Perayaan Natal setiap tahun mengunjungi kalender kita, bangsa Indonesia. Setiap orang senang, baik karena ia adalah hari besar bagi orang Kristen maupun hari libur tanggal merah bagi non Kristen.
Bisakah semua rakyat Indonesia bergembira karena alasan yang sama, yaitu merayakan kelahiran Yesus? Diperlukan sebuah analisis yang ‘rada’ berani sekaligus argumentatif tanpa mengurangi secuilpun keyakinan masing-masing.
Muhammad, Jesus dan para nabi telah membawa ajaran cinta, cinta Allah dan cinta tetangga serta cinta terhadap makhluk-makhluk-Nya yang terkecil sekalipun. Dalam teks-teks non Kristen, diriwayatkan Jesus memberikan beberapa makanan kepada makhluk-makhluk di laut. Namun cinta ini tidak berbenturan dengan sentimentalisme yang mencegah pelaksanaan hukum ilahi. (Cf.Matt. 23:25).
Dalam al-Qur’an, terdapat sebuah ayat yang menggambarkan penghormatan yang begitu tinggi kepada Maryam al-Adzra’ (Perawan Suci Bunda Maria), dan menganugerahi Yesus gelar Kalimat Allah: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kepadamu kabar gembira tentang sebuah Kalimah dari-Nya, namanya al-Masih putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan salah seorang yang didekatkan (kepada Allah).” (3:45).
Tentu saja penafsiran mengenai logos dalam teologi Kristen berbeda dengan penafsiran kalimah oleh ulama Islam. Bagi umat Muslim Kalimah adalah makhluk, bahkan ia merupakan prinsip kreatif, karena ia berada dalam ucapan Allah dari kata “Jadi!” maka jadilah ia. Al-Qur’an menyebut Kristus sebagai Kalimat Allah tidak untuk mendewakannya atau menganggapnya bersifat ketuhanan (divine), tetapi untuk menegaskan statusnya sebagai nabi. Karena kenabiannya, Yesus menjadi ‘firman Tuhan’ karena ruhnya dibersihkan sedemikian rupa sehingga menjadi cermin untuk mengenal Tuhan.
Al-Qur’an juga menyebutnya sebagai ‘Ruh Allah’; “Sesungguhnya Al-Masih Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya dan Ruh-Nya.” (QS. 4:171). Kata ‘Ruh dari-Nya’ memberikan signifikansi pengertian universal, bahwa poros moral Kristen dan Islam itu sama.
Dalam wilayah teologi ini, umat Kristen telah memperdebatkan pentingnya sejarah Yesus yang bertentangan dengan gambar Jesus yang terdapat dalam tradisi-tradisi gereja-gereja Kristen dan pandangan Injil mengenai Jesus.
Menurut Legenhausen dalam pengantar The Gospel of Ali, para penulis Kristen cenderung menitikberatkan teologinya pada fungsi Yesus sebagai juru selamat, yang tampaknya tidak memiliki tempat di dalam Islam. Umat Islam menerima Jesus sebagai juru selamat, bukan karena ke-Jesus-an-nya namun karena fungsi kenabian sebagai penyelamat manusia dari malapetaka dosa melalui pewartaan pesan petunjuk Allah, bukan melalui penebusan dan penyaliban.
Di lain pihak, para kristolog Muslim cenderung menghasilkan karya-karya polemik mereka sendiri-sendiri dengan menunjukkan berapa banyakkah di dalam Injil yang bersesuaian dengan pandangan Islam mengenai Kristus sebagai seorang nabi ketimbang sebagai seorang pribadi ber-Trinitas, sebagaimana Was Jesus Crucified? karya Ahmed Deedad (1992). Inilah dealock yang dapat memperuncing kecurigaan selama bertahun-tahun.
Karena itulah diperlukan sebuah terobosan baru untuk menghindari kebuntuan ini. Mungkin salah satu cara terbaik umat Kristen untuk dapat berdialog dengan umat Islam adalah ‘mengintip’ teks-teks Islam tentang potret, terutama al-Qur’an dan hadis.
Wawasan yang mendalam lagi mengenai berbagai perbedaan antara Islam dan agama lainnya, termasuk Kristen, dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Frithjof Schuon, Syekh ‘Isa Nur al-Din Ahmad, yang menghadirkan permulaan Kristolgi sejati perspektif Sufi dalam Islam and the Perennial Philosophy (1985). Juga dalam The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature, Tarif Khalidi (2003) telah mengumpulkan referensi-referensi Islam tentang Yesus dari abad kedelapan sampai delapan belas, termasuk karya-karya mistik, teks-teks historis tentang para nabi dan orang-orang suci (wali) dan berbagai seleksi dari hadis dan al-Qur’an. Tulisan-tulisan ini membentuk suatu pola besar mengenai teks-teks yang berhubungan dengan Jesus dalam literatur non-Kristen. (Kristologi islamiah). Semoga saja pola baru ini tidak dianggap oleh sebagian ekstrimis sebagai intervensi terhadap teologi Kristen.
Dengan paradigma ini, mungkin perayaan Natal bisa dipandang secara lebih universal, bukan hanya hari raya kelahiran Jesus dari perspektif teologi Kristen dengan ragam mazhabnya yang kadang saling menafikkan, namun sebagai hari kelahiran Yesus dalam persepktif teologi Islam. Tentu, ini tidak bisa dianggap sebagai ajakan kepada umat Kristen untuk memperingati kelahiran Muhammad saw. Penghargaan mutual ini, meski bisa memperkuat kerukunan, sulit terwujud.
Selamat atas kelahiran Jesus.