Tahun 2022 sudah memasuki senja. Besok, kita memasuki tahun baru 2023. Bagi yang diberikan peluang waktu berupa umur. Hal yang membahagiakan bagi mayoritas rakyat bahwa 2022 menjadi endemi dari Covid-19. Masyarakat di kota maupun desa tak lagi terkunci dengan protokol kesehatan yang bukan saja menghambat kelajuan gerak fisik semisal hasrat untuk berdarmawisata ke pelbagai tempat tapi juga dihantui oleh ancaman stres mengingat penyakit ini sudah merenggut banyak nyawa di Tanah Air, termasuk orang-orang yang dekat dan yang kita cintai.
Satu hal yang menjadi catatan penting pada 2022 bahwa banyak cendekiawan dan pendekar ilmu di Tanah Air yang berpulang ke hadirat Ilahi, di antaranya adalah Yahya Muhaimin, Buya Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Remy Sylado dan juga Ridwan Saidi. Tanpa mengesampingkan wafatnya tokoh-tokoh besar lain dalam dunia bisnis, politik, dan lain-lain, mangkatnya kaum intelektual bangsa menunjukkan tercerabutnya akar ilmu satu demi satu.
Meski tokoh-tokoh muda sudah siaga meneruskan cita-cita dan perjuangan mereka, tapi yang pasti mereka tidak bisa tergantikan. Sekalipun kita yakin bahwa patah tumbuh hilang berganti atau hilang satu tumbuh seribu, tapi figur-figur sekaliber Buya Syafii Maarif atau Azyumardi Azra, sebagai misal, susah dicari penggantinya sungguh pun bukan berarti mustahil. Tahun 2022 betul-betul menjadi tahun duka cita bagi anak bangsa yang memakrifati ilmu dan kearifan.
Implikasi publik atas berpulangnya para cendekiawan ini, dalam skala tertentu, senada dengan apa yang menjadi ciri khas dari lakon-lakon William Shakespeare. Kenapa lakon-lakon tragedi Shakespeare mengambil orang-orang besar, katakanlah raja atau pangeran, sebagai tokoh-tokoh utamanya?
Jawabannya karena kematian seorang besar akan memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat sekitarnya, termasuk rasa takut dan iba yang dirasakan masyarakat. Kematian seorang petani, misalnya, dianggap tidak berdampak apa-apa bagi munculnya rasa takut dan iba dibandingkan dengan kematian seorang pangeran. Sebaliknya, kesalahan dan kematian seorang pembesar bisa mempengaruhi kehidupan suatu bangsa dan kesejahteraan sebuah kerajaan.
Jadi, kejatuhan seorang raja sudah barang tentu melahirkan efek yang sangat kontras, dibandingkan hal sama yang terjadi atau melanda orang-orang biasa saja. Singkat kata, bisa dikatakan bahwa lakon-lakon Shakespeare adalah kisah penderitaan luar biasa yang menggiring kepada kematian kalangan atas.
Bukan bermaksud untuk mengabaikan kehadiran rakyat jelata atau orang-orang kecil yang kerap tidak atau jarang menikmati privilege kekayaan, kekuasaan, bahkan keturunan, wafatnya para cendekiawan disebabkan memiliki efek meluas layaknya para pembesar yang ditulis Shakespeare dalam banyak lakonnya.
Wafatnya para ilmuwan dan kaum cendekiawan adalah sebuah kehilangan besar bagi sebuah masyarakat. Sebab para cendekiawan adalah penggenggam hikmah yang mengubah masyarakat ke arah lebih baik, lebih maju dan lebih sentosa yang dimulai dengan mengajak warga berpikir dan menyentuh perasaan mereka sehingga tergerak berbuat.
Wafatnya para cendekiawan itu memengaruhi khalayak, sebab ilmu atau pengetahuan yang mereka ajarkan dan wariskan tak pernah pudar. Memberi uang bisa berkurang bagi pihak yang memberikan, tapi berbagi ilmu justru makin bertambah, baik buat pemberi maupun penerima. Yang berbagi ilmu dipastikan pemahaman dan ‘berkah’-nya bertambah, sementara yang menerima ilmu beroleh sesuatu yang baru.
Kita ambil contoh dua orang cendekiawan Muslim (yang kebetulan sama-sama orang Minang) yakni Ahmad Syafii Maarif dan Azyumardi Azra. Apakah kita benar-benar kehilangan mereka? Apakah kepergian mereka sebagai kehilangan besar bagi bangsa dilihat dari kelebihan mereka yang di atas rata-rata, kontribusi mereka yang memang diakui semua segmen masyarakat tanpa peduli latar belakang agama, suku dan etnis? Ukuran-ukuran ini perlu kita resapi supaya kita sadar bahwa kehilangan mereka, sebagai kalangan cendekiawan bahkan guru bangsa, sulit tergantikan.
Mari kita lihat sosok Syafii Maarif. Sungguhpun belatar belakang sebagai ketua umum Muhammadiyah, tapi sosok dan reputasinya mengorbit di segenap lintasan agama dan suku mana pun. Absennya wajah eksklusifitas pada sosok Buya Syafii menjadikannya pemimpin di hati agamawan dan pemeluk agama apa pun di Tanah Air. Tarikan kekuasaan—untuk menjadi anggota parpol ataupun jabatan komisaris basah—tak membuatnya tergiur.
Buya berlaku istikamah untuk mengingatkan siapa pun yang lupa, meluruskan yang bengkok dan membangunkan siapa pun yang tertidur. Ketokohannya sudah melewati batas-batas partai, kekuatan finansial dan sekat-sekat agama. Figur macam ini makin hari makin langka tatkala banyak pihak makin merapat kepada oligarki dan makin membanggakan eksklusivisme demi kepentingan jangka pendek. Sebaliknya, sosok Buya Syafii Maarif adalah manusia ‘kaya jiwa’ yang bagi banyak orang kehadirannya menyejukkan, tatapan matanya penuh persahabatan, dan auranya penuh dengan kedamaian.
Akan halnya Azyumardi Azra, banyak yang kaget atas kehilangannya mengingat usianya masih belum sepuh (belum sampai 70 tahun). Bisa dikatakan Azra adalah cendekiawan Muslim berkaliber internasional, pikiran dan pendapatnya menjadi langganan media massa asing, dan sejarawan Muslim yang kelas dunia yang sulit dicari tandingan dan penggantinya.
Tapi, beliau tidak hanya sibuk di ranah refleksi tapi juga berada di tataran aksi. Beliau setiap melakukan kaderisasi ilmuan-ilmuan muda untuk melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri (surat rekomendasinya dianggap ‘sakti’ agar diterima di kampus-kampus terbaik dunia) dan aktif mengampanyekan Islam Indonesia yang moderat. Wajar beliau diganjar dengan sekian penghargaan, seperti gelas ‘Sir’ dari ratu Inggris maupun penghargaan tertinggi dari kekaisaran Jepang.
Baik Buya Syafii maupun Azra sama-sama terikat dengan tradisi intelektual yang sama, yakni terus menulis kapan dan di mana saja hingga akhir hayat mereka. Puluhan buku dan ratusan atau ribuan artikel mereka menjadi sumber pencerahan sampai kapan pun bagi anak-anak bangsa.
Para cendekiawan yang sudah pergi telah memenuhi takdir mereka memandu rakyat di bumi pertiwi ini. Kepergian mereka adalah kedukaan mendalam bagi kita. Namun warisan intelektual mereka tetap lestari bagi insan-insan yang pikirannya ingin tercerahkan dan hatinya mau terbuka.