Jumat, April 26, 2024

Selera Rendahan Tribunnews, Penjilat Pantat SEO

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Dalam sebuah seminar, Pemred Tribunnews Dahlan Dahi menyebut bahwa saat ini jurnalis menulis bukan untuk dibaca manusia, tapi memuaskan kriteria yang diminta mesin.

Dahlan sedang bicara tentang Search Engine Optimization (SEO) atau optimasi mesin pencari. Ini adalah strategi atau serangkaian teknik yang sistematis untuk menempatkan situsweb atau blog berada di halaman utama SERP (Search Engine Result Page) dan potensial sesuai dengan keyword yang ditentukan.

Jika Anda membaca berita dengan kalimat yang berantakan, logika yang kacau, dan ditulis dengan buruk, kemungkinan besar berita itu sedang menyesuaikan dengan SEO. Atau memang memiliki editor yang buruk.

SEO merupakan tulang punggung media hari ini. Jika dulu sebuah media diukur dari seberapa cepat ia mendapat berita, atau seberapa dalam ia ditulis, hari ini siapa yang paling bisa menyenangkan mesin SEO, maka ia akan menjadi yang paling banyak dicari.

Dalam kasus Tribunnews, media itu sedang mengejar klik, kunjungan dari pembaca. Ini mengapa kalian akan dibuat bingung dengan berita yang kadang antara judul dan isi berbeda. Atau kadang judulnya bombastis isinya biasa saja.

Remotivi, lembaga yang fokus pada kajian media dan televisi, menilai bahwa saat ini ada banyak media yang kurang etis. Etis ini tentu sangat bisa diperdebatkan. Misalnya bagi orang yang berpikir dan punya nurani, mengeksploitasi tragedi kematian dan kesedihan seseorang itu tidak etis.

Bagi Tribunnews tidak.

Mungkin orang-orang di media itu sudah kepalang mati rasa, nyaris tak peduli pada apa itu etis dan yang tidak. Saat orang berkabung karena kecelakaan, Tribunnews bisa saja mencari foto-foto cantik si korban kecelakaan. Apakah Tribunnews salah? Ya tidak. Wong banyak yang suka. Rendah? Mungkin, tapi apalah etis dan rendahan di hadapan iklan miliaran.

Salah satu kritik paling bernas berasal dari Muhamad Heychael, yang menyebut Tribunnews sebagai “pedagang informasi yang punya motto “palugada” (apa lo minta gue ada)”. Di tangan Tribunnews, jurnalisme jadi benar-benar menjilat bersih pantat SEO dan selera buruk manusia debil.

Sekali lagi, dalam pandangan saya, Tribunnews tak salah. Ia memuaskan selera manusia-manusia bejat yang ingin tahu nama “pemeran video porno” yang tengah beredar atau “foto cantik pramugari” yang mengalami kecelakaan. Jurnalisme yang ditawarkan Tribunnews tak punya nilai berita apa pun, kecuali memenuhi birahi kerdil para pembacanya.

Saya yakin, jika orang-orang kerdil ini musnah, lalu yang tinggal adalah manusia yang menggemari konten mendalam, bermutu, dan punya nilai tambah bagi peradaban, Tribunnews tak segan akan membuat liputan semacam itu. Mereka tinggal belajar ke kakak tua Kompas yang punya litbang dan banyak penulis baik.

Tapi kan tidak. Lagi pula buat apa?

Heychael menyebut bahwa jurnalisme Tribunnews tidak mengajak pembacanya untuk memahami apa yang benar, melainkan menyediakan seluruh narasi yang dikehendaki pembacanya, peduli setan apakah informasi tersebut akurat atau hasil imajinasi liar figur publik sontoloyo.

SEO membuat konten-konten (saya tak berani menyebutnya berita) menjadi yang teratas dalam mesin pencarian. Ini jadi masalah karena mutu sebuah berita tidak diukur dari akurasi, verifikasi, atau mutu tulisan, tapi bagaimana seorang editor/penulis memenuhi kriteria SEO dari mesin pencari. Tapi tentu kita tak bisa menyalahkan mesin, tapi orang-orang yang memanfaatkan mesin itu yang semestinya bertanggung jawab.

Di Indonesia bukan hanya Tribunnews yang diperbudak rezim SEO. Ada juga media lain yang serupa, misal dengan jelas menuliskan nama lengkap seseorang yang diduga menjadi pemeran video porno. Mereka nyaris tak peduli bagaimana keluarga, almamater, kerabat dari yang dituliskan itu. Semua demi memenuhi kriteria yang dibuat mesin. Makin hijau, makin tinggi pencarian, makin nomor satu dicari, maka iklan makin banyak.

Di sini moral tak lagi penting. Brand atau pengiklan tak pernah ambil pusing apakah media tempat ia mengiklan punya integritas atau tidak. Mereka hanya peduli, berapa banyak pengunjung media itu? Siapa saja klasifikasi pengunjung situsnya? Berapa banyak yang bisa membeli produknya? Manusia hanya sekadar statistik dan kehormatan menjadi sesuatu yang nyaris tak punya nilai. Yang penting cuan.

Ini mengapa profesi jurnalis media online harus diperiksa lagi. Mereka tak lebih baik daripada penulis konten di sebuah agensi. Jika penulis konten dengan jujur dan terbuka menjual produk, para jurnalis ini digunakan tim marketing untuk menjual statistik. “Penulis-penulis kami menjual berita yang diakses sekian banyak orang, kalau anda iklan di tempat kami, sekian banyak orang yang akan melihat.” Dan ini tak ada hubunganya dengan jurnalisme, murni bisnis belaka.

Pihak terakhir yang paling brengsek dan paling bertanggung jawab atas rendahnya mutu berita online kita adalah para pembacanya. Mereka menolak membaca berita yang bermutu. Semakin bombastis judul, semakin aneh berita, semakin tak masuk akal sebuah konten, maka itu yang diserbu. Sehingga para editor dan penulis mesti menyesuaikan konten yang mereka bikin untuk pembacanya, jika tidak mau dimarahi tim marketing karena turunnya trafik kunjungan.

Para pekerja media online masih berpikir, makin tinggi trafik makin tinggi penjualan iklan. Tidak ada keinginan untuk membuat jurnalisme bermutu yang berpijak pada akurasi, kedalaman, dan kualitas. Semua harus menyesuaikan selera pembaca.

Jika dalam kasus kecelakaan para pembaca ingin tahu berita mistis apa atau siapa korban yang paling cantik, maka pemilik media akan meminta jurnalis untuk menuliskan berita itu. Kalau perlu sampai menanyakan firasat seorang ibu yang berduka, karena itu yang disukai pembaca.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.