Buku berjudul “1000 Hari PKI Mencekam Yogya” karya Amidhan Shaberah dan Syaefudin Simon ini mengingatkan perjalanan hidup saya di periode krisis nasional G30S PKI yang luar biasa. Betapa tidakl! Indonesia yang penduduknya sangat relijius, nyaris dikuasai PKI yang atheis tahun 1965.
Tahun 1955, pada Pemilu demokratis pertama, PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di empat besar partai pemenang Pemilu. Setelah itu, perkembangan PKI sangat cepat. Kedekatannya dengan penguasa dan janji-janjinya yang memukau rakyat kecil – terutama pembagian tanah secara merata – menjadikan PKI seperti penyelamat untuk kehidupan petani miskin.
Di pihak lain, kaum buruh menatap masa depannya penuh harap. Karena PKI menjanjikan, jika ia menguasai negara, buruh bukan lagi pekerja di pabrik; tapi pemilik pabrik itu sendiri. Buncahan harapan itulah yang menjadikan wong cilik tertarik PKI.
Perjalanan PKI dengan ideologi marxisme- materialisme yang atheistis ini, ternyata berhasil memukau rakyat kecil. Bahkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menempatkan komunisme dalam narasi besar Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Nasakom adalah tiga pilar yang — menurut Bung Karno — harus menjadi landasan pembangunan bangsa Indonesia. Ketiga pilar itu harus berjalan seirama.
Bagaimana fakta lapangannya? Komunisme sebagai ideologi PKI, tak hanya bertentangan dengan prinsip kaum agamawan yang ber-Tuhan, tapi juga bertentangan dengan prinsip kaum nasionalis yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian, integrasi Nasakom sulit terjadi.
Yang mengejutkan kemudian, Nasakom jadi “instrument” PKI untuk memojokkan musuh-musuh politiknya. Dengan mudah, PKI mengecap musuh- musuh politiknya sebagai kaum Anti-Nasakom. Jika sudah demikian, negara pun akan memojokkannya.
Tahun-tahun yang kacau politik terus bergulir. Posisi PKI dalam fragmen politik Indonesia terus naik. PKI berhasil membujuk Presiden RI untuk membubarkan Partai Masyumi. Masyumi bubar. Lalu, PKI pun membujuk Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI. Kali ini gagal. Saat itu, saya sebagai Ketua Umum PB HMI harus melakukan perlawanan terhadap propaganda PKI yang ingin membubarkan HMI di satu sisi; tapi di sisi lain, saya harus melakukan pendekatan terhadap elit politik di sekitar Bung Karno agar mendukung eksistensi HMI. Sampai peristiwa G30S PKI meletus, HMI tetap eksis.
Kita semua sudah tahu, bagaimana dahsyatnya peristiwa G30S PKI. Indonesia nyaris hancur dan dikuasai partai komunis itu. Hanya karena pertolongan Allah kepada bangsa Indonesia, PKI gagal mencengkeram ibu pertiwi.
Satu Oktober 1965. Soeharto, yang saat itu Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Dara,t) bergerak cepat. Obyek-obyek vital seperti Radio Republik Indonesia (RRI) dan Lanud Halim Perdanakusuma segera direbut kembali setelah sebelumnya dikuasai PKI. Begitu juga Makodam (Markas Komando Daerah Militer) dan Makorem (Markas Komando Resort Militer). Sampai akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk dipergunakan Jenderal Soeharto mengendalikan keamanan di seluruh wilayah Indonesia.
Melalui “kekuasaan” Supersemar itulah, pada tanggal 12 Maret 1966, Jenderal Soeharto membubarkan PKI dan ormas- ormasnya. Peristiwa G30S PKI menimbulkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Korbannya mencapai ratusan ribu jiwa melayang, bahkan jutaan. Dan korban terbanyak adalah orang-orang PKI. Kenapa? Karena PKI adalah penyebab kekacauan itu. PKI adalah inisiatornya.
Belakangan, ada pihak-pihak yang menggugat dan mempertanyakan kembali, kenapa peristiwa G30S PKI terjadi? Kenapa orang-orang PKI dibunuh? Bukankah mereka tidak bersalah?
Amidhan dan Simon, mencoba menjelaskannya dalam buku “1000 HARI PKI MENCEKAM YOGYA” dengan membuka file lama: berupa rentetan petualangan PKI, sejak Indonesia merdeka sampai setelah PKI dibubarkan. Menariknya, Amidhan dan Simon menjelaskan peran HMI, PII, NU, dan Muhammadiyah dalam melawan dominasi PKI tersebut.
Menyambut buku ini, saya ingin menjelaskan, bagaimana peristiwa G30S PKI terjadi. Soalnya saat ini muncul berbagai macam teori terjadinya gerakan makar tersebut, sehingga membingungkan publik. Terutama generasi Pasca-G30S. Generasi ini terpapar teori-teori spekulatif tentang munculnya tragedi PKI. Terbitnya buku-buku yang menyalahkan Militer Angkatan Darat, Soeharto, dan Islam di satu sisi; kemudian menganggap PKI sebagai pihak tak bersalah di sisi lain – makin membingungkan generasi muda. Khususnya Generasi Milenial yang lahir tahun 1980-2000-an dan setelahnya.
Saya saat itu Ketua PB HMI (1963-1966) dan dekat dengan sejumlah elit militer dan politik Pusat yang terlibat langsung dalam fragmen G30S PKI. Saya mencoba menganalisis teori-teori, kenapa peristiwa G30S PKI terjadi? Siapa pelakunya dan siapa pula yang paling bertanggungjawab? Ada lima teori.
I. Teori Pertama: Peristiwa G30S PKI adalah Persoalan Intern TNI/Angkatan Darat. Teori ini, langsung terpatahkan dengan Dekrit No.1 Dewan Revolusi. Dekrit ini menyatakan bahwa G30S PKI mempunyai jangkauan kekuasaan yang sangat jauh. Ia tidak hanya menyingkirkan Dewan Jenderal yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno, tapi juga sebuah gerakan perebutan kekuasaan. Hal ini dapat disimpulan dari Dekrit No.1 Dewan Revolusi itu sendiri:
1. Bahwa Dewan Revolusi akan dibentuk seluruh Indonesia dan akan merupakan sumber segala kekuasaan.
2. Bahwa Kabinet Dwikora diinyatakan demisioner.
3. Nama Sukarno tidak masuk dalam Dewan Revolusi.
II. Teori Kedua: Kudeta Soeharto terhadap Sukarno.
Sekilas teori tersebut sangat logis. Namun apa yang terjadi tidak sesederhana teori itu. Proses pergantian kepemimpinan berjalan sangat alot bahkan melelahkan.
Sebabnya, Pak Harto saat itu belum siap atau bahkan tidak bersedia untuk mengganti Presiden Soekarno. Pak Harto sebenarnya sangat loyal kepada Bung Karno. Sanggahan saya didukung dengan gambaran fakta saat itu, bagaimana Pak Harto mendapat dukungan penuh semua elemen bangsa (militer, birokrat, masyarakat, dan rakyat). Mereka mendorongnya untuk “mengganti” Presiden Sukarno pada tahun 1967 dan 1968.
III. Teori Ketiga: G30S adalah rekayasa Soekarno.
Saya menolak teori ini dengan 7 butir sanggahan.
1. Bung Karno sangat berhati-hati dengan berbagai isu yang memicu terjadinya G30S, khususnya isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist.
2. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Bung Karno diagendakan menerima Jenderal Ahmad Yani. Namun pertemuan itu gagal karena terjadi peristiwa G30S. Pertemuan itu juga tidak mustahil dimaksudkan untuk mengecek isu Dewan Jenderal.
3. Apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober, sangat mengejutkan Bung Karno (Compleet Overrompeling). Ketika berada di Air Mancur Monas hendak ke Istana pada pagi hari tanggal 1 Oktober, Bung Karno tidak tahu peristiwa apa yang terjadi.
4. Di Lanud Halim Perdanakusuma, setelah menerima laporan dari Brigjen Supardjo, Bung Karno menolak memberikan dukungan kepada G30S. Sikap Bung Karno ini, salah satu faktor yang menyebabkan gagalnya G30S.
5. Dekrit No.1 Dewan Revolusi sangat jelas menggambarkan sebagai kudeta, sebab Kabinet Dwikora di-demisioner-kan dan nama Bung Karno tidak ada dalam susunan Dewan Revolusi. Sementara Dewan Revolusi sumber dari segala kekuasaan.
6. Tidak benar bahwa Bung Karno menerima laporan dari Letkol Untung (Ketua Dewan Revolusi Nasional) melalui seorang utusan ketika sedang berada di Istora Senayan.
7. Dari aspek sifat dan kepribadian, Bung Karno adalah seorang humanis, yang tidak mungkin menyetujui tindak kekerasan untuk mencapai ambisi pribadi.
IV. Teori Keempat: G30S adalah konspirasi DN Aidit/ Sukarno dan Mao Ze Dong.
Teori ini menimbulkan pertanyaan dan keraguan.
1. Informasi yang tidak akurat tentang sakitnya Bung Karno pada 4 Agustus 1965 yang diterima DN Aidit. Tidak benar hari itu Bung Karno collaps (pingsan) sebagaimana berita atau rumor saat itu.
2. Benarkah ada “kesepakatan” antara DN Aidit, Bung Karno, dan Mao Ze Dong bahwa akan dibentuk Kabinet Gotong-Royong dan Bung Karno bersedia “istirahat”di Swanlake, Cina? Berita itu sangat sulit dipercaya karena seorang pejuang besar seperti Bung Karno bersedia “istirahat” ketika bangsanya masih memerlukan dirinya.
3. Jadi berita atau teori nomor dua adalah imajiner.
4. Meskipun DN Aidit dan Bung Karno berada di Halim Perdanakusuma, namun kedua orang itu tidak sempat bertemu. Suatu hal yang sangat tidak logis, apabila keduanya telah menyepakati sebuah “komitmen” bersama.
V. Teori kelima: G30S adalah provokasi asing.
Teori ini lemah. Karena tidak mungkin intelejen lalai dan kecolongan di saat kritis pada peristiwa besar. Saat itu, Dr. Subandrio adalah Ketua BPI (Badan Pusat Intelegen) yang pasti lebih tahu apa yang terjadi di negara ini. Demikian juga isu Dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal. BPI tidak memberikan klarifikasi autentik.
Dokumen Gilchrist (Gilchrist document) adalah sebuah dokumen yang dahulu banyak dikutip surat kabar era tahun 1965-an. Dokumen Gilchrist sering digunakan untuk mendukung argumen keterlibatan Blok Barat dalam penggulingan Soekarno di Indonesia. Namun dokumen tersebut kemungkinan besar palsu atau sebenarnya tidak ada.
Dokumen ini sebenarnya berasal dari sebuah telegram dari Duta Besar Inggris di Jakarta yang bernama Andrew Gilchrist. Telegram ini ditujukan kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. Isinya, berupa rencana operasi gabungan militer AS-Inggris di Indonesia untuk menjatuhkan Bung Karno.
Pertama kali keberadaan dokumen diumumkan oleh Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, dalam perjalanannya ke Kairo, Mesir. Soebandrio adalah kepala Biro Pusat Intelijen (BPI). BPI merupakan lembaga super karena mengendalikan kesatuan intel di tiga angkatan (kepolisian negara, kejaksaan, dan intelijen Hankam). Setibanya di Kairo, Kedutaan Besar AS berusaha mendapatkan foto salinan dokumen tadi. Setelah diteliti, ternyata dokumen tersebut palsu.
Di kemudian hari, seorang agen rahasia Cekoslowakia bernama Vladislav Bittman yang membelot ke Barat tahun 1968 menyatakan bahwa biro agensinya-lah yang melakukan pemalsuaan dokumen Gilchrist. Tujuannya untuk melindungi nama PKI sekaligus menjatuhkan AS.
Dari gambaran di atas, kita bisa menyimpulkan: siapa dalang Peristiwa G30S yang nyaris meruntuhkan NKRI dan Pancasila tersebut. Jelas: PKI itu sendiri.
Buku 1000 HARI PKI MENCEKAM YOGYA ini menggambarkan “puzzle-puzzle peristiwa G30S sebelum dan sesudahnya” dengan bagus, memakai gaya esai, dan bahasa jurnalistik yang memikat. Selamat membaca.
Jika anda berminat dengan buku ini, silahkan WA ke +62 815-1016-2060. Harga Rp 100.000. Uang tersebut silahkan anda donasikan ke “Yayasan Yatim Piatu/Orang Miskin/Orang yang Sangat Membutuhkan” di sekitar anda. Kiriman via JNT, ongkir di tempat (anda yang bayar ke kurir JNT).