Saya mengenal “Bahtiar Effendy” pertama kali saat duduk di bangku kelas 3 SD di pedalaman Wonsosobo Jawa Tengah. Majalah Panji Masyarakat, edisi tahun 1976, yang tersimpan di rak buku saya buka-buka selepas sekolah. Di situlah saya temukan foto anak muda berlatar panorama negeri Paman Sam yang indah, wajahnya tersenyum dengan air muka tampak sumringah, penuh percaya diri. Foto itu adalah Bahtiar Effendy (muda), yang menulis pengalaman sekolah di Columbia Falls High School di Montana Amerika Serikat. Nama dan tulisan itulah yang kemudian menggurat imajinasi dan cita-cita sekolah di luar negeri.
Saya bersyukur pada Bapak dan Ibuku—yang meski hidup di pedalaman dingin di Wonosobo, tak berat berlangganan Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Media Dakwah, Majalah Masjid, Si Kuncung, dan Rindang. Berkat itulah, saya juga dapat mengenal tokoh-tokoh Muslim seperti Prof Hamka, Mohammad Natsir, Endang Syaifuddin Anshari, Nurcholis Madjid, Amien Rais, Syafi’i Maarif dan anak-anak muda jurnalis dan penulis seperti Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat (kedua nama terakhir adalah wartawan dan redaksi Panji Masyarakat era 80-an).
Sepulang dari Paris pada 2012, setelah “nyantrik” di Ecole des Haute Etudes en Sciences Sociales (EHESS), saya tinggal di Jakarta. Di situlah pertama kali, di Gedung MPR/DPR, tepatnya di ruang Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari, saya bertemu Prof Bahtiar yang tulisannya di Panjimas kala itu begitu menginspirasi. Mas Hajri memperkenalkan, “Mas Bahtiar, ini saya kenalkan Andar Nubowo, baru pulang master dari Universitas Sorbonne, universitas ‘ngisor kebon’ hehe..”. Mas Hajri tampak berusaha meyakinkan Prof Bahtiar dengan bercanda.
Pelintas Batas Tradisi
Prof Bahtiar, begitu biasa saya sapa, adalah santri pelintas batas tradisi. Para era 1970-an, seperti era sebelum dan sesudahnya, sekolah di pesantren adalah pilihan tak populer. Menjadi santri identik dengan “sarungan, partai Islam, dan negara Islam” dan Madesum (masa depan suram).
Sebaliknya, bersekolah umum menjanjikan karir masa depan. Ia yang berlatar keluarga NU di Palagan Ambarawa, berguru di Pesantren Modern Pabelan Magelang asuhan Kiyai Humam Ja’far. Bahtiar muda tampaknya, ingin membutikan diri bahwa seorang santri itu tidak “kaku”, “kolot” dan “madesum”.
Riwayat pendidikan Bahtiar muda sepenuhnya mencerminkan sebuah utopia santri baru: pintar, maju, modern dan kosmopolitan. Pada dekade 1970-an, saat sebagian besar santri masih berkutat pada dunia kepesantrenan dengan ritual dan episteme-nya yang masih tradisional, Bahtiar muda telah menapaki kosmopolitanisme Amerika Serikat. Ia terpilih selama satu tahun penuh untuk mengikuti “student exchange” di Montana Amerika Serikat atas beasiswa American Field Service (AFS) pada 1976-1977. Mungkin, ia satu-satunya santri pesantren yang terpilih mendapat beasiswa bergengsi itu. Dari Pesantren Modern Pabelan inilah Bahtiar muda memulai karir cemerlangnya di dunia akademia.
Sepulang dari program AFS dan setamat dari Pabelan, Bahtiar muda menekuni kajian perbandingan agama di IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta. Pada saat itu, ilmu perbandingan agama adalah jurusan favorit paling diminati santri-santri brilian dari beragam pesantren berkat ketokohan dan kepakaran Prof Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama. Tak heran jika sarjana Muslim terkemuka saat ini berasal dari disiplin ini, seperti—untuk menyebut beberapa di antaranya dan yang saya tahu, Din Syamsuddin, Amin Abdullah, Hariyanto Y Tohari, dan Bahtiar Effendi sendiri.
Cemerlang dalam studinya di Ciputat pada 1985, Bahtiar muda pergi untuk kali kedua ke Amerika Serikat, untuk meraih master di Ohio University Athens, OH pada 1986-1988 dan selanjutnya S3 Ilmu Politik di Ohio State University. Lulus pada 1994, ia balik ke Indonesia dan menjadi ilmuwan politik cum aktivis Muhammadiyah.
Prof Bahtiar menjadi ilmuwan politik yang istikamah dan ketat dalam memegang teguh disiplin kesarjanaannya. Ia tak pernah mau menjadi mubalig atau sebatas khatib Jumat. Ia hanya bersedia menjelaskan Islam dalam fenomena sosial dan politiknya, bukan doktrin keagamaannya. Sebagai ilmuwan politik tentu saja. Ia pun bersungguh-sungguh menjadi aktifis Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Generasi Santri-Intelektual Baru
Sumbangsih keilmuan Prof Bahtiar penting untuk dicatat. Disertasinya di Ohio State University berjudul Islam and the State in Indonesia (2004) berkontribusi penting pada perkembangan studi politik Islam di Indonesia dan sekaligus berhasil menandai fenomena sinkronis dan diakronik serta kesinambungan (continuity) dan perubahan (change) pemikiran dan praktik politik Muslim.
Sejatinya, perubahan itu dipicu oleh tragedi dan kegetiran politik yang menimpa Masyumi. Represi Soekarno dan Soekarno ada akhir Orde Lama dan awal Orde Baru mengubah takdir sejarah politik Islam Indonesia. Represi politik ini menciptakan frustasi dan trauma, yang mendorong sebagian besar elit Masyumi menjadi pendakwah neofundamentalisme dan Islamisme.
Kegetiran dan trauma politik ini juga dirasakan oleh santri dan intelektual muda Muslim. Hal ini mendorong mereka untuk merumuskan strategi baru dan segar untuk keluar dari trauma dan depolitisasi politik Islam ini. Paradigma politik Islam lama pemimpin Masyumi ditolak oleh apa yang Prof Bahtiar sebut sebagai “intelektual Muslim baru”. Generasi santri muda ini—diwakili Mukti Ali, Nurcholis Madjid, M. Dawan Rahardjo, Djohan Effendi, Amien Rais dan Syafi’i Maarif dan Abdurrahman Wahid, mengkritik generasi muslim lama tentang “utopia negara Islam” dan mengajukan proposal baru –sebagai gantinya, tentang perlunya reapropriasi politik Islam dalam konteks modernitas, pembangunan, kebangsaan dan ke-Indonesia-an dan Pancasila.
Pandangan baru inilah yang, menurut Prof Bahtiar, memungkinkan Islam dapat berkembang secara baik dan berkontribusi pada pembangunan nasional; tidak lagi berkutat dalam debat ideologi politik yang membenturkan relasi Islam dan negara, Islam dan Pancasila dan sebagainya. Pandangan ini, tentu saja, amat membantu pengkaji sejarah Islam dan politik di Indonesia untuk menemukan fakta bahwa paradigma dan pandangan elit politik Islam itu mengalami evolusi, dinamis, mengecambah dalam beragam varian yang distingtif, dan utamanya tidak mono vokal. Fakta dan utopia sosial dan politik kaum santri inilah yang perlu dipahami secara seksama.
Setelah itu tradisi keilmuan Islam di IAIN –khususnya di Yogyakarta dan Jogjakarta berubah. Mukti Ali dan Harun Nasution –keduanya Rektor IAIN, melakukan reformasi dan reorientasi paradigm keilmuan studi keagamaan dari berkiblat ke Timur Tengah menuju ke tradisi skolastik Barat. Penguasaan metodologi keilmuan sosial dalam mendekati teks keagamaan mulai ditradisikan.
Pada masa Menteri Mukti Ali, sarjana berprestasi dikirim ke kampus-kampus di Kanada dan Amerika, sebagian ke Eropa. Kebijakan ini berlanjut pada era Menteri Agama Munawwir Sadzali. Kebijakan pro-Barat ini berkebalikan dengan Mohammad Natsir, pendiri dan wakil Rabitah Alam Islami yang mengirim para santri ke Arab Saudi dan Timur Tengah, melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), berdiri tahun 1967.
Dalam konteks reorientasi keilmuan dan kebijakan pendidikan di IAIN inilah, Prof. Bahtiar Effendy tumbuh sebagai santri generasi baru. Selain sebagai ilmuwan yang mengamati sejarah politik Islam Indonesia, sejatinya, ia sendiri adalah bagian integral dari perubahan paradigmatik dan orientasi politik umat Islam.
Sekembali dari Amerika Serikat, Din Syamsudin dan Bahtiar Effendy, dua karib dekat di Ciputat ini, mengajukan proposal pemikiran untuk mempertimbangkan kembali hubungan Islam dan politik, sambil mengajak anggota ormas Islam Muhammadiyah dan NU berinvestasi pada beragam institusi politik, termasuk parpol nasionalis dan sekular.
Namun dalam beberapa tahun belakangan, Prof Bahtiar tampaknya kecewa dengan institusi politik. Ia mengamati adanya involusi dan disfungsi institusi kepartaian yang berakibat pada buruknya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan negara. Dalam kekaburan ini, bisa dipahami, jika Prof Bahtiar adalah penyeru paling getol bagi umat Islam untuk membangun amal usaha politik. Hal ini mengundang tanya; mengapa ia menyeru umat Islam untuk berpolitik dengan mendirikan amal usaha politik? Apa argumennya?
Tentu saja, sebagai akademisi, Prof Bahtiar punya segudang argumen. Kita tunggu peluncuran buku terakhirnya tentang “Politik Sebagai Amal Usaha”. Sebuah karya terakhir yang penting untuk mengetahui dinamika pemikiran politik Islam dan tak kalah menarik adalah utopianya.
Nasehat Pamungkas
Dalam berbagai kesempatan, baik di FISIP UIN Jakarta, MPR RI, maupun Muhammadiyah, serta di sela-sela diskusi informal tentang politik nasional, Pilkada DKI 2012, dan Pemilu Presiden 2004, Prof Bahtiar menasehati saya, “Andar, jika aku jadi kamu, dalam kondisi politik di Indonesia sekarang ini saya akan lanjut sekolah ke luar negeri.”
Nasehat ringkas itu menghunjam di sanubari paling dalam. Tampaknya, kalimat ini mewakili keprihatinannya pada santri-santri muda yang ia kenal— bukan hanya pada saya seorang, yang sekolahnya belum paripurna. Baginya, seorang santri harus keren dan konfiden, setidaknya meraih gelar S3 dari tradisi keilmuan Barat, seperti dirinya.
Selain saya, Ahmad Fuad Fanani, tampaknya, juga sering mendapat nasehat itu. Fuad beruntung, setelah master di Flinders University, ia pergi ke Toronto University dan sekarang balik lagi S3 di ANU Canberra Australia.
Sesungguhnya, Prof Bahtiar kesal ketika melihat saya masih saja “lontang-lantung” dalam aktivisme sosial di Jakarta. Ketika saya menjadi Presiden Direktur Lazismu, sejak 2016-2018, saya jarang kontak dengan beliau, begitu juga sebaliknya. Mungkin tak ada lagi topik bahasan yang sama untuk didiskusikan, yang biasanya soal politik dan keilmuan. Atau, mungkin, barangkali, ia masih terus menunggu kapan saya “serius” mendengarkan nasehatnya untuk lanjut sekolah.
Dalam sebuah rapat di Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Menteng pada akhir 2016, yang membahas Ahmad Dahlan Bond, sejenis beasiswa Ahmad Dahlan, Prof Bahtiar—seperti yang dituturkan salah satu peserta rapat pada saya, menyinggung nama saya dengan nada kesal, “Mana itu Andar. Katanya mau sekolah, kok tidak jelas-jelas!”.
Prof Bahtiar baru “happy” ketika saya kembali ke “habitus” akademia di S. Rajaratnam School of Internasional Studies (RSIS) NTU of Singapore tahun 2017-2019, atas budi baik Mas Rizal Sukma, CSIS dan Dubes RI di Inggris, dan Prof Leonard Sebastian. Di Singapura, gairah akademik saya yang lama terputus, selama hampir 5 tahun, kembali tumbuh dan merejat-rejat.
Untuk memungkasi catatan kecil ini, saya ingin menyampaikan, bahwa saya benar-benar menekuri nasehat itu. Tak pernah mengingkarinya. Pesannya saat saya pamitan untuk kembali lagi ke Perancis cukup singkat, “mantaPPP dan tuntaskan!”.
Terima kasih Prof Bahtiar. Kini, Tuhan Semesta Alam telah memangkumu dalam kasih dan damai. Insya Allah, inilah saatnya Prof mengetam benih cipta rasa dan karsa berupa amal dan budi baik.
Istirahatlah di sana dengan tenang. Cita sosial dan politikmu titipkanlah pada generasi-generasi muda yang turut Prof bimbing, dampingi, kritik, dan sentil. Kini, mereka itu tumbuh sekeren dan seelegan dirimu.
Allahummaghfir lahu war hamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Amien.
Villefrance-sur-Saone, Musim Dingin, 01.45, 10 Desember 2019.