Jokowi-JK saja boleh mengklaim diri mereka adalah kita, mengapa kita tak boleh mengklaim Maria pemenang Indonesian Idol 2018 demikian? Klaim adalah kunci. Kalau tidak suka, silakan berdebat dengan Pak Amien Rais. Dengkul beliau pernah diklaim Gus Dur sebagai modal menjadi presiden.
Jika dalam perjalanannya klaim Jokowi-JK tersebut ternyata tidak terbukti; yang berseberangan tetap tak sudi berdamai dan malah semakin membabi-buta, dan yang mengaku menjadi bagian dari “kita” itu juga tak pernah mau rendah hati dan seperti tak pernah kehabisan umpan untuk memancing keributan, itu adalah salah satu tambahan amunisi untuk membenarkan judul tulisan ini.
Rasa-rasanya, menjadikan ajang pencarian bakat Indonesian Idol sebagai model untuk pilpres adalah pilihan yang menyenangkan. Tak ada perdebatan menahun antara pendukung Mike dan Judika, atau yang terakhir Maria dan Abdul, tentang siapa sesunguhnya pemilik sah embel-embel “Indonesia”. Tentu saja pilihan model ini mengharuskan semua capres-cawapres bersedia dianugerahi gelar oleh Hary Tanoesudibjo; yang tentu saja tidak ada yang benar-benar sudi kecuali Sudi Silalahi. Belum lagi akan timbul persoalan karena naga-naganya Hary Tanoe sendiri bernafsu menjadi kontestan di masa depan. Suram.
Sembilan dari sepuluh teman saya mengaku bahwa masing-masing mereka adalah satu-satunya orang dalam lingkaran pertemanan kami yang tidak menonton Indonesian Idol. Satu sisanya bilang menonton tapi tidak semua episode. Tidak menonton dan menjadi satu-satunya adalah kebanggaan. “Apa cuma gue yang enggak nonton?” serupa mantra yang membuat si pengucap menjadi orang paling berbangga di dunia.
Maksud sepuluh teman saya itu adalah menonton di televisi. Semuanya pernah menonton di Youtube. Beberapa malah dengan malu-malu Cak Imin mengaku menonton video audisi Marion Jola berulang-ulang.
Pilihan mereka masuk akal. Anda tentu tak sudi menghabiskan waktu tiga jam di depan televisi hanya untuk menunggu penampilan idola Anda yang kurang dari lima menit, selebihnya Anda harus menyaksikan candaan juri seputar kehidupan pribadi mereka; gimik-gimik ala acara berjam-jam yang saat ini menjadi umum di televisi kita. Ketika video-video di internet berlomba-lomba menjadi singkat dan padat, kecuali Paguyuban Pamitnya Meeting, stasiun-stasiun televisi kita berlomba bikin acara bertele-tele.
Semalam akhirnya saya menonton sepertiga akhir Indonesian Idol, demi menulis komentar nirfaedah ini. Bosan menyaksikan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan keindonesiaan apalagi ketuhanan, saya mencari-cari bacaan baik tentang American Idol. Anda tahu, Anda tak bisa berharap ada bacaan bermutu di internet tentang Indonesian Idol hari-hari ini. Jangankan tentang Indonesian Idol, mencari artikel berbahasa Indonesia yang mencerahkan tentang situasi politik mutakhir Indonesia saja seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Bisa Anda bayangkan betapa beratnya tugas saya sebagai redaktur baru The Geotimes. Hasilnya? Saya menemukan artikel berjudul “American Idol” di situsweb The New Yorker. Isinya tentang idola Amerika sesungguhnya: Emily Dickinson. Mantap.
Di grup Whatsapp teman-teman saya, Arman Dhani membagikan foto calon sampul Antar Kota Antar Puisi, buku kumpulan puisi terbaru penyair Beni Satryo. Terjadilah perdebatan seru antaranggota grup tersebut yang isinya terlalu keras untuk dikunyah publik. Novelis Sabda Armandio mengusulkan, “Pas hari puisi nanti bikin acara buat Beni, yuk, tajuknya antipuisi.” Penyair Dea Anugrah menyahut separuh antusias, “Ayo aja. Tapi kalau ada bagian menjelaskan apa itu antipuisi, jangan nyuruh aing ya. Goenawan Mohamad aja.” Percakapan selanjutnya jauh lebih keras dari korondum untuk digigit khalayak, tetapi intinya semua itu semakin meyakinkan saya bahwa yang pantas menjadi idola Indonesia sesungguhnya adalah penyair Beni Satryo.
Buku puisi pertama Beni Satryo, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, mendapatkan sanjungan luar biasa dari penyair Joko Pinurbo. Sastrawan AS Laksana dan Puthut EA sampai berniat pensiun menulis, keduanya gentar di hadapan karya Beni. Banyak orang menyambut buku itu seperti menyambut Sule atau Cak Lontong, mereka menganggap pwissie-pwissie Beni lucu dan menghibur, tetapi, di sisi lain, bagi kritikus Mikael Johani and it’s wow, “tidak seperti orang gembar-gemborkan, sebenarnya lebih banyak sedihnya daripada lucunya.” Itulah kehebatan Beni di buku pertama, di buku kedua tentu ia akan berlipat ganda.
Sementara ada yang mengklaim Indonesia sedang terpakistanisasi, dan sebagian pihak lain mengklaim Indonesia semakin memusuhi Islam, mengapa saya tak boleh mengklaim Beni Satryo idola Indonesia sesungguhnya yang akan mendamaikan dan menggembirakan bangsa ini? Selamat kepada Maria Simorangkir, pemenang Indonesian Idol 2018.