Kamis, Mei 16, 2024

Bersama Mendorong Lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Petrus Kanisius
Petrus Kanisius
Orang kampung

Terus meningkatnya prevalensi dan dampak kekerasan seksual di Indonesia dari waktu ke waktu, telah menarik perhatian dan kesadaran masyarakat untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah. Salah satu hasil dari kesadaran masyarakat adalah tumbuhnya kepedulian melalui pelayanan dan perlindungan bagi korban atau penyintas. Namun, lebih jauh, masyarakat juga mulai paham, bahwa penting untuk menempatkan kekerasan seksual dalam konteks yang lebih luas yakni masyarakat dan strukturnya. Hal ini terjadi karena pelbagai bentuk kekerasan seksual tidak saja memberi dampak buruk pada individu sebagai korban, tetapi terus bergerak memberi pengaruh yang juga sama buruknya kepada teman dekat, anggota keluarga, hingga masyarakat di sekeliling korban.

Selain itu, kesadaran masyarakat juga telah berhasil mendorong upaya untuk menentang kekerasan seksual yang secara alternatif telah dikonseptualisasikan sebagai masalah peradilan pidana, masalah kesehatan masyarakat, dan bentuk kekerasan yang merupakan hasil langsung dari penindasan sebagai akibat dari relasi yang timpang antara kelompok yang lebih kuat dan dominan terhadap kelompok lain yang lebih lemah dan terpinggirkan.

Prevalensi dan Akibat yang Terus Membengkak

Kasus kekerasan seksual di Indonesia telah jatuh dalam kondisi kritis, Reuters (2016) dalam laporannya mengungkapkan bahwa dari 25.213 responden yang disurvei secara online, sekitar 6,5% atau 1.636 orang mengatakan mereka telah diperkosa dan di antara mereka, 93% mengatakan tidak melaporkan kejahatan tersebut, karena takut akan dampaknya.

Data yang dikeluarkan BPS (2017) berdasarkan Hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15 hingga 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan, selain pasangan selama hidupnya.

Dari data-data itu, kekerasan fisik dan seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (36,3%) dibandingkan yang tinggal di daerah pedesaan (29,8%). Sementara kekerasan fisik dan seksual lebih banyak dialami perempuan usia 15 hingga 64 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas (39,4%) dan status pekerjaan tidak bekerja (35,1%).

Berdasarkan data lain yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2011-2015 terus meningkat, yaitu 119.107 (2011), 216.156 (2012), 279.760 (2013), 293.220 (2014), dan 321.752 (2015) (Kumparan, 2018).

Baru-baru ini, berdasarkan data Komnas Perempuan (2018), terlihat angka kekerasan seksual di ranah privat menempati posisi tertinggi kedua, di bawah kekerasan fisik. Persentasinya pun cukup besar, yakni 31% dari seluruh laporan yang masuk, atau sebanyak 2.979 kasus.

Yang memprihatinkan, bentuk kekerasan seksual di ranah pribadi paling banyak dilakukan oleh orang terdekat atau yang masih memiliki hubungan darah (incest) dengan 1.210 laporan. Pelaku kekerasan itu antara lain: pacar (1.528 kasus), ayah kandung (425), paman (322), ayah tiri (205), suami (192), dan pelaku lain yang masih memiliki hubungan keluarga.

Selain di ranah pribadi, di ranah publik atau komunitas, kekerasan seksual menempati posisi teratas dari kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kasusnya lebih dari separuh yang dilaporkan, yakni sebesar 76% atau 3.528 kasus. Di ranah publik, kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh teman (1.106 kasus), tetangga (863), orang lain (257), orang tidak dikenal (147), guru (125), atasan kerja (54), tokoh agama (12), dan tokoh masyarakat (2).

Besarnya prevalensi kasus kekerasan seksual berbanding lurus dengan dampak yang ditimbulkan. Pelbagai riset telah menempatkan begitu banyak daftar panjang dampak kekerasan seksual yang menyentuh nyaris semua aspek kehidupan korban, baik itu dampak fisik maupun psikologis yang bisa terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, dampak kekerasan seksual tidak semata-mata hanya dialami korban tetapi juga jauh menyasar orang lain disekitar korban seperti keluarga, teman, komunitas, ataupun masyarakat luas

Upaya Penuntasan

Dibutuhkan upaya penuntasan yang utuh ketika kita melihat dampak dan prevalensi kasus yang besar. Tidak bisa tidak, untuk saat ini, kita memerlukan langkah tegas yang mampu memulihkan korban agar bisa kembali hidup normal, serentak menghukum pelaku kekerasan seksual agar memberi efek jera yang paripurna

Inisiatif DPR untuk menghasilkan regulasi penuntasan masalah kekerasan seksual melalui perangkat undang-undang perlu diapresiasi, sebab melalui perangkat undang-undang itu, upaya penuntasan masalah kekerasan seksual bisa dilaksanakan secara holistik, berkesinambung, dan lintas sektor.

Namun, upaya tarik ulur yang sejauh ini juga dilakukan oleh DPR dalam penetapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi UU berkekuatan hukum tetap, harus dilihat sebagai langkah buruk yang menggambarakan bahwa anggota parlemen kita sama sekali tidak paham urgenitas masalah kekerasan sesksual yang begitu mengancam kehidupan bangsa. Sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada bulan Februari 2017, pembahasan RUU PKS belum mengalami kemajuan berarti, padahal tahun depan adalah tahun terakhir bagi para anggota DPR periode 2014-2019. Apabila RUU PKS tidak diajukan dalam pembahasan tahun ini, RUU ini akan gagal disahkan sehingga pembahasannya harus dimulai dari nol di DPR periode selanjutnya. Hal ini jelas akan menghambat upaya penghapusan kekerasan seksual.

Tantangan lain dari upaya percepatan penetapan RUU PKS datang dari kelompok-kelompok tertentu yang membangun narasi seolah-olah bahwa RUU PKS adalah sebuah upaya feminisme yang diimpor dari budaya barat untuk menegaskan hegemoni perempuan sekaligus mereduksi pengaruh laki-laki dan di-streotipe-kan sebagai gerakan anti keluarga, anti anak, dan pro aborsi

Dua asmusi di atas jelas sungguh merupakan pandangan yang amat keliru. Pertama harus disadari bahwa RUU PKS dalah salah satu jalan bagi rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, baik itu sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa maupun sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Selain itu, semangat RUU PKS dapat dilihat sebagai upaya memanusiakan manusia, yang juga menjadi inti dari nilai-nilai agama dan kepercayaan di Indonesia, jadi sangat jelas RUU PKS bukanlah produk impor budaya barat.

Kedua, pengertian sederhana dari feminisme adalah ide atau pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, jenis kelamin, agama, dan negara. Dengan demikian mendukung RUU PKS adalah upaya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Sehingga, tidak benar bahwa RUU PKS dipakai sebagai alat untuk menegaskan hegemoni perempuan atas laki-laki sekaligus menjadi alat gerakan anti keluarga, anti anak, dan pro aborsi. Kecuali, memang sejak awal, nalar kita tidak cukup baik untuk memahami soal ini.

Hal lain yang tak kalah penting, adalah sikap perjuangan pengesahan RUU PKS yang sejauh ini masih cendrung diarahkan pada soal perempuan semata, seolah-olah, korban kekerasan seksual hanyalah perempuan, padahal problem kekerasan seksual sudah lama tidak bertumpuh pada satu intensitas gender tunggal, melainkan telah melampui itu. Hingga kini, dalam banyak laporan, kekerasan seksual telah mengantam perempuan, laki-laki, ataupun kelompok transgender.

Masih banyak feminis yang serampangan percaya bahwa berdasarkan teori objektifikasi, budaya pemerkosaan, dan relasi kuasa membuat laki-laki imun dari pelecehan dan kekerasan seksual, ini asumsi yang sungguh banal dan amat kontrapoduktif dengan prinsip dasar feminisme yang terus bersusah payah mendorong terciptanya masyarakat yang egalitarian dan bebas, tanpa ada dikotomi jenis kelamin.

Dengan semua gambaran besaran masalah dan akibat kekerasan seksual serta pelbagai faktor yang menghambat penetapan UU PKS, sudah semestinya mendorong kita semua untuk kembali berpikir lebih jernih. Masing-masing dari kita perlu untuk mengesampingakan kepentingan dan ego kelompok yang terlampau naif dan maju bergandeng tangan bersama, demi mendorong lahirnya UU PKS yang mampu melindungi kita semua dari cengkraman kekerasan seksual yang semakin hari semakin berbahaya.

Ingat kekerasan seksual bisa menyasar siapa saja, terjadi kapan dan dimana saja, serta bisa dilakukan oleh siapa saja, jangan sampai sikap kita yang terus mengedepankan ego kelompok justru berakibat fatal, di mana, yang akan jadi korban kekerasan seksual adalah kita sendiri atau orang-orang terdekat di sekitar kita.

Petrus Kanisius
Petrus Kanisius
Orang kampung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.