Masih ingat dengan kasus pemerkosaan salah seorang mahasiswi India pada tahun 2012 hingga menyebabkan kematiannya?
Ada cerita menarik tentang kasus tersebut, yakni pelimpahan kesalahan yang ditujukan pengacara terdakwa atas korbanitu sendiri. Hal ini pun seolah bercermin kepada kasus Baiq Nuril yang seharusnya menjadi korban malah menjadi tersangka.
Jika pengacara atas kasus di India (korban tidak disebutkan namanya, cari: Pengacara Manohar Lal Sharma) menyatakan bahwa kesalahan penuh terdapat di korban itu sendiri. Dia mengatakan bahwa “tidak benar jika wanita terhormat akan keluar malam,” dan itu yang menjadi alasan terjadinya pemerkosaan.
Beda dengan kasus Nuril, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dalam keputusan MA 26 September 2018, Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana, “Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Diluar keprihatinan tentang korban yang menjadi tersangka, meruntut pada kasus Nuril, ada sisi kebenaran dan kesalahan dalam putusan MA tersebut dilihat dari sudut pandang rasional. Pertama, dalam kasus tersebut, MA memutuskan berdasarkan kasus yang dilaporkan oleh pelapor, dalam hal ini Muslim, Kepala SMAN 7 Mataram. Secara kebetulan, kasus yang dinaikkan Muslim mendapatkan dukungan dari UU ITE Pasal 27 ayat (1).
Lantas salahnya darimana? Nuril sendiri kan sebagai korban kekerasan seksual, meskipun sebatas verbal saja? Inilah yang menjadi kesalahan Nuril.
Kedua, Nuril sendiri yang seharusnya menjadi korban pelecehan verbal, seharusnya berani melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Seandainyapun kasus tersebut tidak diproses, dia bisa meminta bantuan Komnas Perempuan. Alih-alih melaporkan, Nuril malah memberikan haril rekaman percakapannya kepada temannya. Itulah kesalahannya.
Ketiga, jika benar yang menyebarkan adalah teman Nuril, yakni Imam. Maka kasus tersebut harusnya memutuskan Imam yang paling bertanggung jawab. Tapi, siapa yang melaporkan Imam? Tidak ada. Karena mereka sudah terlanjur terperosok dalam jurang dendam satu sama lainnya.
Seperti yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise, dia menyesal atas langkah Nuril yang tidak langsung melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau kepala dinas terkait di NTB saat merasa menjadi korban pelecehan seksual.
Keempat, tidak adanya kepastian hukum tentang kekerasan seksual secara verbal. Itu mengapa dalam kasus ini Nuril mendapatkan nilai minus dari segi mana pun. Andaikan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah disahkan, maka kasus ini akan berhenti dan mampu memenjarakan pelaku kekerasan seksual.
Patutkah kita menyalahkan DPR akan lambatnya pengesahan rancangan undang-undang tersebut? Secara logika, kita boleh menyalahkan mereka yang bertanggung jawab akan lambatnya pengesahan undang-undang yang dinaungi Komisi VII DPR tersebut. Atau tidak?
Apa yang menjadi dasaran lambatnya pembahasan tersebut?
Sodik Mudjahid, Wakil Ketua dari Komisi VIII menjelaskan bahwa selain memasuki tahun politik, pembahasan tentang kekerasan seksual verbal menjadi luas. “Mungkin di satu sisi sebagai bukti kecintaan, keprihatinan, tapi masalah jadi meluas, bukan jadi mandek, tetapi jadi lambat,” terangnya.
Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, mengatakan bahwa kondisi darurat kekerasan seksual terjadi bukan hanya karena jumlah kasusnya yang banyak, juga penanganan kasus tersebut juga sangat buruk. Akibatnya, korban sulit untuk mendapatkan akses terhadap kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Dalam naskah akademik dan draft RUU yang dirancang oleh Komnas Perempuan, diatur secara rinci penanganan kasus kekerasan seksual. Ada delapan bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual versi Komnas Perempuan. Adapun bentuknya adalah perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Sedang Valentina Sagala, Koordinator Jaringan Pekerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) menyatakan setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang termasuk dalam pelecehan seksual dalam RUU PKS ini.
Pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi.
Kemudian ada perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual. Dari jenis ini, Valentina menjelaskan bahwa pelecehan seksual bukan hanya diartikan dalam bentuk fisik dan hubungan badan.
“Jadi pelecehan seksual itu bisa dalam bentuk fisik maupun tidak. Kemudian kita tidak memakai kata persetubuhan dan pencabulan, supaya maknanya tidak sempit soal fisik belaka tapi melainkan ada faktor psikis dan mental yang perlu diperhatikan,” ucapnya.
Atas dasar pernyataan tersebut, tidak salah sebenarnya Komisi VIII menyatakan bahwa masalah tersebut menjadi meluas. Sedang para pengacara dalam sebuah kasus selalu mengutamakan bahasa dalam mencari celah. Andai Komisi VIII langsung mengesahkan dengan tanpa membahasnya secara hati-hati, pasti akan ada saja korban selanjutnya. Tapi tidak harus semena-mena menyalahkan pengacara yang membela yang salah. Karena sudah tugas mereka membela kliennya, yang menurutnya dianggap tidak bersalah.
Kembali pada pertanyaan tentang seberapa penting RUU PKS itu, diharapkan semua bakal pelaku pelecehan seksual akan bepikir kembali dalam melakukan kejahatannya. Namun kembali harus dibahas secara hati-hati. Emosi boleh, hanya ketelitian dan kehati-hatian juga sangat diperlukan.
Seperti UU ITE, dulu banyak pihak yang memaksa untuk segera disahkan. Setelah disahkan, kembali memakan korban. Tidak perlu mencari siapa salah siapa benar, setidaknya, atas pengesahan UU tersebut, mampu meminimalisir adanya upaya pencemaran nama baik, meski ada yang belum memahami. Salah seorangnya mungkin Nuril itu sendiri.
Sebagai manusia awam yang buta akan hukum, sebaiknya tidak langsung menghakimi atas kesalahan seseorang atas perbuatannya. Kita tidak perlu melakukan tindakan-tindakan yang kita anggap sudah benar. Terlebih meyakini akan kebenarannya.
Satu fungsi kepolisian ada di setiap tingkat kecamatan adalah memberikan perlindungan kepada yang mersa menjadi korban. Datang dan berkonsultasilah kepada mereka atas kasus yang menimpa. Mereka akan memberikan pengarahan yang tepat sesuai jalurnya.
Percayalah, sebanyak dan selengkap apapun undang-undang dan atau peraturan-peraturan yang ada, jika kita tidak paham dan cermat, maka akan menjadi bumerang. Belajarlah pada kejadian-kejadian yang sudah ada. Gunakan media massa dan atau elektronik untuk menggali seluruh informasi, kemudian konsultasikan kepada aparat yang berwenang.
Kata ustadz Al-Kholil bin Ahmad dari Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828, bahwasanya tipe manusia itu ada 4 macam:
- Seseorang yang mengetahui tentang sesuatu, namun dia tidak tahu kalau dirinya tahu tentang hal itu, itulah orang yang lalai maka ingatkan lah dia
- Seseorang yang tidak tahu tentang sesuatu, tetapi dia menyadari bahwa dirinya memang tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajari lah dia
- Seseorang yang mengetahui tentang sesuatu, kemudian dia mengetahui bahwasanya dia tahu, itulah orang yang pandai maka ikutilah dia
- Seseorang yang tidak tahu tentang sesuatu, dan dia menyadari bahwa dia tidak tahu, namun dia mengajarkan hal itu kepada orang lain, itulah orang tolol maka jauhilah dia
Diwajibkan bagi orang yang mencari jalan yang benar (belajar agama) untuk mencari seorang guru yang benar, dan di bawah arahan guru yang sempurna dan bisa menyempurnakan sehingga bisa menghantarkan kepada hakikatnya keyakinan dengan mengedepankan kekuatan ruhani mengalahkan kekuatan jasmani (akal fikiran) – Tafsir haqqi, juz 15, hal: 13