Minggu, November 24, 2024

Pembajak buku dan Aktivisme Radikal Buku Terlarang

- Advertisement -

/1/

“Aku mengenal Kasih Kinanti setahun lalu [1990] di kios Mas Yunus, langganan kami berbuat dosa. Di sanalah kawan-kawan sesama pers mahasiswa diam-diam menggandakan beberapa bab novel Anak Semua Bangsa dan berbagai buku terlarang lainnya. Seingatku, Kinan sedang membuat fotokopi buku-buku karya Ernesto Laclau dan Ralph Miliband yang akan menjadi bahan diskusi… 

Aku heran melihat Kinan melakukan penggandaan pada mesin fotokopi itu tanpa bantuan, sementara Mas Yunus malah duduk merokok di pojok kios itu. Mas Yunus hampir seperti bagian dari lingkaran kelompok mahasiswa yang gemar membuat fotokopi barang terlarang, seperti buku-buku kiri, buku karya sastrawan Amerika Latin yang sedang digemari anak muda di Indonesia yang membuat aparat pemerintah gatal-gatal, hingga buku porno yang biasa digandakan oleh anak-anak SMA yang terdiri dari murid yang hormonnya baru meledak.”

Senenge pancen ditandangi dhewe,” kata Mas Yunus sambil menunjuk bagaimana Kinan mengukur kertas kosong agar penggandaan tidak miring dan terukur rapi…Fotokopi novel Anak Semua Bangsa selesai. Kami membungkusnya dengan koran berlapis-lapis. Aku betul-betul ingin tahu apa yang ingin dia lakukan dengan teks Miliband dan Laclau yang rumit itu.

“Kami akan mendiskusikan pemikiran mereka. Datanglah.” Kinan tersenyum. “Kamu di persma kan? Akan kukabari kalau ada diskusi. Aku juga perlu fotokopi buku Pram yang ini. Kami baru punya Bumi Manusia.”    

Karena peristiwa penangkapan aktivis masih saja menggelayuti Yogyakarta, membawa-bawa fotokopi buku karya Pramoedya Ananta Toer sama saja dengan menenteng bom: kami akan dianggap berbahaya dan pengkhianat bangsa. Kinan dan aku bersepakat membawa pulang fotokopi masing-masing ke tempat kos dan berjanji bertemu lagi besok sesudah kuliah pagi.” 

/2/

Kisah itu adalah cuplikan panjang dari novel Laut Bercerita (2017): bagaimana aktivis mahasiswa tahun 1990-an menggunakan mesin pengganda untuk mencetak buku-buku terlarang. Mesin percetakan, sejak zaman Gutenberg sampai sekarang terus menjadi teknologi yang sangat penting, meski tak mendapat penghargaan yang sewajarnya dan sejarah mesin cetak jarang disinggung dalam sejarah pergerakan politik. 

Para aktivis mahasiswa Indonesia angkatan 80-an dan terutama aktivis 90-an berbeda dengan para aktivis 60-an dan 70-an (zaman Soe Hok Gie dkk.) dalam penggunaan teknologi cetak-pengganda. Aktivis 1990-an sudah bisa menggunakan teknologi yang ditemukan Chester Carlson (1906-1968) pada tanggal 22 October 1938. Chester Carlson adalah seorang yang sangat unik dan tangguh. Bapaknya lumpuh terkena penyakit tulang dan ibunya meninggal saat Chester Carlson umur 17 tahun. Sejak remaja Chester Carlson sudah bekerja di percetakan: dunia yang memenuhi kegemarannya pada seni grafis dan kimia. Chester Carlson lulus kuliah jurusan kimia, bekerja di Bell Telephone Laboratories sebagai insinyur di New York City, dan keluar saat Depresi melanda Amerika Serikat. Chester Carlson kuliah lagi jurusan hukum pada malam hari, lalu kerja di kantor hukum paten. 

Di kantor hukum itulah, dia merasa perlu ada teknologi pengganda dokumen yang lebih efisien daripada kertas karbon, mesin pengganda berbasis foto, dan seterusnya. Semua tidak cukup memuaskannya selama bekerja di kantor hukum. Maka, berhari-hari dia di perpustakaan membaca dan menganalisis tentang photoconductivity. Setelah sekian hari meriset, maka tibalah waktu Chester Carlson bermaksud menguji coba ilmu yang sudah ada dalam pikirannya. Dia membuka laboratorium kecil di Astoria, dan mempekerjakan ahli fisika muda bernama Otto Kornei untuk membantunya. 

- Advertisement -

“Aku pergi ke lab pada hari itu dan Otto sudah menyiapkan plat seng yang dilapisi sulfur. Kita menguji apa yang bisa kita lakukan untuk membuat gambar-gambar tertera. Otto mengambil potongan kaca mikroskop dan menulis di atasnya dengan tinta india tanda ’10-22-38 ASTORIA’,” kata Chester Carlson. Inilah uji coba pertama teknologi dasar fotokopi dengan paduan antara fisika fotokonduktif dan tinta cetak, yang prosesnya hampir sama dengan mencetak foto dalam ruang gelap. Hasilnya sangat memuaskan Chester Carlson. Dua orang itu mencoba berkali-kali untuk menguji ulang dan meyakinkan mereka untuk dipatenkan.

Namun, terobosan teknologi sederhana ini tidak laku dijual ke perusahaan agar bisa dijadikan dasar pembuatan mesin pengganda. Selama 6 tahun tak ada yang tertarik, sampai perusahaan non-profit Battelle Memorial Institute mau membiayai pembuatan mekanisasi teknologinya pada 1944. Pada 1947, Battelle membuat kesepakatan dengan perusahaan kertas foto, Heloid, untuk mengembangkan mesih xerografik (nama sebutan sebelum fotokopi). Mesin ini baru siap dipasarkan pada 1959. Sejak saat itu, nasib ekonomi Chester Carlson berubah. 

Perlahan, mesin fotokopi menggantikan mesin pengganda lama dan menjadi teknologi pengganda utama yang dipakai di berbagai kantor di Amerika Serikat, Eropa, dan menyebar ke berbagai negara, termasuk akhirnya masuk ke Indonesia. Pada 1990-an, para aktivis menikmati kemajuan teknologi cetak itu untuk menggandakan buku-buku terlarang, sebagaimana dikisahkan sastrawan Leila S. Chudori dalam novel Laut Bercerita. Kita masih menggunakan mesin fotokopi yang semakin canggih dan terintegrasi ke komputer pada dekade kedua abad ke-21. 

Tentu, seiring perkembangan zaman, mesin pengganda berubah bukan hanya digunakan para aktivis tapi bahkan menjadi teknologi bernilai bumerang.

/3/

Kita sudah tidak akan membaca kisah heroik para aktivis menggunakan mesin fotokopi untuk mencetak buku terlarang, sebagaimana dikisahkan Leila S. Chudori Laut Bercerita (2017). Perubahan sosial-politik dan kapitalisme percetakan ternyata mengubah kuasa posisi mesin fotokopi. 

Novel Laut Bercerita memaparkan kisah para aktivis mahasiswa radikal di Jogja pada tahun 1990an. Kita tahu peta aktivisme radikal di Indonesia lebih banyak terpusat di Jogja, lalu Jakarta, dan Jawa Tengah (terutama di lingkaran UKSW dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto). Di perpustakaan UKSW, buku-buku Pramoedya Ananta Toer tersimpan dengan aman dan bebas dibaca—satu-satunya kampus di Indonesia yang berani mempunyai koleksi buku Pram pada masa itu, kata Heryanto dalam buku Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara (2005). 

Pada masa itu, para aktivis harus sembunyi-sembunyi untuk membaca karya-karya yang masuk dalam daftar buku-buku terlarang. Membawa buku terlarang seperti karya-karya Pram, para penulis kiri Indonesia sebelum tahun 1960an, atau para aktivis pro-demokrasi, berarti “menenteng bom” dan bisa dianggap “berbahaya dan pengkhianat bangsa”, kata salah satu Leila S. Chudori, yang mengambil sebagian besar tokohnya dari aktivis mahasiswa dari Jogja terutama Nizar Patria—baca wawancaranya di Pocer.co tentang sulitnya mendapatkan atau berbahayanya menggandakan buku-buku penting bagi asupan pemikiran aktivis pergerakan. “Pada 1989,” kata peneliti media David T. Hill (2001: 46), “para aktivis di Yogya didakwa di bawah UU Anti-Subversi karena menjual salah satu novel Pramoedya yang dilarang; mereka [tiga orang] menerima hukuman hingga 8 tahun penjara.” Betapa mengerikannya mempunyai buku terlarang di zaman Orde Baru. 

Yang perlu dicatat adalah bahwa, kata David T. Hill (2001: 29-30), “penerbitan buku tak terlalu diatur oleh pemerintah Orba dibanding film, televisi, atau pers, yang berada di bawah Departemen Penerangan. Tak perlu ada izin khusus untuk menerbitkan buku, selain syarat-syarat wajar untuk mendaftarkan perusahaan atau yayasan ke Departemen Perdagangan dan Industri. Bahkan dilarangannya para mantan tahanan politik untuk memiliki, mengoperasikan, dan tampil di televisi, radio, dan film, tidak berlaku pada penerbitan buku—penerbit buku-buku Pramoedya, Hasta Mitra, dimiliki dan dijalankan secara terbuka oleh para mantan tahanan politik. Tak ada juga usaha mengontrol industri buku dengan memaksakan keanggotaan asosiasi profesi tunggal yang dikontrol pemerintah. Keanggotaan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) tak pernah menjadi kewajiban.”

Namun, juga perlu dicatat bahwa pada akhir masa Demokrasi Tertimpin pimpinan Sukarno yang membredel beberapa pers, pernah terbit PP No. 6 th. 1964 tentang kewajiban menyerahkan contoh cetakan dalam tempo 2 x 24 jam ke kantor kejaksaan setempat bagi perusahaan percetakan. Dalam perkembangannya percetakan yang dimaksud termasuk perusahaan penerbit. Inilah yang kelak justru dipertahankan bahkan dijadikan justifikasi legal penguasa Orde Baru terhadap tindakan pelarangan buku-buku, terutama buku yang dianggap bisa merongrong wibawa kekuasaan Orde Baru atau yang hendak menjabarkan aib-aib kekuasaan Orde Baru.  

Selama 31 tahun berkuasa, penguasa-pemerintah Orde Baru telah melarang dan membredel 2000 judul buku, menurut penelusuran aktivis HAM Yosep Stanley Adi Prasetyo, yang sekarang menjadi ketua Dewan Pers. Di antara sekian banyak penulis Indonesia, karya Pramoedya Ananta Toer adalah yang paling banyak dilarang sejak zaman Sukarno dan terutama pada masa Orde Baru. 

Di sini, mesin pengganda yang sudah membanjiri pasar Indonesia sungguh sangat penting, termasuk bagi para aktivis politik sebagai teknologi perlawanan. Buku barangkali bisa dilarang, tapi mesin penggandanya sungguh tidak bisa terjerat hukum, kecuali pada zaman Hindia Belanda. 

/4/

Sekarang, kenyataannya sungguh sangat berbeda. Bukan saja pada zaman pergerakan mahasiswa 1998 mesin fotokopi menjadi teknologi yang sangat penting, yang membuat mereka bisa berbagi bahan bacaan terlarang, tapi sekarang mesin fotokopi justru menjadi sejenis teknologi yang menyerang buku-buku terlarang dan buku-buku laris. Jika pada zaman Orde Baru buku-buku Pram banyak dilarang dan akhirnya difotokopi secara sembunyi, dibaca di lingkaran aktivis pro-demokrasi—sering dengan sampul yang disamarkan—sekarang karya Pram barangkali adalah buku yang paling banyak dibajak. 

Saat aku ke Jogja, seperti Shopping Center atau beberapa kios fotokopi, betapa ampuhnya mesin fotokopi melakukan pembajakan, apalagi penjilidan bukunya sangat bagus, hampir seperti buku baru. Aku tidak tahu berapa buku yang sudah dibajak di Jogja, di sekitar kampus di seluruh Indonesia, dan sudah berapa eksemplar tiap buku dibajak. Sejak awal, teknologi fotokopi—termasuk mesin cetak sejak Gutenberg pada 1554—memang didesain untuk menjadi mesin pengganda dokumen terutama buku. 

Di Indonesia, penegakan hukum terhadap pembajakan buku hampir tidak pernah diperhatikan dengan sangat serius oleh pemerintah apalagi hendak diselesaikan dengan hukum yang tegas. Dan yang jelas, sepertinya hampir mustahil para aktivis mahasiswa atau aktivis perbukuan akan berdemonstrasi untuk menuntut pelanggaran terhadap pembajakan buku. Inilah Indonesia, sejak reformasi dalam perbukuan. Pembaca kelas bajakan dan pembajak sudah bersatu padu! Sungguh ironis dan tragis! 

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.