Pemilu 2024 menjadi ajang pesta demokrasi di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 58% dari jumlah pemilih adalah kaum milenial dan Gen Z.
Ketertarikan kaum milenial dan Gen Z dalam memilih pun terdorong oleh beberapa faktor. Hasil survei CSIS menyatakan keinginan kaum milenial dan Gen Z untuk mempunyai pemimpin yang jujur dan tidak korupsi dengan presentase mencapai 31,18 dan urutan terakhir taat beragama dengan presentase 2,15. Kaum milenial dan Gen Z sangat menginginkan transparansi yang baik dari pemimpin.
Dalam menanggapi isu politik yang terjadi, kaum milenial ataupun Gen Z sangat berorientasi pada perkembangan isu yang terjadi melalui media sosial. Visualisasi lebih sangat menarik kaum milenial dan Gen Z daripada narasi panjang yang dikemukakan oleh calon presiden.
Menurut beberapa penelitian, kaum milenial dan Gen Z cenderung acuh dan tidak peduli dengan perkembangan politik. Namun, ternyata opini ini tertolak. Pasalnya, kaum milenial dan Gen Z sangat mengikuti perkembangan politik yang terjadi meskipun tidak terlalu dikuras mendalam.
Kaum milenial dan Gen Z sangat dikenal dengan kaum kecanduan internet dan kaum yang paling mudah untuk berpaling hati. Hal ini tentunya bukan kabar baik untuk calon presiden.
Pasalnya kaum milenial dan Gen Z cenderung kaum yang sangat tidak setia dan tidak ada ikatan yang kuat dengan calon presiden yang akan mereka pilih. Lalu bagaimanakah cara untuk mengikat hati kaum milenial dan Gen Z? Apakah dengan politik uang?
Ternyata dengan sosialisasi dan pendidikan pemilu saja tidak cukup menarik kaum milenial dan Gen Z untuk datang ke TPS. Dan untuk politik uangpun kaum milenial dan Gen Z sudah enggan untuk membahasnya.
Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh perkembangun isu di internet yang sangat cepat. Modernisasi politik yang terarah sangat diperlukan kaum milenial dan Gen Z untuk dapat memilih pencalon. Transparansi dan keaktifan pencalonan di laman media sosial sangat mendukung dipilihnya oleh kaum milenial dan Gen Z.