Sabtu, April 20, 2024

Agnes, Indonesia dan Kita

Wildan Pramudya
Wildan Pramudya
Senior researcher and head of the research division at Indonesia Indicator (i2)

Mari kita buka tulisan ini dengan pertanyaan: siapa kita? Pertanyaan sangat sederhana, namun, jawabannya mungkin tidak sesederhana yang kita bayangkan.

Soal ke-siapa-an ini ternyata cukup kompleks, karena ini menyangkut sebuah pengakuan bagaimana kita mengada dalam dunia (eksistensi). ”Ketepatan” bereksistensi membuat kita meraih pengakuan positif, katakan saja mulai dari soal mendapat pujian, status dan posisi sosial tertentu, atau kemanfaatan secara materi dan finasial dari lingkungan dunia yang kita hidupi.

Sebaliknya, jika cara mengada kita dipandang “kurang tepat” oleh lingkungan kita, dapat dipastikan mendapat pengakuan negatif, seperti cemooh, ekslusi atau penyingkiran, hingga pengasingan yang memiliki daya ungkit kerugian yang lebih besar.

Soal kompleksitas ke-siapa-an kita, kita ambil contoh yang ringan dan masih segar peristiwanya: heboh Agnes Monica (Agnes). Barawal dari viral wawancara Agnes di YouTube yang mengatakan bahwa dia sama sekali tidak memiliki darah Indonesia, melainkan Jerman, Tionghoa dan Jepang.

Menurutnya, ia hanya (numpang) lahir di Indonesia. Tak pelak, pernyataan pelantun Matahariku — yang belakangan mencoba peruntungan karir di US – menjadi kontroversi. Ada yang pro-Agnes, ada yang kontra. Seperti biasa, pandangan yang kontra atau negatif memiliki energi yang lebih kuat dalam menarik perhatian publik.

Bukan Indonesia? 

Jika kita mencermati wawancara lengkapnya, sesungguhnya tidak ada kekeliruan mendasar dari pernyataan Agnes. Dia hanya menyampaikan fakta genetis bahwa dia tidak memiliki darah Indonesia, melainkan mewarisi darah Jerman, Jepang dan Cina.

Atas dasar genetis itu, menurut peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, pernyataan Agnes sama sekali tidak salah. Herawati mendasarkan pandangannya dari hasil penelitian pemeriksaan DNA yang dibandingkan dengan pola migrasi sejak 60 ribu tahun lampau.

Merujuk pendapat Herawati, tampaknya Agnes memang bukan berdarah Indonesia. Kalaupun kita anggap dia harus berdarah Indonesia, itu pun porsinya hanya 30 persen, yakni dari warisan darah Cina dengan merujuk pada gelombang migrasi ketiga yang terjadi sekira 30 ribu tahu lampau, yakni peristiwa migrasi manusia Taiwan, turun dari Cina daratan ke Filipina hingga ke Nusantara, lanjut ke Madagaskar dan seterusnya.

Sangat wajar ketika dia kurang mengakui darah Indonesianya, karena secara genetik darah Indonesia tidak dominan. Kalau pun Agnes harus dipaksa mengakui berdarah Indonesia, mungkin pengakuan yang lebih tepat dan proporsional bagi dia, dengan menyitir ungkapan anak zaman now: dia tuh memang Indonesia, tapi bukan Indonesia bangeeet!

Lalu, mengapa kemudian publik menjadi sangat reaksioner, ramai, heboh, baper lalu mengecam Agnes?

Penyebabnya satu: pernyataan Agnes mengenai fakta genetis ini diinterpretasi secara politis oleh publik. Yang awalnya semata perkara pemaparan fakta urusan darah dan DNA bergeser ke persoalan Indonesia sebagai bangsa. Pada titik inilah reaksi berlebih naik kepermukaan.

Muncullah segala label negatif, sinis dan kecaman ke jidat Agnes. Interpretasi politis itu membingkai Agnes sebagai individu yang tidak tau berterima kasih sebagai anak bangsa, tidak nasionalis, lupa kacang pada kulit, lupa jati diri, dlsb.

Labeling mengalir mulai dari warga biasa, sesama artis, seniman, politisi hingga pengamat dan akademisi. Di kalangan politisi, ambil contoh Fadli Zon, yang menyebut Agnes Malin Kundang.

Sedangkan dari kalangan akademisi, ada sosiolog, Imam Prasodjo menyebut Agnes mengidap gejala denial syndrome, rendah diri, tidak cukup pede mengakui sebagai bangsa Indonesia. Tidak ketinggalan rekan sesame artis, Dian Sastrowardoyo – dalam kicauannya di twitter — mendaku menciptakan “teori identitas” bahwa rendahnya rasa bangga sebagai bangsa pada Agnes terjadi karena sempitnya wawasan kebudayaan.

Pertanyaannya, apakah memang kita wajib sangat bangga sebagai Indonesia? Katakan saja sebagai indentitas nama.
Sedekat ingatan saya, nama Indonesia itu baru muncul pada tahun 1850, sebagai usulan dari James Logan, seorang berkebangsaan Skotlandia yang menjadi editor majalah Penang Gazette. Nama Indonesia diusulkan untuk menyebut Kepulauan Hindia yang kala itu menjadi jajahan Belanda. Selanjutnya, nama Indonesia dipopulerkan oleh seorang Etnolog Adolf Bastian yang berkebangsaan Jerman.

Artinya, nama Indonesia bukanlah ciptaan anak bangsa sendiri. Apakah kita bangga dengan Indonesia yang bukan ciptaan kita sendiri?

Alih-alih merasa bangga, Pramoedya Ananta Toer, begitu terang menolak menggunakan Indonesia sebagai indentitas nama. Hal itu tercermin dalam Bumi Manusia. Pram lebih memilih menyebut Dipantara atau Nusantara ketimbang Indonesia. Pram menolak nama Indonesia, karena baginya nama Indonesia menanggung beban representasi dan sejarah kebusukan kolonial.

Siapa pun dan apa pun. Kembali pada pertanyaan: siapa Kita? Kita adalah siapa pun dan apa pun. Bisa kita bayangkan begini: ke-siapa-an kita ini — katakanlah — terbentuk dari semacam tebaran data di semesta, entah partikel, energi, warna, peristiwa dan sebagainya yang kemudian diambil dan unduh oleh kesadaran, oleh pikiran bawah sadar dan bahkan oleh bagian terdalam nan gelap diri kita: ketidaksadaran.

Seluruh data dan peristiwa yang diproses oleh struktur dan level kesadaran tersebut membentuk dan mengidentifikasi kita. Kita sebagai siapa pun dan apa pun.

Sebagai siapa pun, kita mengidentifkasi sebagai warga negara, sebagai bangsa, sebagai artis, politisi, pengamat, seniman, dan lainnya. Lalu sebagai apa pun, kita bisa mengidentifikasi sebagai tanaman, warna tertentu, simbol, bahkan binatang.

Identifikasi diri sebagai binatang sangatlah mungkin dan terbukti nyata. Ingat, dalam pilpres kemarin, banyak orang bangga mengidentifikasi diri dan orang lain sebagai cebong, kampret dan yang terakhir kadrun (kadal gurun).

Jadi, sangat aneh dan lucu ketika kita tersinggung, marah dan mengecam Agnes hanya karena dia tidak mengidentifikasi diri berdarah Indonesia, melainkan berdarah Jerman, Jepang dan Cina, sementara sejak pilpres lalu — bahkan tersisa hingga sekarang — kita mengidentifkasi diri dan orang lain sebagai cebong, kampret dan kadrun.

Persona dan Sang Bayangan

Ke-siapa-an kita dengan identifikasi sebuah nama (misal: Agnes), sebagai bangsa, anggota ormas, artis, seniman, politisi, mahasiwa dan sebagainya hanyalah semacam “topeng” hasil seleksi dan kreasi yang kemudian disetujui kesadaran untuk tampil ke permukaan (baca: publik). Ini yang kemudian oleh Carl Jung disebut dengan Persona.

Namun demikian, Jung mengingatkan kita bahwa Persona hanya bagian kecil dari struktur ke-siapa-an kita, karena masih ada bagian terdalam yang jauh lebih besar dan kompleks, yakni ketidasadaran kolektif berupa gambaran-gambaran, symbol dan representasi lainnya yang bersifat primitif yang memiliki energi besar, kuat namun berpotensi destruktif. Jung menyebutnya sebagai Shadows atau sang Bayangan.

Sang Bayangan kita atau Shadows ini kerap muncul dalam bentuk penggambaran binatang seperti ular, harimau, buaya, monster yang menakutkan serta penggambaran aneh dan menjijikkan lainnya. Kesadaran kita cenderung menyeleksi ketat lalu menolak, menyangkal sang Bayangan ini, karena bersifat simbolik, acak, tidak terpahami.

Maka itu, shadows kerap muncul dalam bentuk letupan-letupan kecil hingga ledakan emosi yang sangat besar, yang berpotensi mengakibatkan gunjangan kejiwaaan jika terjadi di tingkat individual, atau konflik dan tragedi kemanusiaan jika terjadi pada ruang hidup sosial yang lebih luas.

Begitu juga dengan Indonesia. Indonesia adalah Persona ketika kita bicara soal Pancasila, lagu Indonesia Raya, Presiden, DPR, Timnas, pemerintah yang membagikan sertifikat tanah, Kartu Indonesia Pintar, gotong royong dan tampilan perwajahan yang baik lainnya.
Namun ingat, Indonesia juga tidak bisa melepaskan dari shadows atau sang bayangan dirinya yang destruktif, mulai ujaran kebencian segitiga cebong-kampret-kadrun, hingga persekusi Ahmadiyah, penculikan dan pembunuhan aktivis 98, konflik berdarah Dayak-Madura, Tragedi Ambon-Poso, Pembantaian 65 dan masih banyak lainnya.

Akan tetapi – sebagaimana dikatakan Jung — bayangan Indonesia ini cenderung dilupakan, disangkal, diseleksi dan tidak disetujui untuk tampil sebagai Persona Indonesia.

Artinya, pada bagian ini, Indonesia telah menyangkal dirinya sendiri. Tidak mengakui dirinya sendiri. Jika Indonesia bisa menyangkal dirinya sendiri, Agnes pun bisa. Pada saat diwawacara, sangatlah mungkin yang disangkal oleh Agnes adalah sang Bayangan Indonesia, bukan Indonesia sebagai Persona.

Agnes adalah Indonesia, Indonesia adalah Agnes. Keduanya sama-sama mampu menyangkal sang Bayangan, bayangan dirinya. Itulah Agnes, itulah Indonesia, begitulah kita.

Wildan Pramudya
Wildan Pramudya
Senior researcher and head of the research division at Indonesia Indicator (i2)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.