La Nyalla Mattalitti pindah ke kubu Jokowi. Tak sulit untuk menduga bahwa motif pindah kubu itu adalah karena La Nyalla gagal menjadi Cagub Jawa Timur pada Pilkada tempo hari. La Nyalla kecewa, karena meski sempat mendapat janji dukungan, pada akhirnya Prabowo beserta Partai Gerindra mendukung Gus Ipul, yang akhirnya juga kalah.
Tidak hanya pindah. La Nyalla Mattalitti kini sibuk berkicau soal kampanye hitam yang dulu ia kerjakan untuk menghadang Jokowi pada Pilpres 2014. Ia terang-terangan mengaku bahwa ia menyebar isu bahwa Jokowi itu PKI, antiislam, dan sebagainya. Kampanye hitam itu efektif. Di wilayah di mana La Nyalla berkampanye, Jokowi kalah telak, dan nyaris tak mendapat suara sama sekali.
Ada orang mengaku menebar fitnah. Dalam hukum kita itu adalah tindak pidana. Sejumlah orang telah masuk penjara karena itu. Tapi yang ini aman. Tidak akan ada tuntutan hukum akibat pengakuannya. Kenapa? Karena ia kini berada di barisan pendukung penguasa. Kejahatannnya di masa lalu otomatis termaafkan, meskipun sistem hukum kita tidak mengenal mekanisme itu.
La Nyalla Mattalitti bukan pembelot pertama, dan pasti juga bukan yang terakhir. Sebelum ini telah terjadi pembelotan besar.
Satu gerbong besar Partai Golkar yang dipimpin Airlangga Hartarto pindah ke kubu Jokowi. Imbalannya pun tidak kecil. 2 kursi menteri dalam kabinet disediakan Jokowi, yang kemudian diisi oleh Airlangga dan Idrus Marham. Belakangan Idrus mundur karena kasus korupsi, ia digantikan oleh Agus Gumiwang Kartasasmita, kader Golkar lain. Idrus adalah tokoh penting dalam tim Prabowo pada Pilpres 2014. Ia juga sering mengeluarkan ucapan-ucapan tajam terhadap Jokowi selama masa kampanye.
Pada posisi yang lebih rendah ada Ali Mochtar Ngabalin, yang ikut pindah bersama gerbong Airlangga. Ia juga dulu kerap mengkritik Jokowi, tapi kini berada sangat dekat dengan Jokowi.
Kubu Jokowi tentu bukan satu-satunya pihak yang menerima dan mengumpulkan para pembelot. Di kubu Prabowo kini ada Sudirman Said, Tedjo Edhy Purdjianto, dan Ferry Mursyidan Baldan. Ketiganya adalah mantan menteri dalam kabinet Jokowi, yang tersingkir karena perombakan kabinet. Mereka kini berperan penting dalam tim kampanye Prabowo. Sosok lain yang juga tersingkir adalah Anies Badwedan, yang kemudian mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI atas dukungan Prabowo. Secara formal Anies bukan bagian dari tim Prabowo, tapi tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa ia berada di barisan pendukung Prabowo.
Bagi kita orang awam sulit untuk membayangkan bagaimana kondisi psikologis para politikus itu. Setelah habis-habisan mengkritik, mengejek, bahkan memfitnah dan memaki seseorang, mereka kini bisa duduk manis di sisi orang yang dimaki itu. Yang dimaki pun santai saja. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Ringkasnya, para politikus itu bisa dengan mudah saling memaafkan.
Tidak usah heran. Para politikus itu memang harus membiasakan diri mengabaikan banyak hal, dan hanya berpikir tentang satu tujuan: kekuasaan. Makin besar kekuasaan yang dikejar, makin besar pula hal-hal yang harus diabaikan.
Terlebih lagi dalam sistem politik kita. Partai dan kelompok politik tidak punya ideologi. Ideologinya adalah kekuasaan. Pihak mana pun yang berpolitik menganut ideologi sama. Pindah kelompok tidak memerlukan energi besar, karena tidak ada tembok ideologis yang harus dilompati. Mereka hanya perlu menumpulkan rasa, sehingga bisa saling mengabaikan kepedihan akibat berbagai friksi yang pernah ada.
Mengapa La Nyalla Mattalitti membelot? Karena ia tak dapat posisi yang ia harapkan di kubu Prabowo. Mengapa Sudirman, Tedjo, dan Ferry membelot? Karena mereka tidak lagi dipakai oleh Jokowi. Kedua kelompok itu punya misi yang sama, mencari jabatan baru.
Mungkinkah ada menteri yang masih menjabat, mundur dari jabatan karena merasa tidak cocok lagi dengan presiden? Sepanjang ingatan saya, tidak ada. Selama masih berkuasa, orang tidak akan pindah kubu, karena tidak perlu. Mereka pindah semata untuk memburu kekuasaan baru.
Apa yang diharapkan oleh penerima? Tidak ada hal muluk-muluk terkait pemikiran, gagasan, strategi, dan sebagainya. Hal terpenting bagi penerima adalah, berapa banyak suara yang bisa disumbangkan oleh pembelot. Di negeri ini politikus tidak perlu repot soal gagasan kampanye atau program kerja. Konsep yang rumit tidak penting. Yang penting adalah bagaimana mengumpulkan sebanyak mungkin pemilih.
Pemilih memang tidak begitu peduli soal program kerja. Mereka hanya butuh kepuasan-kepuasan emosional, atau uang saku. Dengan imbalan itu mereka dengan senang hati akan menyumbangkan suaranya.
Tentu ada kelompok fanatik. Para pendukung Prabowo yang tadinya berada dalam koordinasi La Nyalla Mattalitti tidak serta merta mengikutinya pindah ke kubu Jokowi. Sama halnya ketika Tuan Guru Bajang, yang tadinya dipuja-puja sebagai ulama suci, tiba-tiba dicaci-maki ketika ia memutuskan untuk mendukung Jokowi. Tapi tidak perlu khawatir. Kelompok ini tidak banyak. Yang lebih banyak adalah yang bisa dengan mudah digiring.
Massa pendukung pihak yang menerima juga bisa beradaptasi. Dulu Ngabalin dan La Nyalla adalah sasaran makian para pendukung Jokowi. Kini mereka berdua adalah pahlawan yang akan memastikan kemenangan Jokowi.
Tidak hanya politikus yang pragmatis. Para pendukungnya pun begitu. Padahal mereka tidak mendapatkan apa pun dari pragmatisme itu.