Setelah lulus dari pesantren, santri berkiprah di masyarakat menjadi ustadz atau kyai, itu lumrah dan kerén.
Seiring berjalannya waktu, kini sudah banyak santri yang berkiprah di luar kepesantrenan, dan itu kerén bangét. Namun demikian, kita masih membutuhkan lebih banyak lagi profesional muda dari kalangan santri, yang terbiasa hidup mandiri. Kemandirian adalah faktor terpenting saat menghadapi situasi ‘force majeure’ yang setiap saat bisa terjadi.
Seperti pernah disinggung sebelumnya, bahwa predikat santri bukan penghalang untuk berkiprah di luar ‘habitat’ kepesantrenan. Karena pendidikan di pesantren yang menekankan aspek survival, ditujukan agar santri bisa survive saat terjun di masyarakat. Siap menghadapi tantangan zaman, dimanapun dan kapanpun. Jadi, tidak perlu risau saat melihat santri yang berkiprah di luar ‘habitatnya’.
Santri di era milenial yang serba digital ini, dituntut bisa lebih adaptif dengan berbagai pernak-pernik kemajuan zaman. Santri harus akrab dengan kemajuan teknologi terkini. Teknologi harus dikuasai, karena bisa menjadi ‘wasilah’ kebaikan jika dikendalikan seorang santri yang berpengetahuan dan berwawasan luas.
Melihat kondisi yang ada, kita butuh santri yang sekaligus sineas andal, yang bisa membuat film, sinetron maupun video klip yang berkualitas. Sehingga tidak akan ada lagi tayangan yang meresahkan akibat keterbatasan pengetahuan para sineasnya saat membuat sinetron atau film religi, misalnya.
Kita butuh santri yang sekaligus entertainer andal di media TV, sehingga tidak akan ada lagi entertainer yang ‘menjual’ kekurangan dan perbedaan yang meresahkan masyarakat, karena keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya. Padahal, tema ‘agama’ sangat kaya untuk bisa ditampilkan dari atas panggung.
Kita butuh santri yang sekaligus musisi, yang mampu menciptakan lagu kontemplatif bagi siapapun yang menyimaknya. Mampu membangkitkan optimisme di kalangan umat dengan skill musikalitas mumpuni yang dimilikinya.
Kita masih butuh lebih banyak santri yang sekaligus entrepreneur, yang mampu menggerakkan ekonomi umat. Bukan sekedar ramai dalam kemasan, namun juga piawai dalam kemaslahatan.
Kita butuh santri yang sekaligus teknokrat, sehingga diharapkan bisa menghasilkan aplikasi yang maslahat bagi masyarakat. Menjadikan teknologi menjadi wasilah kemaslahatan, bukan kemudaratan bagi usernya.
Kita butuh santri sekaligus Youtuber yang handal. Bisa membuat konten inspiratif, bukan sensasi demi meraih adsense semata. Dengan tampilnya santri yang jadi Youtuber, diharapkan mampu mengembalikan kesadaran kolektif jutaan follower yang sekian lama terbuai dengan konten sensasional dari para Youtuber papan atas, yang dikenal gemar mengumbar sensasi, bukan prestasi.
Predikat santri seharusnya menjadi katalisator dalam setiap tindakan perbaikan di segala zaman yang kian menantang. Kesederhanaan dalam sandang, papan dan pangan, tidak membuat santri ‘kagetan’ ketika mendapatkan kenikmatan. Santri yang terbiasa makan dengan menu ala kadarnya, tidak akan kaget saat mendapatkan menu sultan di hadapannya.
Intinya, santri itu sederhana dalam menjalani kehidupan, tapi mewah dalam wawasan maupun pemikiran.
Selamat Hari Santri 2021