Kamis, Mei 16, 2024

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Pentingkah Bagi Laki-laki?

sony wasono
sony wasono
suka menulis

Pada banyak obrolan di tengah masyarakat, perlindungan bagi perempuan merupakan sikap yang tidak adil bagi kaum patriarki. Selalu perempuan yang dibela, sedangkan para lelaki tidak ada yang membela. Pandangan-pandangan seperti ini pun kemudian merambah menjadikan korban pelecehan seksual bagi perempuan menjadi sosok yang harus disalahkan, mulai dari pertanyaan atas pakaian yang digunakan, waktu saat perempuan bepergian, dengan siapa perempuan itu bergaul dan sebagainya. Lebih parah lagi pemikiran seperti ini sudah mengakar dan menjadi landasan berfikir saat menghadapi korban pelecehan seksual.

Pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap korban secara tidak langsung memposisikan perempuan sebagai sosok yang harus dilindungi, diperhatikan, bahkan sebisa mungkin dibatasi pergerakannya. Apakah perempuan selemah itu? Meminjam kutipan dari Simone de Beavuoir melalui Sugihastuti dan Itsna yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu diciptakan tidak dilahirkan (2007: 13). Perempuan dan laki-laki melalui proses yang tanpa henti dan dimulai sebelum kelahiran sebelum memiliki kelamin sampai memiliki jenis kelamin laki-laki atau perempuan (ibid).

Anggapan perempuan sebagai sosok yang lemah merupakan diskriminasi gender yang berdampak panjang terhadap kehidupan. Dalam dunia kerja, profesi yang dipilihkan perempuan merupakan kekerasan gender yang memarginalkan dan men-subordinasikan perempuan. Mansour Fakih menyebutkan bahwa marginalisasi merupakan sikap yang memiskinkan karena mengkategorikan pekerjaan dan porsinya berdasarkan jenis kelamin (seks) dan dalam konteks islam perempuan tidak berhak mendapatkan warisan, sedangkan subordinasi merupakan sikap yang tidak menganggap bahwa perempuan itu tidak mungkin berada dalam posisi penting seperti menjadi pemimpin karena irrasional dan emosional (2008: 14-16).

Perempuan tentunya tidak lemah dan memiliki kesempatan yang sama dalam memperbaiki ekonomi. Diskriminasi tersebut sama halnya dengan memberikan tanggungjawab pada laki-laki untuk terus bekerja keras sendirian sedang perempuan dibatasi potesinya untuk berkembang dan tetap dianggap sebagai sosok yang hanya dapat berhubungan dengan bagian logistik rumah tangga.

Selain lemah perempuan juga dianggap sebagai sumber masalah. Pada kasus Baiq Nuril yang mengalami pelecehan seksual sekaligus menjadi tersangka pencemaran nama baik. Dilansir dari magdalene.co ketidakadilan yang dialami korban merupakan ketaksesuaian hukum yang berlaku. Nuril melakukan pembelaan atas pelecehan yang dialami namun melalui pasal UU ITE dan hingga saat ini masih belum dinyatakan bebas

Agni sebagai korban pelecehan seksual malah dianggap sebagai alasan pelaku melakukan pelecehan terhadap mereka. Pada kasus Agni misalnya, pihak institusi kampus mengandaikan Agni adalah ikan asin yang menawarkan diri pada seekor kucing atau pelaku sehingga pihak kampus tersebut seolah tidak begitu mempermasalahkan dan menganggap bahwa korban seolah menawarkan diri kepada pelaku. Sikap seperti ini pada Naskah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disebut dengan reviktimisasi.

Reviktimisasi meniadakan pembelaan terhadap korban dengan cara introgasi tanpa memandang perspektifnya dan menghakimi korban (2017: 4). Bentuk reviktimisasi oleh Mansour Fakih disebut strereotype bersikap menghakimi dan menyudutkan korban, seperti pertanyaan pakaian yang digunakan, kebiasaan dan profesi korban, bahkan hingga kebiasaan bersolek pada perempuan dianggap memancing pelaku (2008: 17). Sikap ini kemudian menjadi dorongan bagi para perempuan berbondong-bondong menuju arah yang lebih religius, menggunakan hijab.

Pakaian yang digunakan tidak serta-merta terlepas dari kebuasan para kaum patriarki. Lihat saja berita tanggal 16 Januari 2018 lalu yang kebetulan terekam kamera CCTV. Di Depok, seorang perempuan yang sedang jalan sendiri diremas anggota tubuhnya oleh seorang pria dengan alasan iseng. Pelaku dikenakan pasal 281 KUHP tentang tindak pidana merusak kesopanan di muka umum.

Inilah fungsi penting RUU PKS segera disahkan karena membahas dan mengatur secara spesifik pada kekerasan seksual. Pasal pada kasus yang disebutkan tadi tidak fokus pada pelecehan seksual namun lebih bersifat normatif. Pada kasus-kasus kekerasan seksual yang masih ditangani oleh Undang-undang seadanya, seolah selesai dengan memastikan pelaku mendapatkan pidana tetapi bagaimana dengan kondisi psikis korban? Masih amankah saat Baiq Nuril apabila memang dibebaskan? Apakah Agni tidak mengalami trauma dengan reviktimisasi yang dialami dan apakah masih aman jalanan dilalui perempuan sendirian?

Harapan besar setelah pengesahan RUU PKS masyarakat mengerti dan paham arti penting kesetaraan gender harus dilakukan. Kesadaran perlindungan terhadap perempuan bukan hanya milik kaum perempuan saja, tetapi juga sebaiknya dimiliki bagi kaum patriarki. Apabila tidak maka makin banyak para kaum patriarki yang terkena pidana karena anggapan kewajiban ekonomi hanya milik kaum patriarki dan dengan alasan keterdesakan itulah maka melakukan perbuatan kriminal.

Menanggapi lagi kasus yang dialami oleh Baiq Nuril yang masih dipidanakan, tentu saja suami Nuril akan mendapatkan kerja ganda, selain sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab atas ekonomi tentu saja akan melakukan kerja logistik seperti mengurusi para anak, menjaga kebersihan rumah, dan memasak untuk kebutuhan makan sehari-hari. Pengalaman tidak menyenangkan oleh korban di Depok juga merupakan tugas para kaum patriarki untuk memastikan keamanan korban tersebut dengan menemaninya setiap perjalanannya pada lorong yang sepi.

Lalu bagaimana dengan Agni? Trauma yang dialaminya juga merupakan tugas besar bagi kaum patriarki untuk memastikan bahwa dia tidak akan mengalami perlakuan yang sama atau justru mengurungnya dalam ruang sempit berbagai norma yang berlaku di masyarakat dengan memutus pendidikannya dan mengalah pada strerotype yang diberikan oleh Rektor demi menjaga nama besar civitas akademikanya?

Apabila terjadi seperti itu maka akan banyak terjadi rentetan dampak yang merugikan banyak lini, baik secara psikis korban sampai ekonomi. Tidak sedikit perempuan yang mengalami pelecehan seksual hingga terjadi pemerkosaan dan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi seperti yang dialami Agni. Pada tingkat sekolah dan usia juga banyak terjadi hingga mengakibatkan korban (yang kebanyakan perempuan) hingga hamil dan karena tudingan bernada reviktimisasi atau strereotype memutuskan untuk menghentikan pendidikannya.

Tidak jarang kaum lelaki melakukan reviktimisasi untuk mengamankan posisinya. Perlakuan reviktimisasi tidak hanya membuat korban malu yang kemudian sulit untuk kembali pada sosial masyarakat tetapi juga membuat trauma dan berdampak pada tidak percaya pada orang lain. Tuntutan tanggungjawab yang harus dilakukan pun kemudian menjurus pada pernikahan dini (anak) yang makin berbuntut panjang apabila tidak diselesaikan.

Nah bagi kaum lelaki, kaum patriarki, masih tidak pentingkah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bagi kalian sedangkan banyak tanggungjawab berada di pundak laki-laki, lho?

sony wasono
sony wasono
suka menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.