Sabtu, April 20, 2024

Memahami Queen Bee Syndrome

Di tengah masyarakat kita yang patriarkis dan rendahnya kesadaran tentang hukum, nama Baiq Nuril, guru honorer SMA 7 Mataram yang mengalami pelecehan seksual oleh Kepala Sekolah-nya sendiri adalah sebuah preseden betapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah berada dalam keadaan  mendesak untuk segera disahkan.

Kesadaran hukum, secara mikro, bisa kita lihat saat di jalan raya: banyaknya pelanggaran lalu lintas merupakan bukti nyata bahwa sebagian masyarakat kita masih tidak taat dengan peraturan: tingkat kecelakaan yang tinggi dan sangsi yang diberikan atas pelanggaran tersebut, tidak lantas membuat angka pelanggaran menjadi menurun. Ini adalah contoh keadaan sosial masyarakat dimana hukum yang sudah operasional tapi masih terdapat banyak sekali praktik  pelanggaran. Bayangkan untuk hal-hal yang belum diatur di dalam undang-undang, maka kita bisa melihat bagaimana pelanggaran demi pelanggaran akan terus berulang dan memakan banyak korban.

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Tapi yang harus kita ingat adalah, persoalan ketidak adilan terhadap perempuan bukanlah barang baru. Ia merupakan produk lama yang telah hidup dan bersemayam dalam waktu yang begitu panjang di dalam masyarakat.

Maka  mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan, seharusnya bukan satu-satunya jalan yang akan ditempuh. Kalau tidak, seperti kasus pelanggaran lalu lintas, kita hanya akan menyaksikan para oknum dan korban yang terus-menerus berjatuhan. Pertanyaannya: mau sampai kapan kita akan menyaksikan kenyataan pahit semacam ini?

Secara substansi, kita bisa melihat tradisi carok di Madura. Bahwa munculnya tradisi tumpas kelor ini karena menganggap hukum tidak bisa menyentuh persoalan lokal-regional mereka yang sangat dijunjung tinggi. Misalnya seorang perempuan yang telah bersuami digoda oleh laki-laki lain: bagi hukum, menggoda istri orang bukanlah pelanggaran. Tapi bagi tradisi dan budaya di Madura, perbuatan tersebut merupakan penghinaan yang tidak dapat diampuni. Maka carok adalah jawaban satu-satunya untuk mengatasi persoalan tersebut.

Demikian halnya dengan diskusi tentang isu ini: bahwa harus ada upaya-upaya di luar hukum,  mengingat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini—tujuan utamanya (saya yakin) bukan untuk memberi ganjaran bagi mereka yang melakukan pelanggaran, melainkan untuk melindungi para perempuan sekaligus untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa perempuan juga berhak diperlakukan secara adil—entah di bidang ekonomi, politik, sosial, dan terutama yang berkaitan dengan ketidak adilan pada perempuan.

Tapi kemudian muncul pertanyaan: apakah mungkin upaya-upaya di luar hukum dapat dilakukan di tengah masyarakat kita yang sepenuhnya belum menyadari bahwa sistim kekuasaan—entah di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya merupakan tempat di mana patriarki bersembunyi (contoh: di bidang ekonomi ada diskriminasi upah, di bidang sosial-politik ada diskriminasi gender, dll). Artinya, yang sedang dihadapi adalah kelompok yang jumlahnya sangat besar dan tidak menyadari barang sehelai pun tentang perkara ini. Yang mereka tahu, sebagai laki-laki, mereka lebih superior dibandingkan perempuan dimana keadaan ini bagi mereka adalah nilai surplus. Mempersoalkannya, berarti mengotak-atik sesuatu yang sudah mapan sejak lama. Atau dengan kata lain, ada semacam queen bee syndrome, sebentuk ketakutan bahwa—jika si lebah betina nantinya berposisi sebagai ratu (queen – Ing) dikhawatirkan akan memangsa lebah-lebah jantan.

Pramoedya Ananta Toer di dalam ‘Bumi Manusia’ sedikit memberi gambaran bagaimana gelombang-penolakan kaum konservatif atas buah pemikiran RA Kartini pada awal kemunculannya di beberapa surat kabar. Keadaan tersebut mungkin tidak akan jauh berbeda dengan hari ini ketika, gagasan-gagasan tentang kesetaraan mulai digugat dan dipersoalkan.

Padahal tidak semua sepakat tentang anggapan bahwa ‘perempuan adalah separuh manusia’,  meskipun redaksi dalam peraturan pembagian harta waris—perempuan mendapat jatah lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Sama halnya dengan hukum menjadi saksi: diwajibkan—jika itu adalah seorang perempuan, maka harus berjumlah dua orang sementara laki-laki hanya cukup dengan seorang saja.

Ziauddin Sardar, seorang cedikiawan pioner dalam studi-studi futuristik—memiliki pandangan yang berbeda untuk dua kasus di atas yang kemudian dituangkan di dalam bukunya yang berjudul (asli) Reading The Qur’an: The Cantemporary Relevance of The Sacred Text of Islam terbitan Oxford University Press pada tahun 2011 yang secara verbatif berbunyi: bahwa kenapa jumlah saksi perempuan lebih banyak (2) dibandingkan laki-laki (1) tak lain agar jumlah perempuan yang terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat semakin banyak. Bukan dalam arti bahwa ‘perempuan itu separuh’, maka harus berjumlah dua. Demikian halnya dengan  masalah harta waris, hal yang sering dipertanyakan adalah: kenapa jatah perempuan hanya separuh dibandingkan dengan laki-laki.

Menurut Sardar, di Arabia pada zaman Nabi, perempuan sama sekali tidak memiliki hak atas warisan. Bahkan, perempuan dianggap sebagai barang yang dapat diperjualbelikan, dimiliki, diwariskan, dan dijadikan alat untuk membayar utang. Harta warisan hanya diperuntukkan bagi orang yang menghunus pedang: laki-laki yang belum balig dan perempuan tidak mendapatkan warisan. Maka Al-quran membatalkan tradisi lama tersebut dan menetapkan hukum baru dimana perempuan bukan hanya berhak atas harta waris, melainkan juga berhak atas kekayaan.

Dan, untuk masalah jumlah—kenapa hanya mendapat separuh daripada laki-laki; jawabannya tidak ada kaitannya dengan perilaku patrialkal masyarakat Arab zaman Nabi, justru aturan tersebut adalah keberpihakan Al-quran terhadap perempuan: laki-laki memikul kewajiban memberi nafkah anak dan istri, maka atas harta warisan tersebut anak dan juga istrinya berhak mendapatkannya. Itu kenapa mereka mendapat lebih banyak. Sedangkan perempuan, meskipun sudah menikah, hartanya adalah milik pribadi. Suami dan anaknya tidak berhak atas harta warisan yang didapatnya.

Berpegang pada pendapat Ziauddin Sardar, berarti, patriarkisme yang beranggapan bahwa ‘perempuan adalah separuh laki-laki’ hanyalah tafsir yang diterjemahkan secara keliru. Maka, untuk mengubah pandangan lama tersebut ada dua jalan yang harus ditempuh: Petama, advokasi. Yang kedua, kekuatan teoretis.

Untuk advokasi, seperti yang sudah diuangkapkan di atas, mendesak pemerintah untuk segera mengsahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah langkah yang tepat karena akan memberi rasa aman bagi para perempuan yang berpotensi mengalami pelecehan—sekaligus memberikan efek jera kepada pelakunya. Bersamaan dengan itu juga harus dilakukan upaya yang kedua, yaitu agenda memasukkan diskursus feminisme ke tingkat akademis kampus agar kaum cerdik cendikia memiliki pemahaman yang sama tentang teori keadilan dan memiliki kemampuan untuk memproduksi metodologi-baru guna memperbaiki konstruksi keadalian.

Sebab ketidakadilan yang dialami perempuan tidak cukup diperjuangkan hanya di level LSM yang wilayah perjuangannya hanya ada di sekitar tuntutan persamaan hak, persamaan potensi, dan lain-lain. Lebih dari itu, tujuan utama dimasukkannya isu ini ke dalam kurikulum akademis ialah upaya untuk mengatur ulang relasi antara laki-laki dan perempuan.

Jika hal ini tidak dilakukan, maka yang kita lihat hanyalah orasi retoris untuk menuntut persmaan: bahwa perempuan itu sama dengan laki-laki yang boleh merokok di manapun tempat, nongkrong di cafe hingga  larut malam dan tidak dianggap sebagai perempuan nakal, dan haram hukumnya menyandang nama suami (orang harus memanggil namanya, bukan menyebutnya Bu Anwar, misalnya, karena ia istri dari Pak Anwar)—yang mana sering kita lihat dari perilaku aktivis perempuan yang bekerja di LSM Perempuan. Dan itu sangatlah menyebalkan!

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.