Seperti yang kita ketahui secara bersama, belakangan ini sedang terjadi kekacauan di dalam masyarakat kita atas berbagai peristiwa yang terjadi. Mulai dari peristiwa asrama papua di Surabaya yang digeruduk oleh aparat dan ormas reaksioner, Karhutla (Kebakaran hutan dan lahan) di Kalimantan dan Riau, RKUHP, UU KPK yang kontroversial, pendesakkan agar segera disahkannya RUU-PKS, dan masih banyak lagi berbagai public discourse, yang mungkin tidak akan selesai jika dibahas di dalam satu tulisan hemat ini.
Ada satu pembahasan yang sangat menarik untuk disoroti dan lebih bersifat mendesak untuk dikritisi, yang justru kalah pamor atau kurang mendapat banyak perhatian dan kritik publik (tanpa mengurangi hormat saya kepada seluruh masyarakat yang turun melakukan gerakan hari-hari belakangan ini) yaitu, RUU Pertanahan. Mengapa akhirnya RUU Pertanahan menjadi mendesak? Apa yang menjadi urgensi kita untuk sama-sama membahas dan mengritisi RUU Pertanahan?
Berusaha Merevisi Undang-undang Pokok Agraria
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Undang-undang yang di dalamnya mengatur hal-hal yang menyangkut soal seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu sebagai Undang-undang yang pokok, Undang-undang yang berada di bawah payung UUPA, seperti Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU-P) haruslah tidak bertentangan dengan semangat, dan amanat daripada UUPA itu sendiri.
UUPA memberikan amanat, sesuai dengan yang tertera pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa negara adalah sebagai organisasi tertinggi kekuasaan rakyat, sumber daya alam yang ada demi kepentingan; keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Maka sumber daya alam seperti yang disebutkan di atas haruslah dipergunakan semaksimal mungkin demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Sebagai sebuah operasional daripada UUPA, RUU-P seharusnya menjadi pelengkap mengenai hal-hal yang belum diatur di dalam UUPA itu sendiri. Bukan malah sebaliknya; RUU-P berusaha merevisi beberapa hal substansial di dalam UUPA.
Pereduksian Makna dari Reforma Agraria
Bab VI RUU-P tentang Reforma Agraria (RA), menjelaskan bahwa RA masih (sekadar) proses redistribusi lahan, bahkan sangat berpotensi menyempit maknanya menjadi proses sertifikasi semata. Jika model ini yang dipayungi oleh RUU-P maka RA menjadi sekadar “pengelolaan pertanahan” atau land management belaka.
RA yang dimaksud sebagai Reforma Agraria sejati (genuine landreform) adalah suatu program yang memiliki jangka waktu yang jelas, dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia, dan cepat. Bukan suatu program “berkelanjutan” dengan capaian yang abu-abu.
RUU-P hendaknya menguraikan dasar-dasar yang pokok bagi pelaksanaan RA: prinsip-prinsip pelaksanaan RA, tujuan RA, arah kebijakan, strategi pelaksanaan RA, tanah objek RA, subjek rakyat RA. Proses “pengelolaan pertanahan” atau sertifikasi seharusnya digunakan untuk melihat adanya ketimpangan struktur agraria di dalam suatu wilayah yang nantinya dipergunakan untuk menganalisis tanah objek RA, serta pelaksanaan RA di kemudian hari.
Maka dari itu RA sejati (genuine landreform) adalah suatu program penting dalam struktur ekonomi Indonesia; RA dipakai untuk memperbaiki ketimpangan struktur agraria secara nasional dan kewilayahan. Selanjutnya menjadi basis pendorong ekonomi rakyat Indonesia dengan menciptakan pertanian modern yang produktif sehingga dapat mendorong terjadinya transformasi sosial. Maka RA bukan hanya sekadar penataan pertanahan semata atau sertifikasi.
Tentang HGU
Bila kita rentetkan konflik-konflik agraria struktural yang terjadi belakangan ini, hampir setiap konflik agraria struktural, sebagian besar terjadi di atas HGU milik korporasi yang memiliki penguasaan tanah yang luas. Sementara dalam amanat UUPA HGU diperuntukkan bagi koperasi-koperasi rakyat (pasal 28 UUPA) agar tercipta masyarakat tani yang modern.
Perpanjangan HGU
Pemerintah memandang HGU yang sudah diberikan selama 35 tahun untuk Badan Hukum dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun. Perpanjangan yang kedua dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun. Sehingga total penguasaan lahan perusahaan dengan HGU adalah: 35 ditambah 35, lalu ditambah lagi 20, sama dengan 90 tahun. Semua dengan mempertimbangkan jenis investasi dan daya tarik investasi. Artinya, pemerintah memanjakan investor untuk terus mengusahakan tanah dengan HGU. Lebih dari itu pemberian perpanjangan HGU pun menutup kemungkinan masyarakat lokal atau masyarakat yang membutuhkan lahan memperoleh hak atas tanah, dan menutup peluang penyelesaian konflik agraria.
Pada pasal 25 ayat (5) Pemberian perpanjangan yang kedua oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan: (a) umur tanaman; (b) jenis investasi (jangka panjang atau pendek); dan (c) daya tarik investasi.
Maka, dengan kata lain, RUU-P tidaklah membawa semangat dan amanat daripada UUPA, di mana fungsi tanah secara sosial dan ekonomi adalah sebagai dasar perubahan rakyat Indonesia. Dengan mereduksi makna RA, RUU-P hanya menjalankan “penataan pertanahan”, di mana RA berpotensi besar hanya menjadi sekadar sertifikasi semata, yang berlawanan 180 derajat dengan makna RA yang sejati, yaitu; sebagai pembangunan basis ekonomi masyarakat Indonesia lewat sektor pertanian modern, yang, produktif dan akumulatif.
Lebih dari itu, RUU-P juga menutup kemungkinan penyelesaian konflik agraria struktural. Justru muatan-muatan daripada RUU-P akan memperpanjang rentetan konflik agraria struktural, karena RUU-P hanya akan memanjakan investor semata, yang artinya, akan menimbulkan semakin massifnya perampasan lahan pertanian rakyat, semakin massifnya perusakan lingkungan hidup, serta menurunkan posisi tawar rakyat Indonesia atas tanahnya sendiri.