Jumat, Maret 29, 2024

Dilibatkankah Gender?

Gender (n) adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja sesuai jenis kelamin yang ditetapkan oleh masyarakat, berdasarkan norma atau adat yang berlaku. Seringkali orang awam menyamakan gender dengan jenis kelamin. Ketika zaman dahulu sebelum gencarnya hak-hak kesetaraan gender berlaku, orang-orang menganggap bahwa anak yang diciptakan sebagai lelaki merupakan anak yang kelak membawa keberuntungan, bahkan diagung-agungkan. Sedangkan anak yang lahir sebagai perempuan akan dianggap pembawa sial, bahkan mereka tidak bisa merasakan masa kecil karena hidup mereka yang sangat singkat.

Kasta-kasta berdasarkan gender terus berlanjut di abad pertengahan, dimana perempuan hanya diberikan kedudukan yang rendah, bahkan seringkali hanya sebagai pemuas lelaki. Bahkan pada masa kolonialisme, praktik penistaan perempuan masih terjadi, disamping pengultusan terhadap bangsa penjajah

Kemudian muncullah gerakan-gerakan perlawanan dari perempuan, yang mana di negara kita yang tercinta Indonesia dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini dan Raden Dewi Sartika. Gerakan ini dimaksudkan untuk menyetarakan hak-hak perempuan dalam menempuh pendidikan, maupun mendapat pekerjaan. Gerakan ini disambut baik oleh perempuan waktu itu, khususnya perempuan pribumi. Pada akhirnya semua perempuan pada waktu itu mendapat akses kesetaraan gender. Perempuan-perempuan masa kini sering mengingat momen ini sebagai titik dimana kesetaraan gender diberlakukan di Indonesia.

Saat ini kesetaraan gender sudah bukan lagi hal tabu seperti sebelumnya. Para perempuan sudah dapat menikmati akses yang dahulu hanya bisa dimiliki kaum Adam. Bahkan akan dibuat RUU anti kekerasan terhadap perempuan. Namun apakah hanya terhadap perempuan? Apakah gender akan dilibatkan dalam UU ini? Haruskah menuliskan kata perempuan dan bukan menjadikan UU ini universal bagi semua kalangan?

Sejarah mencatat hampir semua kasus kekerasan terjadi terhadap perempuan dengan kasus yang paling sering terjadi adalah tindak asusila. Terlebih pada zaman yang canggih saat ini banyak kasus asusila akibat pertemanan daring dan komentar yang menjurus hal seksual terhadap perempuan. Dalam hal medis, diketahui bahwa lelaki memiliki rata-rata hasrat untuk melakukan kegiatan seksual yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Bahkan hasrat ini tidak hilang seperti perempuan yang memiliki masa menopause, terbukti dengan kasus asusila yang melibatkan lelaki lansia. Namun ada beberapa fakta sejarah yang menunjukkan jika perempuan bisa diposisikan sebagai pelaku. Contoh yang pernah terjadi di dalam negeri adalah sebuah organisasi bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Gerwani adalah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam catatan sejarah, para perempuan dalam Gerwani membuat sebuah tarian yang membangkitkan gairah lelaki. Lelaki normal dan tidak tahu para perempuan itu berasal jelas saja akan tergiur. Dari situ kemudian mereka dan afiliasinya beraksi untuk menghabisi semua penontonnya.

Kemudian ada sebuah gerakan yang mengatasnamakan kebebasan terhadap kaum perempuan. Gerakan ini awalnya bertujuan baik untuk menyetarakan hak lelaki dan perempuan. Namun, kebebasan ini menjadi kebablasan. Gerakan ini terkadang malah jadi seperti membenci lelaki, menganggap perempuan superior diatas segalanya, bahkan menciptakan ketidakseimbangan gender yang menguntungkan perempuan.

Ada pula sebagian dari perempuan yang menerapkan semacam standar ganda. Misalkan ketika ada perempuan yang bereaksi ketika melihat idolanya hingga berteriak kepada idola mereka untuk membuka baju, maka reaksi perempuan lain yang melihatnya menganggap itu hal yang wajar. Lain halnya ketika mereka melihat lelaki yang mengidolakan seorang perempuan cantik, kemudian lelaki tersebut menunjukkan ekspresi tergiur dengan paras dan bentuk tubuh idolanya. Seketika perempuan yang melihat lelaki tersebut akan protes bahkan mencap lelaki tersebut amoral dan cabul.

Beberapa kasus juga bisa dijadikan acuan bahwa lelaki juga bisa mendapat perlakuan kekerasan, atau dengan kata lain bisa menjadi korban. Seperti kasus yang terjadi di Afrika Selatan dimana sekawanan perempuan berbuat asusila terhadap lelaki dengan modus mengantarkan lelaki tersebut pulang tetapi justru disekap oleh perempuan tersebut. Lalu ada juga kasus dimana lelaki dengan penyimpangan seksual yang melakukan perbuatan asusila dengan lelaki lain yang normal. Bahkan ada salah satu koran yang memampang informasi secara jelas jumlah lelaki dengan penyimpangan seksual di suatu daerah di Indonesia.

Kemudian ada dua laki-laki yang bekerja sebagai asisten manajer di sebuah toko di New Jersey sempat mengalami pelecehan seksual di kantor. Yang pertama mengatakan pernah mendapat komentar seksual yang tak diharapkan dari rekan kerja perempuannya. Perempuan tersebut lantas berkesempatan naik jabatan menjadi manajer toko, dan saat ia menjadi atasan karyawan laki-laki ini, pelecehan seksual terus dilakukannya, bahkan sampai melibatkan kontak fisik.  Karyawan pertama ini pun memilih mengundurkan diri akibat diperlakukan tidak menyenangkan oleh manajer toko.

Karyawan kedua mengambil pilihan berbeda saat mendapat pelecehan dari  manajer toko. Mengetahui karyawan pertama memilih mengundurkan diri akibat dilecehkan manajer toko, ia pun mengadukan aksi atasannya ke manajer distrik. Alih-alih mendapat perlindungan, karyawan kedua ini malah dipecat dengan alasan perilaku tidak profesional.

Bahkan pada sebuah studi yang dilakukan sebuah asosiasi di Singapura menyimpulkan dari 500 responden lelaki di 92 perusahaan, 21% diantaranya pernah mengalami pelecehan seksual.

Dari berbagai fakta yang telah dipaparkan, penulis tidak bermaksud untuk merendahkan perempuan atau menyamaratakan semua perempuan seperti fakta yang tertera. Perempuan tetap pada kodratnya sebagai makhluk yang lemah. Namun bukan berarti mereka harus menunjukkan sisi lemah mereka bahkan meminta pengakuan kalau mereka lemah. Perempuan juga merupakan makhluk yang istimewa, tetapi bukan berarti mereka merasa selalu diistimewakan dan berbuat semaunya. Jangan menggunakan dalih kesetaraan gender atau kata yang lebih populer emansipasi untuk berbuat semaunya dan sesukanya. Seharusnya sesama manusia harus saling melindungi dan percaya satu sama lain. Kesetaraan gender hanya untuk menunjukkan bahwa perempuan bisa mendapat kedudukan, peran, tanggung jawab, dan peran kerja yang setara dengan lelaki, bukan untuk membuat perempuan superior atas segalanya, seperti apa yang dicita-citakan Raden Ajeng Kartini semasa hidupnya.

Penulis sangat setuju apabila RUU penghapusan kekerasan seksual segera direalisasikan, bukan cenderung tarik-ulur seperti saat ini. Namun masih banyak masyarakat awam yang harus diberikan pencerdasan terkait RUU tersebut agar tidak menuai pro-kontra yang berkepanjangan sehingga mengabaikan kasus lain atau bahkan kasus kekerasan seksual yang sedang dalam perkara.

Penulis berharap bahwa gender tidak perlu dilibatkan dalam RUU ini. Tidak perlu adanya penyebutan jenis kelamin pada nama UU. Alangkah lebih baik jika spesifikasi berdasarkan jenis kelamin diletakkan di dalam pasal atau bahkan tidak perlu. Penulis juga berharap tindak pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan setelah diterbitkannya UU penghapusan kekerasan seksual bisa sesuai yang diharapkan masyarakat, minimal sesuai yang tertera pada UU, dan tidak memandang status sosial dan jenis kelamin baik pelaku maupun korban. Bagaimanapun, pelecehan seksual terhadap semua jenis kelamin dan gender masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan secepatnya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.