Sabtu, April 20, 2024

Menjawab Ahmad Daryoko, Parasit 212

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais

Sudah sejak lama orang ini kerap menyebarkan kabar bohong. Motif di balik itu sebenarnya karena sakit hati. Orang ini pernah jadi Ketua Serikat Pekerja PLN. Karena terlalu berpolitik, akhirnya dia dipecat. Sejak itulah ambisi untuk menghancurkan PLN dan Pemerintah terus dia lakukan.

Yang menyedihkan, sebutan mantan Ketua SP PLN ini selalu melekat pada namanya. Ia yang sudah dibuang dari sana, tapi selalu menempelkan sebutan itu sebagai sebuah pencapaian karier penting dalam hidupnya. Sang mantan yang memilukan. Meraung-merintih sendiri di pojok yang diliputi kegelapan.

Tentu ada orang di belakangnya. Arief Poyuono dari Gerindra misalnya, getol mendukungnya sebagai direksi PLN pada 2019 silam. Belum lagi orang-orang yang berambisi mengejar jabatan tertentu di perusahaan negara itu. Orang ini adalah pion yang tepat. Kasih bensin dikit, sulut, jalan.

Jaringan orang semacam ini memang tak jauh-jauh dari kelompok anarkis. Tengok jejak digital orang ini, yang dulu pernah dicalonkan oleh Al-Khathtath sebagai menteri ESDM dalam kabinet Dewan Revolusi Islam. Ahmad Daryoko dianggap mumpuni oleh kelompok sebelah. Padahal pengetahuannya sebenarnya sangat dangkal.

Dan yang tidak mengejutkan, orang ini termasuk dalam jejaring gedibal 212. Parasit yang tak ada gunanya bagi negara.

Menyimak tudingan-tudingan yang dia lesatnya, pola pikirnya selalu sama, tak jauh-jauh dari soal IPP (Independent Power Producer), pasal 33 (ayat 2) UUD 45 dan unbundling. Sejak dulu itu-itu saja yang dibahas. Memang tak ada yang menjawab, karena dianggap tidak perlu melayani orang mengigau. Orang sakit hati yang kehilangan kursi panasnya.

Apa yang dilakukannya selama ini hanya raungan orang putus asa, yang terdepak dari meja kerjanya. Meskipun dia pernah dijadikan pembicara di acara ILC TV One. Tapi kita tahu, tidak semua narasumber yang diundang ke sana cerdas dan paham persoalan. Selama dia bersuara nyaring, berani menyerang Pemerintah dan tahan malu, ILC cocok sebagai medan pertarungan.

Tetapi pembodohan yang dilakukan Ahmad Daryoko itu memang harus dibantah. Hal ini demi menyelamatkan akal sehat. Orang-orang yang tak cukup pengetahuan akan memakan mentah-mentah fitnah dan tudingan, yang dibuat oleh pihak yang sebenarnya tak cukup intelek semacam dirinya.

Pertama soal IPP. Pemerintah memang bekerjasama dengan swasta untuk membangun pembangkit listrik. Kenapa begitu? Karena biaya membangun pembangkit sangat mahal. Risikonya juga tidak kecil. Jika Pemerintah menggelontorkan semua modalnya ke sini, otomatis return ekonominya sangat lama. Sementara pembangunan di bidang lain sudah menunggu.

Oleh sebab itu IPP dijadikan jalan tengah. Agar Pemerintah tetap bisa menikmati listrik tanpa modal, dan fokus membangun di bidang lain, yang memang sangat membutuhkannya sejak lama. Konsep IPP itu adalah pihak swasta yang membangun dengan uang mereka, PLN yang menyerap listriknya dengan persentase tertentu. Kemudian setelah masa kontrak pembangkit itu selesai, dia akan jadi milik negara.

Ini kan justru menguntungkan negara. Tanpa perlu keluar modal, Pemerintah bisa membangun pembangkit listrik. Memang ada besaran persentase listrik yang harus diserap dari IPP oleh PLN. Kalau tidak, PLN akan kena denda yang namanya skema Take or Pay (TOP). Lha kalau tidak dengan cara itu, listriknya mau dikemanain? Untuk nyetrum jidatnya Ahmad Daryoko?

Mereka sudah capek-capek bangun pembangkit dengan modal sendiri, keuntungannya ya dari jualan listrik itu selama masa kontrak, misalnya 30 tahun. Tapi yang menetapkan harga ya Pemerintah.

Memang ada beberapa orang kuat yang ikut menanam saham dalam membangun pembangkit itu. Tapi itu kan legal. Selama memenuhi persyaratan, semua orang dilindungi undang-undang. Prinsipnya kan begitu. Lalu si parasit ini menggorengnya, seolah-olah penanam modal itu telah menguasai listrik negara. Kan bahlul dia.

Proses Power Purchase Agreement (PPA) atau Perjanjian Jual-beli Tenaga Listrik itu di bawah kendali PLN dan Pemerintah. Bukan sebaliknya. Jadi kalau PLN menolak besaran harga yang diminta IPP, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Narasi yang dibangun si parasit ini jelas bertolak-belakang dari fakta tersebut.

Yang kedua, si parasit ini selalu membahas pasal 33 (ayat 2) UUD 45. Seolah-olah dia paham bunyi pasal tersebut. Kemudian membuat pembenaran seenak udelnya. Padahal dari isi pasal tersebut justru menguatkan kebijakan yang sudah diambil Pemerintah selama ini.

Bunyi pasal itu adalah, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kalimat ‘dikuasai oleh Negara’ di sana maksudnya, Negara menjadi regulator. Sementara dalam pemahaman si parasit itu, negara harus jadi diktator yang menguasai segala-galanya.

Secara lengkap makna “dikuasai” dalam UUD itu adalah, mengatur (regelendaad), mengurus (bertuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad). Tapi itu tak bisa dilakukan semaunya.

Prinsip semaunya seperti itu biasanya berlaku di negara komunis. Negara kita yang pancasilais ini tidak bisa begitu. Swasta harus diikutkan supaya ada ceck and balance. Tengoklah bisnis yang dikuasai oleh negara secara monopoli, banyak persoalannya. Karena konsumen tidak ada pilihan lain. Seburuk apapun kinerja perusahaan harus diterima.

Kemudian yang ketiga, Ahmad Daryoko ini juga kerap menyinggung soal unbundling. Kata ini mengandung maksud: usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, dan penjualan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dilakukan oleh badan usaha yang terpisah.

Dan selama ini hal itu memang tidak terjadi. Yang ada, Pemerintah melalui PLN selalu memegang kendali atas semua hal. Selama kewenangan ini dijaga, tidak ada satupun undang-undang yang melarangnya. MK memang pernah memberikan larangan bagi praktik unbundling ini, dengan maksud agar swastanisasi kelistrikan secara liberal tidak terjadi.

MK tidak membatalkan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, hanya membatasi penafsirannya. MK tidak melarang adanya partisipasi pihak swasta selama masih dalam kendali Pemerintah. Karena keikutsertaan swasta ini tujuannya untuk mempercepat pembangunan.

Pangkal keributan di negara ini biasanya memang selalu berasal dari kelompok anarkis atau orang-orang yang memanfaatkan kebahlulan mereka. Barisan sakit hati, gerbong kereta yang tertinggal, dan orang-orang putus asa, para parasit ini memang tidak ada gunanya bagi negara. Tapi merasa dirinya penting bagi kelompoknya.

Didiamkan ngelunjak, dijawab menghabiskan energi kecerdasan seorang manusia. Sungguh ini adalah buah simalakama asli made in Indonesia. Kebodohan yang murni dan berbalutkan agama.

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.