Seiring berkembangnya zaman, definisi dan tindakan kekerasan seksual juga mengalami perkembangan yang lebih luas. Jika selama ini kekerasan seksual hanya diakui dengan tindakan pemaksaan penetrasi penis ke vagina, maka hukum kita harus mampu mengakomodasi lebih dari itu. Pasalnya, kekerasan seksual dapat saja terjadi walaupun tidak terjadi penetrasi penis ke vagina. Secara singkat, segala tindakan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya secara paksa atau tidak dikehendaki dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual; baik menyebabkan kecacatan fisik ataupun tidak.
Sayangnya, pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia akan bahaya kekerasan seksual masih sangat minim. Sebagai contoh, kasus seperti meraba bagian tubuh tertentu yang dianggap sensitif seringkali dipandang sebelah mata baik oleh masyarakat maupun hukum. Hal tersebut terjadi karena peristiwa yang terjadi tidak sesuai dengan narasi kekerasan seksual yang lazim beredar di masyarakat, yaitu penetrasi penis ke vagina.
Di *Status Quo, *tanggapan masyarakat pada umumnya adalah mereka akan mengabaikannya, menganggap bahwa kasus meraba anggota tubuh yang tidak dikehendaki bukanlah perkara yang perlu dibesar-besarkan. Toh, tidak ada cacat fisik yang disebabkan oleh tindakan tersebut. Kemudian, kasus tersebut akan lewat begitu saja.
Mereka bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, tanpa adanya insentif untuk mengusut tuntas bobroknya moral di tanah air. Lebih parahnya lagi, tak jarang yang justru menyalahkan korban – *victim blaming*, menyerang mereka dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kemarin pakai baju apa?”, “Keluarnya kok sendirian?”, “Ngapain keluar malam-malam?”, dan masih banyak lagi.
Sadar ataupun tidak, mereka yang terbiasa dengan budaya menyalahkan korban justru berada pada pihak pelaku. Mereka akan beranggapan bahwa tindakan kekerasan seksual adalah kesalahan korban, sehingga tindakan pelaku dapat diwajarkan. Didukung oleh budaya patriarki yang masih sangat kental membuat korban semakin terpojokkan dan membuat mereka lebih memilih untuk diam daripada melaporkan kejadian yang telah dialaminya. Cukup memprihatinkan? Namun belum berhenti sampai di situ.
Dilihat dari kacamata hukum, kasus pemerkosaan juga sulit untuk ditindaklanjuti. Hukum di Indonesia masih sangat konservatif dan prosedural. Suatu aduan dapat ditindaklanjuti dan dipandang dalam ranah hukum hanya dan apabila terdapat barang bukti dan saksi.
Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan. Hal tersebut diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana khususnya Pasal 184 yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, maupun hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan.
Sedangkan pengertian saksi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 25, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Ruru, 2015).
Masalahnya, tidak semua kasus kekerasan seksual dilakukan di tempat umum. Tak jarang justru kekerasan seksual dilakukan di rumah sendiri atau pada ranah privat. Dengan kata lain, tak ada saksi mata yang dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Jika sudah demikian, maka apakah itu artinya hukum kita tidak melindungi korban yang menerima kekerasan seksual tanpa adanya saksi?
Sangat disayangkan jika hukum yang sudah dikemas sedemikian rupa atas nama kesetaraan namun masih terdapat celah dalam memberikan keadilan yang seadil-adilnya kepada korban. Hukum kita masih setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya. Jika kasus pemerkosaan saja sulit untuk ditindaklanjuti, bagaimana dengan kasus meraba anggota tubuh secara paksa yang bahkan hampir tidak ada tanda buktinya?
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi yang tidak berpihak kepada korban semakin menyudutkan korban. Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. Sebagai buktinya, tahun 2017 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74% dari tahun 2016. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2017 sebesar 348.446, jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 259.150 (Komnas Perempuan, 2018).
Kasus kekerasan seksual sebenarnya lebih dari itu. Hanya saja tidak terlapor. Irwan Hidayana dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Internasional (UI) mengatakan secara umum ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Antara lain korban yang tidak menyadari apa yang dilakukan seseorang sebagai kekerasan seksual, faktor seksualitas yang masih tabu untuk dibahas, ataupun ketidakpercayaan terhadap hukum.
Oleh karena itu, sudah jelas bahwa permasalahan kekerasan seksual di tanah air tampaknya belum ada titik akhirnya. Berawal dari pengalaman maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, konstitusi di Indonesia kini berangkat dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang nantinya dipercaya dapat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, nondiskriminasi, dan keberpihakan kepada korban. Sayangnya, masih terdapat pro dan kontra terhadap RUU tersebut. Mandeknya proses pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR menimbulkan kegelisahan semua pihak (Intan, 2018).
Cepat atau lambat, Indonesia memang sangat memerlukan konstitusi yang dapat melindungi masyarakatnya dari segala bentuk tindakan kekerasan, pemaksaan, dan diskriminasi. Konstitusi yang diharapkan pun harus mampu menegakkan keadilan secara keseluruhan – tidak memandang sebelah mata korban. Kebutuhan tersebut dapat dipastikan menjadi suatu tuntutan yang krusial. Hal ini bukan lagi mengenai ego masing-masing orang, juga bukan mengenai suka ataupun tidak suka.
Secara logika, semakin lama RUU tersebut mandek di tangan pemerintahan, semakin tinggi pula korban yang kehilangan haknya sebagai seorang manusia yang mempunyai martabat dan harga diri. Apalagi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Jadi, jika memang benar masih terdapat ketidaksesuaian dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, hendaknya langsung ditindaklanjuti hingga dapat benar-benar disahkan.
Di sisi lain, tugas kita tidak hanya berhenti sampai disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pola pikir dan kewaspadaan masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual juga perlu diperbaiki. Dalam menegakkan hukum, kita juga perlu kerjasama antar masyarakat. Apabila masyarakat suportif terhadap hukum yang berlaku, maka akan lebih mudah dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang menjadi tujuan dari keberadaan konstitusi yang bersangkutan.
Sebagai rakyat, kita juga dapat melakukan hal sederhana sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan seksual. Langkah yang paling penting adalah memberikan dukungan kepada korban, dampingi korban agar dapat menjalani proses hukum hingga tuntas. Hasil yang diharapkan adalah agar pelaku dapat benar-benar diadili dan mendapatkan sanksi yang setimpal.
Selain itu, kita juga harus menghilangkan budaya menyalahkan korban – *victim blaming *dan menanamkan pemahaman bahwa segala bentuk kekerasan seksual tidak dapat ditoleransi dan penyebabnya bukanlah korban, melainkan pelaku. Meninggalkan budaya patriarki – pria dianggap lebih berkuasa juga dapat membantu menciptakan hubungan yang adil antar gender.
Kesiapan masyarakat akan hal-hal baru tersebut perlu digarisbawahi agar RUU yang nantinya akan disahkan tidak akan hanya menjadi deretan pasal tanpa ada makna apapun dalam kehidupan bermasyarakat. Akhir kata, salam kesetaraan!
DAFTAR PUSTAKA
Intan, Ghita. 2018. Jalan Panjang Menuju Pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. VOA Indonesia
Ruru, Kardian. 2015. Alat Bukti yang Sah dalam Peneriksaan Perkara
Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga di Pengadilan. *Lex Crimen Vol. IV, No.1*
Komnas Perempuan. 2018. Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dala Pusaran
Politik Populisme. Jakarta: Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2017