersebut didominasi oleh tenaga pengajar yang berhaluan Sosial-Demokrat. Apalagi kota Bremen sejak lama, menjadi lumbung suara bagi Partai Sosial Demokrat Jerman.
Professor Fischer-Lescano bahkan sejak awal ingin menulis untuk jurnal Kritische Justiz yang berhaluan kiri. Karenanya wajar jika beliau pada akhirnya memiliki visi operatif guna meretas jalan bagi tumbangnya karier zu Guttenberg. Karena bagaimanapun zu Guttenberg, adalah politikus yang berbeda haluan ideologi dengannya. Tumbangnya zu Guttenberg tentu menguntungkan para simpatisan Sosial-Demokrat yang mendominasi wilayah Jerman Utara.
Memang, tindakan seperti ini berpotensi meresahkan beberapa pihak, termasuk Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Jakarta. Beliau merasa, nuansa pengaruh politik golongan (politik), dewasa ini terasa mempengaruhi suasana kampus dan antar tenaga pengajar. Beliau menyebut fenomena ini sebagai krisis atmosfer keilmuwan.
Tapi seperti yang kita lihat, Jerman sendiri, negara dunia pertama, guru besarnya pun masih ada yang dengan jahil melakukan manouvre politik untuk merusak reputasi politikus yang berbeda haluan. Karenanya, jika Professor Eddie sesekali ingin katakanlah mengedepankan pandangan politik, masih bisa dimaklumi.
Yang terpenting tentunya bagi semua akademisi adalah mengembangkan dunia keilmuwan Indonesia dengan rajin menulis buku maupun jurnal dan memperhatikan kesejahteraan anak didik, jangan sampai ada mahasiswa yang karena kesulitan menulis tugas akhir, menjadi terjebak dalam eskapisme nir-faedah. Semua ini, agar atmosfer keilmuwan Indonesia tidak terjerat dalam krisis tak berujung.