Jumat, Oktober 11, 2024

Marie Kondo, Fumio Sasaki, dan Minimalisme Hidup

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Hingga kuliah, kemeja, kaus, celana, dan sepatu yang saya pakai adalah lungsuran dari kakak. Saya dan keluarga hanya membeli satu pakaian dan satu celana setiap lebaran. Jadi jika masuk kuliah usia saya 17 tahun, saya cuma punya 17 pakaian yang benar-benar saya beli sendiri. Lainnya pemberian kerabat atau warisan dari kakak.

Keluarga saya ya ngga susah-susah amat, cukup lah. Tapi ibu saya punya pemikiran, kalau masih bagus, kenapa harus dibuang? Bisa diperbaiki untuk dipakai lagi. Saya biasa pakai sepatu yang agak kebesaran, karena itu punya kakak saya. Juga karena beli barang baru itu menyusahkan. Kami lima bersaudara, kalau harus beli barang tiap tahun, bakal ribet, lama, dan mahal. 

Saya baru baca artikel Marie Kondo di media seperti Guardian. Para penulis ini dikritik keras sekali sebab menyebut Marie jahat dan keji karena memaksa seseorang yang mencintai buku untuk membuang barang yang tak ia suka. Bahwa kita tidak sedang menumpuk barang, tapi terlalu banyak belanja. Di Indonesia Marie disebut kapitalis yang pura-pura peduli pada penghematan oleh satu artikel. Argumennya ya ada, misalnya, mendaku menganjurkan gaya hidup hemat, tapi menjual produk dengan harga mahal sembari menjual jasa konsultasi.

Apakah salah? Ya ngga tahu, yang jelas kalau kapitalis adalah mereka yang mengumpulkan satu individu mengendalikan alat produksi dan sumber daya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya ya, nyaris semua pedagang kapitalis. Tapi ga bikin mereka jadi jahat. Cuma, kalau kamu menjual produk yang harga produksinya 1,000 rupiah kamu juah 10 juta tanpa peduli para pekerja yang membuat produk itu, ya agak ringsek. 

Persoalan yang ada saat kita memandang Marie Kondo adalah perbedaan budaya. Misalnya kita mulai dari yang paling sederhana. Soal less is good. Jepang punya tradisi serius untuk tidak menyimpan barang terlalu banyak, tapi berubah ketika gelombang konsumerisme masuk ke negara itu pada 50an setelah perang dunia kedua yang menghancurkan Jepang.

Parissa Haghirian dalam jurnalnya The Historical Development of Japanese Consumerism, menyebut gerakan Mai Ka (my car) dan Mai Homu (my home) mendorong konsumerisme yang melahirkan gaya hidup shinjinrui alias hedonisme. Namun generasi berikutnya, didorong oleh ruang yang makin sempit dan terbatas, gerakan minimalisme punya ruang.

Minimalisme mengajak para pengikutnya untuk hidup sederhana, secukupnya, seminim mungkin, sehingga tidak perlu terlalu banyak memiliki benda. Gerakan ini bukan karena pelakunya miskin atau tidak memiliki uang, tapi percaya bahwa kepemilikan benda yang terlalu banyak akan membuat manusia menjadi tidak bahagia. 

Marie Kondo bukan satu-satunya, ada juga Fumio Sasaki’ dengan bukunya “Goodbye, Things”. Fumio menganjurkan gaya hidup Minimalis. Seperti Marie, ia menganggap memiliki terlalu banyak barang akan membuat hidup menderita. Ia menganjurkan bahwa manusia punya keterikatan terhadap benda-benda yang hidup bersamanya.  

“Mau hidup sendiri atau bersama orang lain, hanya sedikit yang mengakui adanya teman sekamar,” kata Sasaki. “Teman sekamar ini bernama benda-benda dan ruang yang dipakai benda-benda tadi, mengambil lebih banyak tempat daripada yang dipakai manusia itu sendiri,” kata Fumio. 

Masalah ruang, tempat, dan lahan merupakan satu hal serius di Jepang. Dengan menyimpan lebih banyak barang, kita membutuhkan lebih banyak ruang, tempat jadi sempit, dan lahan untuk menyimpan itu semua sangat mahal. Maka minimalisme dan mengurangi benda-benda seperti yang dilakukan Marie Kondo dan Fumio Sasaki adalah hal yang sangat wajar dan masuk akal. 

Akar minimalisme dan spark of joy yang disampaikan Fumio serta Marie berakar dari ajaran zen. Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa dalam kekosongan itu ada jalan menuju hidup yang lebih baik. Konsep “Ma“, ruang kosong di antara, tempat yang bebas dan lapang, di mana kita bisa mengapresiasi hal yang lebih penting.

Selain itu, berdasarkan riset lembaga kebencanaan yang ada di Jepang, memiliki sedikit barang akan menyelamatkan hidup. Jepang adalah negara dengan frekuensi bencana yang lumayan tinggi, 50 persen kecelakaan dan kematian saat bencana terjadi karena jatuhnya benda-benda yang ada di rumah. Maka, jika anda memiliki sedikit barang, kemungkinan kejatuhan barang akan semakin sedikit.

Ini mengapa minimalisme atau merapikan barang ala Jepang bisa sangat berbeda dengan negara-negara eropa yang gemar sekali menumpuk barang. Orang eropa merasakan “horror vacuii” atau fear of emptiness. Rumah mereka sempit, penuh hiasan, barang-barang di lorong, hiasan di lemari, hingga tembok yang penuh lukisan.

Ini mengapa Marie Kondo dianggap ancaman. Elitisme ala eropa, yang menyimpan banyak barang sebagai tanda kelas sangat terancam dengan minimalisme. Punya banyak buku karena punya tradisi intelektual, punya banyak lukisan dan karya rupa karena punya tradisi seni, punya banyak sepatu karena pengen dibilang hypebeast. Dan seterusnya.

Minimalisme yang ditawarkan Kondo dan Sasaki bukan sekadar membuang hal-hal yang tak penting, atau berhenti membeli hal yang tak kita butuhkan, tapi mengambil alih kendali hidup kita dan menentukan prioritas kepemilikan. Seperti menghindari fast fashion yang menganjurkan kita untuk terus membeli barang baru setiap trend berganti. 

Lalu bagaimana di Indonesia? Ya gimana ya, ada absurditas yang kadang luput kita pahami dari minimalisme yang diajarkan Marie dan Fumio. Mereka menganjurkan kita mengurangi barang agar bisa hidup lebih baik, tapi minimalisme bisa juga diterjemahkan sebagai gaya hidup yang mahal. Ini malah membuat nilai yang hendak disampaikan dalam Minimalisme jadi luput. Lho kok bisa? 

Ya misalnya, kamu membuang atau menjual seluruh isi kamarmu. Menggantinya dengan furniture/fashion ala Skandinavia atau Jepang yang mahal. Membuatnya jadi minimalis karena indah secara estetik, bukan karena memang mengurangi kepemilikan. Artinya minimalisme yang kamu lakukan bukan didasari kesadaran bahwa punya banyak barang hasil dari konsumerisme itu buruk, tapi sesederhana “Wah keren nih barang dari Muji dan Ikea” yang berujung pada belanja kebendaan.

Mengapa ini penting? Karena dengan terus-menerus membeli barang untuk memenuhi kebutuhan, kita berburu untuk memuaskan keinginan akan pengakuan, pencitraan, yang pada akhirnya membawa kita pada kekecewaan dan rasa tidak puas. Meminjam kata-kata Tyler Durden dalam Fight Club, Hidup kita akan terus dikontrol untuk membeli barang yang tidak kita butuhkan, untuk mencari perhatian orang yang kita benci, dengan uang yang tidak kita punya.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.