Jumat, April 19, 2024

Pilihan Sikap Politik PDI-P dan Implikasinya

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Di antara berbagai partai politik yang ada dan bermunculan di Indonesia, PDI-Perjuangan (PDI-P) boleh jadi adalah salah satu partai yang sejak kelahirannya konsisten mendukung dan memperjuangkan kepentingan rakyat miskin dengan dasar semangat multikulturalisme.

Pilihan sikap politik PDI-P yang konsisten mendukung dan mendorong semangat multikulturalisme itu, di satu sisi merupakan nilai lebih partai ini bagi konstituennya, tetapi di sisi yang lain pilihan sikap politik yang memperjuangkan semangat multikulturalisme itu bukan berarti tidak beresiko. Pilihan sikap politik dan ideologi partai yang mengedepankan NKRI dan kebhinekaaan itu, sedikit-banyak membuat PDI-P menjadi berjarak dengan konstituen Islam, terutama kelompok Islam kanan.

Perselisihan tokoh-tokoh yang diusung PDI-P dengan kelompok Islam kanan, salah contohnya, membuat Basuki Tjahaya Purnama dan pasangannya yang diusung PDI-P berebut kursi Gubernur DKI Jakarta akhirnya kalah. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di luar dugaan mampu mengalahkan pasangan Ahok-Djarot yang digadang-gadang PDI-P. Hal yang kurang-lebih sama juga terjadi di sejumlah daerah yang lain. Dalam pelaksanaan Pilkada serentak di 171 daerah, PDI-P hanya sukses memenangkan 6 Gubernur dan 91 Bupati/Walikota.

Di luar faktor ideologi PDI-P yang membela multikulturalisme, sudah barang tentu ada faktor lain yang membuat peluang calon kepala daerah yang didukung PDI-P gagal meraup suara terbanyak dalam kontestasi Pilkada. Setting perkembangan situasi politik dan fragmentasi yang terjadi di kalangan para pemilih akibat upaya yang dikembangkan berbagai partai politik yang ada di tanah air, tentu menjadi faktor yang mempengaruhi persebaran pilihan kontituen.

Untuk mempertahankan prestasi meraih suara mayoritas dan menjaga stamina agar reputasi PDI-P tetap dapat dipertahankan, sudah tentu ada banyak hal yang harus dilakukan.

Pertanyaan yang muncul di benak masyarakat dan pengamat dewasa ini adalah: Bagaimana nasib PDI-P di tahun 2019 nanti? Apakah calon anggota legislatif dan pasangan capres-cawapres yang diusung PDI-P akan mampu meraih simpati pemilihnya dan kembali mengulang kejayaannya lima tahun lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu bukan hal yang mudah.

PDI-P, yang selama sepuluh tahun periode Presiden SBY memilih langkah menjadi partai oposisi, sejak tahun 2014 lalu memang telah sukses memenangkan Pemilu hingga menjadi partai yang berkuasa (the ruling party). Presiden pilihan partai dan yang diusung PDI-P beserta partai koalisinya, Jokowi (Joko Widodo) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla terbukti menang dalam Pilpres. PDI-P juga sukses meraup jumlah kursi DPR terbanyak, yaitu 109.

Masalahnya sekarang, dalam kondisi tensi politik yang terus naik dan perang kata-kata melalui media sosial yang makin intens bermunculan, bagaimana peluang PDI-P untuk tetap dapat mempertahankan supremasinya? Kelebihan PDI-P yang dikenal sebagai partai nasionalis dan pendukung kebhinekaan, bukan tidak mungkin justru menjadi titik lemah jika tidak dikelola dengan baik.

Sebagai partai politik yang dikenal luas masyarakat memiliki ideologi dan sikap politik yang memperjuangkan multikulturalisme, ada sejumlah hal yang mesti ditimbang PDI-P dalam menentukan sikap dan mencari perluasan dukungan konstituen. Tetap mempertahankan citra sebagai partai nasionalis, sementara di saat yang sama juga harus memperluas basis dukungan massa dari berbagai kelompok lain, tentu membutuhkan strategi dan kerja keras para pekerja partai. Secara garis besar, dua hal yang perlu menjadi fokus perhatian PDI-P ke depan.

Pertama, sejauh mana PDI-P menentukan batas demarkasi perluasan dukungan dari basis massa baru, terutama dari kelompok umat Islam. Dengan menjalin koalisi dengan Ma’ruf Amin yang dikenal sebagai sesepuh NU yang dihormati masyarakat, jelas ada banyak hal positif akan diperoleh Jokowi yang merupakan kandidat presiden yang diusung PDI-P dan partai koalisinya. Strategi menggandeng Ma’ruf Amin adalah langkah taktis yang menjadi pilihan PDI-P untuk memperluas basis dukungan massa kepada kandidat presiden yang diusung PDI-P dan partai koalisinya.

Apakah ada peluang pihak Jokowi menjajaki kemungkinan menjalin koalisasi atau meminta dukungan dari kelompok Islam kanan? Dalam rangka memperluas basis dukungan, tentu sah-sah saja jika PDI-P dan Jokowi berusaha menjajaki kemungkinan mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh Islam kanan. Namun, upaya untuk mencari dukungan dari kelompok Islam kanan bukan berarti tanpa resiko yang bisa kontraproduktif bagi PDI-P.

Selama ini, kita tahu basis kuat massa pendukung PDI-P dan Jokowi adalah pada kelompok nasionalis, kaum abangan, dan masyarakat marginal yang untuk sebagian kerap berseberangan dengan kelompok Islam kanan. Terlalu mengejar dukungan dari Islam kanan, tetapi melupakan kondisi psikologis konetituen yang memiliki sikap politik dan ideologi yang berbeda, tentu juga bisa berdampak merugikan. Membatasi meraih dukungan dari basis massa baru, lebih realistis jika diharapkan dari simpatisan Ma’ruf Amin.

Kedua, sejauh mana PDI-P mampu merevitalisasi diri dan mengembangkan basis dukungan dari kelompok yang ditengarai bakal menjadi penentu kuat dalam memberikan suara kepada calon anggota legislatif maupun Presiden. Kelompok suara anak muda milenial dan kaum ibu adalah dua kelompok strategis yang perlu menjadi fokus perhatian tim sukses Jokowi-Ma’ruf Amin.

Untuk meraih simpati dan dukungan suara dari kelompok anak muda milenial dan kaum perempuan, sudah tentu yang dibutuhkan bukan hanya terminologi yang sesuai dengan karakteristik dan subkultur kedua kelompok ini, tetapi juga maskot program yang benar-benar relevan.

Kepedulian kepada nasib perempuan yang masih tertinggal, perempuan miskin, perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, serta kepedulian kepada kebutuhan anak muda milenial untuk beraktualisasi, tentu perlu segera diakomodasi dan dirumuskan dalam program unggulan yang jelas arahnya.

Sebagai partai politik yang kini menjadi the rulling party dan memiliki Presiden yang merupakan petahana (incumbent), tentu ada banyak tantangan dan upaya yang mesti dikembangkan PDI-P dan partai koalisinya. Daripada ikut larut dalam perdebatan yang tidak perlu dan ikut latah mengeluarkan narasi-narasi politik yang kurang bermutu, alangkah bijak jika PDI-P konsisten dalam sikap dan semangat perjuangannya untuk mendukung multikulturalisme dan memperlihatkan kepedulian yang benar-benar nyata kepada masyarakat miskin dan kelompok the others.

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.