Perempuan seringkali dianggap lemah, tidak berdaya, penurut dan mudah dimonopoli. Sejauh apapun waktu berlalu dan kebudayaan semakin berkembang, mindset dasar yang menganggap bahwa sejatinya perempuan tetap akan bergantung kepada laki-laki tidak akan pernah hilang.
Pemikiran ini beranak cucu dan membawa insting terpendam di dalam diri baik perempuan maupun laki-laki bahwa nantinya perempuan tetap akan berada di bawah ketiak laki-laki untuk berlindung. Hal ini mendorong adanya disorientasi status yang lebih mengutamakan laki-laki sebagai pennjuk arah, pemimpin serta panutan yang menyebabkan tingginya rasa lebih menguasai terhadap perempuan sehingga perempuan sering menerima perlakuan yang diskriminatif serta tidak dihargai. Padahal, di dalam bukunya Zitunah Subhan menyebutkan bahwa perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai.
Realitas eksistensi perempuan di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menunjukkan penurunan yang signifitan bahkan semakin marak terjadi. Menurut Adriana Venny selaku Komisioner Komnas Perempuan, kasus kekerasan ini terus mengalami kenaikan setiap tahunnya terbukti berdasarkan data tahun 2017 tercatat terjadi 348.446 kasus dengan sumber data ialah perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Unit Pelayanan dan Rujukan.
Berdasarkan data keseluruhan, jenis kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal mencapai angka 71% atau sebanyak 9.609 kasus dengan pelaporan 31% diantaranya mengalami kekerasan seksual. Peningkatan ini tentunya mengundang pertanyaan besar kemana perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh kaum perempuan.
Hal yang memicu sifat ekploitasi serta diskriminasi pada perempuan ini sejatinya disebabkan oleh penyangkalan hak perempuan. Perempuan dianggap sebagai sosok kedua setelah laki-laki serta sosok yang tidak esensial atau tidak pokok. Dikutip dari Kauffiman dalam Putnam (2010:262) sebagai berikut :
“Si Penari haruslah sintal dan lentur supaya geraknya menjadi indah bagi hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga,feminim, tidak boleh terlalu lambat, biar tidak mengundang kantuk. Maka di pentas ramai itu ia pun menjadi sosok ledek : melenggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng, gandrung, si penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi”.
Kutipan tersebut mernggambarkan sosok perempuan dalam penari yang mengalami penindasan atau eksploitasi karena hanya dijadikan sosok penghibur dan tontonan dengan penegasan bahwasannya mereka harus menjadi apa yang diinginkan penonton yang merendahkan martabat perempuan.
Selain itu, penindasan yang terjadi kepada perempuan seringkali dianggap wajar sebagai suatu hal yang dapat diterima pada diri mereka mengingat kodrati perempuan. Bahkan ketika perempuan berupaya melakukan pembelaan atas penindasan yang dialaminya, mereka justru menerima penolakan dan pengucilan oleh masyarakat karena dianggap menentang kodrat, menyalahi norma, bahkan menentang hakekat sebagai perempuan itu sendiri.
Kasus yang paling dekat dengan hal ini ialah kasus yang dialami Baiq Nuril yang mengalami pelecehan oleh atasannya namun dijerat dengan UU ITE karena merekam percakapan seksual yang terjadi. Tidak dikenalinya kekerasan seksual yang ada menyebabkan Baiq Nuril dijatuhi Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE tersebut.
Kasus yang terjadi tersebut kemudian menjawab pertanyaan akan arah perlindungan yang seharusnya dimiliki oleh setiap perempuan di Indonesia. Tidak adanya keterbukaan hukum, diskriminasi gender, disorientasi presepsi terhadap perbedaan gender serta masih tertanamnya pemikiran terkait perbedaan status dan hak antara perempuan dan laki-laki menyebabkan upaya perlindungan maupun pembelaan yang dilakukan terhadap dan oleh perempuan tidaklah efektif.
Di Indonesia sendiri, perlindungan paling kuat yang dapat dimiliki warga negaranya ialah perlindungan hukum dan pembelaan atas keberadaan norma. Namun, perlindungan hukum terhadap perempuan pun masih mengambang statusnya.
Ibarat kapal yang tidak berlayar, perlindungan hukum terhadap perempuan maupun kekerasan seksual yang dialami perempuan masih diam di tempat dan kambang. Tidak jelas keberadaan dan kekuatannya untuk melindungi. Sudah dua tahun lamanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengendap di DPR RI tanpa titik terang kemajuan dalam pembahasannya. Padahal, mengingat kasus yang telah terjadi menunjukkan urgensi bagi pengesahan RUU ini.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartika Sari menyatakan bahwa Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting dilakukan segera karena banyak sekali kekerasan seksual yang tidak terakomodir di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga banyak permasalahan yang belum bisa dijawab dengan KUHP.
Menjadi penting untuk RUU ini segera direalisasikan mengingat perlindungan yang diberikan adalah terhadap sembilan jenis kekerasan seksual yang terinci dengan definisi dan kriminalisasi modus yang sudah jelas diantaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.
Berdasarkan fakta yang terjadi di Indonesia, ada beberapa pertimbangan yang dapat menjadi alasan kuat RUU Kekerasan Seksual harus segera disahkan. Pertama, ketidakjelasan pasal di KUHP. Di dalam KUHP memuat suatu pasal terkait pemerkosaan yang terjadi terhadap perempuan.
Akan tetapi, definisi pemerkosaan yang dijelaskan di dalam KUHP adalah sempit. Pemerkosaan diartikan sebagai pemaksaan oleh seseorang terhadap orang lain untuk melakukan persetubuhan yang artinya hanya sebatas ada penetrasi. Jika tidak hal tersebut tidak dianggap sebagai pemerkosaan. Padahal ketika telah terjadi pemaksaan itu sendiri, korban jelas telah mengalami kekerasan seksual dan mengalami tekanan secara psikologis.
Kedua, di dalam RUU tersebut diatur pasal tentang hak korban untuk mendapatkan perlindungan serta rehabilitasi. Hal ini menjadi penting mengingat ketika seseorang mengalami kekerasan secara seksual ia tidak hanya mendapat tekanan dari pelaku, tetapi juga dari masyarakat yang masih menganggap hal tersebut tabu dan keluarga yang mengecap hal itu adalah noda besar yang memalukan sehingga penting bagi korban memperoleh rehabilitasi guna menyembuhkan luka batin yang dialaminya.
Ketiga, dalam banyak kasus kekerasan seksual, seringkali muncul pertanyaan dari penyidik maupun hakim dan pembela pelaku dalam sidang apakah korban menikmati atau tidak saat hal itu terjadi. Hal ini merupakan bentuk intervensi yang sebenarnya menyalahi hukum biologis.
Secara naluriah korban dalam posisi dipaksa mengalami keekrasan yang pada kondisi biologis terjadinya hubungan dan sentuhan secara seksual yang memberikan rangsangan tertentu kepada korban. Dengan adanya RUU ini, apabila sudah ada hasil visum, prosedur yang dilakukan tidak lagi harus melalui pertanyaan yang menurut saya tidak manusiawi ini.
Perempuan diciptakan sebagai mahluk Tuhan dengan segala keindahannya bukan untuk diekploitasi untuk kepuasan tertentu secara paksa namun untuk dilindungi dan dicintai. Kebebasan tertinggi seorang perempuan ialah ketika ia dihargai dan dicintai dengan tulus.
Apabila mindset lelaki adalah lebih kuat dibanding perempuan maka wajib hukumnya mereka melindungi. Penegakan hukum atas kekerasan seksual terhadap perempuan yang masih dianggap bukan prioritas haruslah diubah karena penerus sejatinya lahir dan besar dengan keberadaan seorang Ibu yang merupakan seorang perempuan.