Jumat, Maret 29, 2024

Via Vallen is Dead: Ditinggal Rabi di Tanah Anarki

Setyo A. Saputro
Setyo A. Saputro
Pekerja media di sebuah portal berita di Jakarta. Bisa dihubungi melalui alamat surel: setyoasaputro@gmail.com.

Sesungguhnya, musik punk dan dangdut koplo itu mungkin terlahir dari rahim yang sama, yaitu semangat resistensi dan antikemapanan.

Cuma, bedanya, punk seringkali mengaplikasikan pemberontakannya terhadap sistem, melalui suara kemarahan yang tertuang dalam melodi dan lirik-liriknya. Sementara dangdut koplo, adalah antitesis dari “dangdut serius” yang berisi petuah hidup ala Rhoma Irama. Dangdut koplo melakukan perlawanan terhadap segala tetek-bengek tekanan sosial di sekitarnya, dengan cara menertawakan kegetiran hidup sambil bergoyang secara riang gembira.

Karena itulah, kita tak akan menemukan syair-syair perlawanan yang frontal dalam genre dangdut koplo. Karena, dari awalnya, musik jenis ini memang tidak dimaksudkan politis seperti itu.

Kita hanya akan menjumpai deretan lagu bertema remeh-temeh, persoalan hidup yang dekat, yang sering dijumpai dalam keseharian, seperti kisah seorang istri yang punya bojo galak dan omongannya sengak, jeritan hati karena ditinggal rabi oleh mantan kekasih, sikap pasangan yang terlalu egois, dan bahkan soal bidadari keseleo yang giginya dihiasi kawat abang ijo.

Namun, berbeda dari genre dangdut terdahulu, di mana tema-tema (yang didominasi persoalan) patah hati itu diolah menjadi sebuah alunan lagu yang merengek-rengek (seakan dunia akan segera runtuh kalau tidak ditangisi), dangdut koplo justru menyulap tema-tema menyedihkan itu menjadi sebuah perayaan yang gegap-gempita. Sebuah festival patah hati yang menggembirakan, di mana lirik yang sesungguhnya menyakitkan, ditingkahi dengan ketiplak kendang yang sanggup membuat para penikmatnya berjoget riang.

Kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi,” nukilan syair lagu Bojo Galak ini mungkin bisa mewakili semangat dari dangdut koplo. Semangat selow menghadapi tekanan hidup yang mungkin sebenarnya tak tertanggungkan.

Di titik inilah, dangdut koplo dan punk menemui persimpangan jalan. Maka tak heran jika Jerinx marah-marah ketika Via Vallen membawakan lagu milik Superman Is Dead (SID) dengan spirit dangdut koplo.

Lagu yang pada mulanya dimaksudkan SID sebagai ungkapan perlawanan, dibawakan Via Vallen dengan semangat hore-hore, seperti halnya saat Via membawakan lagu-lagu apolitis miliknya sendiri.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Jerinx, untuk mencegah terjadinya hal ini di kemudian hari, adalah menggunakan isu hak cipta. Dan langkah itu sangat mudah dikelirukan oleh publik sebagai usaha Jerinx untuk mempersoalkan pundi-pundi rupiah.

Apalagi, di bawah naungan Sony Music Indonesia, banyak pihak yang menempatkan SID sebagai band antikemapanan yang mapan. Apalah arti perlawanan, di bawah kekuatan kapitalisme yang mahakuasa, selain komoditas yang bisa diecer sesuka hati ke sana kemari?

Namun, terlepas itu semua, dari yang dibaca dalam protes yang dilontarkan Jerinx, ini adalah perkara ruh dari lagu milik SID. Ruh dari lagu punk. Jika dilihat dari sudut pandang ini, apa yang dilakukan Jerinx adalah sesuatu yang wajar. Jerinx kemungkinan tak akan mempermasalahkan jika Via menggunakan kepopulerannya untuk menyuarakan apa yang disuarakan SID.

Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi, jika Via Vallen menyelipkan pesan tentang invasi pabrik semen di Kendeng, pembunuhan Munir, pelanggaran HAM pada 1965, atau soal isu reklamasi, di depan para penggemarnya di setiap penampilannya. Dengan jutaan Vianisty militan yang selalu siap untuk bergoyang, tentu suara Via akan sedikit banyak memberikan dampak.

Cuma, masalahnya, Via Vallen tidak (dan sepertinya tidak akan pernah) melakukan itu. Kenapa, begitu? Ya, karena Via adalah seorang penyanyi dangdut koplo, yang memang dari awal kelahirannya memang tidak politis. Ini bukan soal seni rendah versus seni tinggi. Suka tak suka, dari kacamata dangdut koplo, segala macam tekanan di dalam kehidupan ini adalah fana. Dan, bergoyang adalah solusinya.

Jadi, langkah apa yang bisa diambil kedua belah pihak untuk menyelesaikan perseteruan ini? Mungkin, tak ada salahnya, jika mereka mulai berpikir untuk duduk di satu meja, bicara baik-baik, ngopi bareng, sambil membahas kemungkinan untuk berkolaborasi. Saya pikir, brand “Via Vallen Is Dead” punya potensi besar akan bisa laku di pasar.

Bayangkan saja, tiga personel SID dan Via Vallen tampil di satu panggung yang sama, mengepalkan tangan di depan para outSIDers dan Temon Holic, sambil melantunkan puisi epik tentang kepedihan: Ditinggal Rabi di Tanah Anarki.

O-A O-E!

Setyo A. Saputro
Setyo A. Saputro
Pekerja media di sebuah portal berita di Jakarta. Bisa dihubungi melalui alamat surel: setyoasaputro@gmail.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.