Lampiran Perpres yang memuat izin investasi miras di daerah tertentu, baru saja dicabut oleh Presiden. Ini disebabkan karena banyak pihak merasa keberatan. Daripada ribut gak jelas, keputusan itu akhirnya diambil. Tapi fakta ini menunjukkan, masih banyak orang yang memaksakan pandangan keagamaannya.
Saya heran dengan sebagian orang Islam yang merasa negara ini punya embahnya. Soal halal-haram misalnya, mereka ngotot banget memaksakan pandangan keagamaannya. Oleh sebab itu MUI sibuk bikin stempel halal. Dan hampir semua produk distempel. Padahal itu kan hanya ormas. Dan sejak kapan kewenangan ormas berada di atas negara?
Untungnya kebijakan itu mulai diambil alih negara. Tapi tetap saja butuh fatwa MUI. Padahal yang namanya fatwa itu tidak wajib diikuti. Jadi ada atau tidaknya fatwa MUI ya gak masalah.
Begitu juga dengan orang-orang yang mengaburkan fakta tentang Perpres perizinan investasi miras untuk daerah tertentu. Di grup-grup WA beredar ajakan untuk menolak legalitas miras. Ini kan disinformasi. Dan jelas-jelas sengaja menghasut orang agar emosi. Dan tidak aneh, dalam sebaran itu si oknum mengatasnamakan MUI DKI Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini benar-benar dari MUI atau orang yang hanya mencatut namanya.
Kesengajaan mengaburkan fakta itu berbahaya. Selain mengancam akal sehat, juga berpotensi menimbulkan kemarahan massa. Mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Apalagi orang-orang ini biasanya tidak mau membaca. Sudah miskin literasi, mudah tersulut pula.
Faktanya tidak ada pelegalan miras. Perpres itu hanya mengatur soal investasi yang ingin mengembangkan bisnis di Indonesia. Khususnya yang berkaitan dengan industri minuman beralkohol.
Syaratnya tidak gampang. Hanya ada empat wilayah yang diperbolehkan berjalannya izin ini. Daerah tersebut secara tradisional memang akrab dengan minuman beralkohol. Mirip Korea dengan Sojunya.
Daerah itu adalah Bali, Papua, NTT Dan Sulawesi Utara. Pengusaha asing yang diperbolehkan, minimal berinvestasi di atas sepuluh miliar, di luar hitungan tanah dan bangunan. Proses distribusinya harus jelas dan memang sudah ada.
Jadi ini bukan dimaksudkan untuk mencari konsumen baru. Beleid ini hanya mengatur yang sebelumnya semrawut. Yang menyebabkan pungli dan suap merajalela. Tapi yang berkembang di bawah tidak demikian. Mereka sibuk mencaci pemerintah. Dasarnya ya dogma yang mereka yakini. Seolah-olah Perpres itu bertentangan dengan agama.
Pendek kata, sebagian umat Islam itu merasa mereka adalah kelompok spesial yang harus diistimewakan. Soal babi misalnya, mereka sibuk banget, seolah-olah takut kadar keagamaannya luntur kalau senggolan dengan binatang laknat itu.
Padahal bagi umat beragama lain, seumur hidup mereka itu makan barang haram. Sapi bagi umat Hindu disucikan. Haram dimakan. Bahkan di India itu sapi tidak boleh diganggu. Apalagi dimakan. Bisa dimassa. Tapi apakah umat Hindu sibuk protes ini-itu? Enggak. Mereka tidak cengeng minta dihargai keyakinannya.
Apakah umat Islam ada toleransi dan merasa bersalah saat makan daging sapi? Enggak. Karena mereka mayoritas dan menganggap itu sesuai keyakinannya. Soal miras juga begitu. Pelarangan miras harus dipatuhi semua kalangan. Padahal kalau mereka tidak munafik, di semua daerah di Indonesia ini ada produsen mirasnya. Karena bagi sebagian masyarakat, terutama di empat daerah di atas tadi, miras menjadi bagian dari kebudayaan. Tidak selalu buruk asal tidak berlebihan.
Memaksakan pandangan dogmatis untuk daerah yang mayoritas non-Muslim itu adalah kesewenang-wenangan. Contoh prilaku biadab dalam bernegara. Memangnya ini negara mereka saja, sehingga bisa berbuat semaunya?
Miras bagi umat Islam haram. Ok, jangan diminum. Tapi kalau umat beragama lain mau ya jangan melarang. Babi haram bagi umat Islam, ya jangan dimakan. Tapi kalau umat beragama lain mau, ya jangan dicegah.
Biasakan untuk melarang umat sendiri. Bukan memaksakan umat lain ikut perintah agama tertentu. Ini negara bersama. Islam tidak lebih istimewa dibanding agama lain. Semua sama dihadapan negara.
Hari ini Jokowi kalah dengan desakan massa. Langkah itu dilakukan demi kebaikan bersama. Atas nama demokrasi, ini mungkin contoh yang baik. Tapi ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan cenderung sesat pikir. Model penghasutan semacam ini agaknya memang sudah jadi tradisi.
Bahkan sempat ada provokasi, kalau investasi itu dijalankan, para pemuda akan jadi pemabuk di mana-mana. Padahal kebanyakan miras bermerk itu mahal. Yang biasa minum es teh manis pakai plastik gak bakalan kuat beli.
Lagipula kalau orang-orang itu pernah mabuk, mereka akan tahu mabuk itu tidak menyenangkan. Memangnya geng Mudut di kampung-kampung itu, minum oplosan segelas aja rese. Kepala sok dibikin miring. Pengin nabokin orang di jalan-jalan. Giliran musik distel kenceng kontan teriak, “Tareeek sis, semongko...” Bajindul.
Tulisan juga ada di https://www.facebook.com/Kajitow-Elkayeni-103626417658298/?ref=page_internal