Sadarkah kita banyaknya pertelevisian Indonesia yang semakin kesini semakin banyak menampilkan tanyangan penuh hiburan tanpa edukasi di dalamnya.
Drama keluarga artis, prank yang merajalela, sinetron yang tak kunjung usai sampai sampai glorifikasi artis yang baru saja keluar dari penjara setelah melakukan tindak asusila.
Jika artis Korea atau China yang tersandung kasus serupa tamatlah karirnya di dunia pertelevisian. Berbeda dengan Indonesia yang sambut dan bahkan di tayangkan dalam talkshow sampai menyebabkan amarah publik,
Memang sudah ada permintaan maaf dari stasiun televisi tersebut namun, saat memutuskan untuk mengundang apakah pihak televisi tidak memikirkan dengan matang. Pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah memberikan surat peringatan dan pernyataan. Seperti yang di katakan ketua KPI dalam acara podcast Deddy Corbuzier.
“Kita buat surat, kita mengecam glorifikasinya, enggak boleh. Yang kedua dia bisa tampil untuk kepentingan edukasi.”
“Misalnya yah, dia hadir sebagai bahaya seorang predator. Kan bisa juga dia ditampilkan seperti itu, ya kalau untuk hiburan ini yang belum bisa di dalam surat edaran itu.” Jelas Agung Suprio Ketua Komisi Penyiaran Indonesia.
Namun hal tersebut malah menimbulkan hal negativ bagi banyak orang di tambah kasus yang akhir-akhir ini menimpa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menambah noda dalam tubuh komisi penyiaran itu.
Pentingnya kuantitas dari pada kualitas seolah menjadi dasar pertelevisian Indonesia. Penayangan sinetron dengan jumlah ratusan sampai ribuan sering kita jumpai dengan jalan cerita yang begitu – begitu saja.
Pertelevisian Indonesia juga dapat dikatakan kurang mampu mengimbangi perkembangan zaman dan selera publik yang kini mulai beragam contoh apakah baik stasiun televisi menayangkan pernikahan artis hingga berjam-jam lamanya. Memang bagus membagikan kebahagiaan apalagi artis tersebut memiliki banyak fans yang mendukung mereka namun ada baiknya untuk tidak menayangkan selama berjam-jam lamanya yang nantinya membuat penonton bosan.
Kurangnya mengikuti keinginan publik mengakibatkan beralihnya publik ke aplikasi online seperti Youtube, Netflix, Viu dan sejenisnya yang menampilkan hal yang lebih beragam.
Sebenarnya semakin kesini kondisi perfilman Indonesia banyak peningkatan. Mereka mulai berani menampilkan series web dengan jumlah episode tak lebih dari 20 episode seperti Pretty Little Liars yang di adaptasi dari series Amerika berjumlah 10 episode, Imperfect the series yang sempat membuat heboh karena aksi – aksi komedi di dalamnya yang di bungkus dengan rapi hanya dalam 12 episode. Ada juga web series yang sempat di gandrungi oleh para remaja yaitu Kisah untuk Geri yang hanya di tampilkan dalam 9 episode.
Dulu seringkali kita temukan talkshow berkualitas dengan tamu-tamu berbobot. Banyak ragam acara tentang cerdas cermat antar anak sd, smp sampai sma yang mampu memberikan edikukasi lewat kuis yang di tanyakan lewat tingkah laku konyol para peserta. Ada juga Selain itu ragam musik di acara pertelevisin yang juga dipersempit.
Jerome Polin dalam story Instagramnya sempat menyinggung perbedaan tayangan di jepang dengan yang ada di Indonesia yang sangat berbeda.
“Acara TV di Jepang banyak sekali yang quiz, battle pengetahuan umum gitu lah. Mantap sekali sih.” Tulisnya di Instagram Story.
Mungkin akan sulit bagi pertelevisian Indonesia untuk setara dengan pertelevisian luar negeri dalam waktu dekat ini namun bukan berati itu tidak mungkin. Memang banyak hal yang harus di perbaiki dalam pertelevisian Indonesia. Hal itu bisa di mulai oleh stasiun televisi dengan lebih banyak menayangkan hal yang mengedukasi seperti yang di sebutkan Jerome tentang TV jepang namun dikemas secara menarik tanpa melupakan ciri khas Indonesia yang juga nantinya kita sebagai penonton harus ikut mendukung hal tersebut.
Berhenti memberi panggung pada sesuatu yang hanya bermodal sensasi karena banyak orang orang hebat namun kalah dengan mereka yang hanya suka membuat sensasi.