Ramadan telah berjalan satu minggu. Bulan yang dinantikan oleh banyak umat muslim di seluruh dunia, salah satunya para muslim di Indonesia. Menahan lapar, haus, atau lebih dari itu pun dilakukan selama masa Ramadan berlangsung. Setelah itu, umat muslim akan merayakan Idul Fitri atau lebaran.
Lebaran sendiri merupakan salah satu hari raya umat muslim, di mana momentum lebaran didefinisikan sebagai hari kemenangan yang suci atau kembali bersih, yang dibarengi dengan kegiatan berkunjung ke sanak saudara.
Setelah merayakan kemenangan, manusia diibaratkan kembali menjadi suci. Namun, makna suci apakah yang dipahami oleh kebanyakan orang?
Sepenglihatan saya, setiap menjelang hari raya Idul Fitri, banyak orang selalu berbondong-bondong menyerbu pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru yang akan mereka kenakan pada saat hari raya Idul Fitri tiba.
Kemudian hal yang tidak aneh dalam budaya masyarakat konsumtif pun terjadi — pusat perbelanjaan menjadi sangat membeludak dengan pembeli.
Hal ini membuat saya miris, karena makna kembali suci dalam hari raya seperti lebaran hanya diartikan sebatas materi yang serba baru. Memang, disunahkan bagi umat muslim yang akan merayakan lebaran untuk berhias, tetapi ada kekeliruan di sini, berhias bukan berarti harus menggunakan pakaian serba baru, namun berhias dalam lebaran adalah mengenakan pakaian yang terbaik.
Lebaran yang diidentikkan serba baru ini sudah terkonstruksi dalam masyarakat Indonesia, walhasil dalam budaya masyarakat konsumtif, budaya tersebut menjadi target pasar yang menggiurkan. Memasarkan barang sebanyak-banyaknya. Lagi-lagi untuk keuntungan (bukan sesuai kebutuhan).
Pemilik modal memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk para pekerjanya, memberikan diskon besar-besaran disetiap momentum hari raya, tapi sadarkah kita? THR yang mereka berikan akan kembali ke kantong-kantong para pengusaha tersebut, karena adanya pemahaman bahwa “lebaran serba baru”.
Mulanya THR
Berbicara mengenai THR, saya kembali teringat tentang sejarah THR yang saya baca, yakni karena adanya aksi buruh yang mogok kerja pada tanggal 13 Februari tahun 1952 silam, dengan tuntutan agar buruh diberikan tunjangan dari pemerintah menjelang lebaran. Karena dulu saat era kabinet Soekiman Wirjosandjojo yang dilantik pada tahun 1951 pada masa kepemimpinan Soekarno, THR hanya diperuntukkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dulu dikenal dengan sebutan Pamong Pradja, THR ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi penerimanya.
Awalnya THR ini hanya diberikan kepada aparatur negara saja, dan perlu diketahui bahwa pemberian THR ini pun sebagai salah satu strategi agar para PNS tersebut memberi dukungan kepada kabinet yang sedang berlangsung saat itu. Kebijakan tersebut pun menuai pelbagai protes dari kelas buruh, mereka merasa tidak adil karena pemberian THR hanya untuk pegawai pemerintah yang diketahui saat itu, aparatus pemerintah Indonesia masih diisi oleh kaum priyayi, ningrat dan kalangan atas lainnya. Maka terlaksanalah mogok kerja oleh kelas buruh sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan yang hanya menguntungkan aparatus negara tersebut tanpa memikirkan kelas buruh.
Hal tersebut menjadi titik awal bagi pemerintah untuk menggodok anggaran gaji ke-13. Tahun 1994, pemerintah secara resmi mengatur tentang THR secara khusus yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya keagamaan bagi para pekerja, yang besaran THR nya disesuaikan dengan masa kerja. Di mana pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, menerima THR sebesar satu bulan gaji. Sementara pekerja yang memiliki masa kerja tiga bulan secara terus menerus namun kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional dengan masa kerjanya, yaitu dengan perhitungan masa kerja/12 x 1 bulan gaji.
Namun di tahun 2016 lalu, pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan merevisi peraturan mengenai THR tersebut. Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6/2016, yang berbunyi bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR, selain itu kewajiban pengusaha untuk memberikan THR tidak hanya diperuntukkan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak.
Lebaran dan Mudik
Selain hiruk pikuk lebaran dengan budaya THR bagi para pekerja dan budaya konsumtif dalam perayaan hari lebaran. Lebaran juga tidak bisa di pisahkan dengan tradisi mudik — tradisi pulang dari perantauan ke kampung halaman untuk menikmati lebaran bersama keluarga tersayang.
Mudik menjadi tradisi di Indonesia untuk mengunjungi sanak saudara atau pulang ke rumah orang tua. Dari tahun ke tahun, jumlah pemudik mengalami peningkatan. Contohnya, seperti pada tahun 2018, jumlah pemudik lebaran mencapai angka 19,5 juta orang. Angka tersebut menerangkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 15 persen dari jumlah pemudik tahun sebelumnya.
Hal ini menandakan peralihan besar-besaran masyarakat perdesaan, yang semakin hari sulit menjaminkan hidupnya di perdesaan dan beralih ke perkotaan untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut tersebut di karena terkonsentrasinya perputaran ekonomi hanya di kota saja. Lebih dari itu, terjadinya urbanisasi juga disebabkan dengan adanya proletarisasi masyarakat desa yang bertani diguncangkan dengan perampasan tanah secara besar-besaran pula, serta penguasaan lahan tani produktif oleh segelintir orang.
Dan sampai hari ini permasalahan kehidupan di perdesaan belum menemukan titik terang penyelesaiannya, Reforma Agraria Jokowi hanya berkutat di sertifikasi tanah, belum menyentuh terhadap pokok persoalan, yakni ketimpangan kepemilikan tanah.
Berbarengan juga dengan konflik agraria yang semakin meningkat. Persoalan klasik seperti tidak produktifnya hasil pertanian bagi para petani kecil dan sedang, juga disebabkan karena belum terselesaikannya persoalan di bidang pertanian, seperti menjamurnya tengkulak, minimnya saprotan dll. Jadi hal yang wajar jika setiap tahun angka pemudik semakin meningkat.
Beberapa hari yang lalu, saya sempat berbincang-bincang dengan salah satu pedagang angkringan, ia mengatakan tahun ini tidak dapat mudik karena tidak memiliki cukup uang untuk kembali ke kampung halaman. Selain itu ia juga merasa malu kalau pulang tanpa membawa cukup uang yang akan dibagikan untuk sanak saudaranya. Kondisi ini semakin memperkuat fakta bahwa mudik seakan-akan hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki cukup uang, bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang maka ia tidak dapat pulang kekampung halaman. Hal ini jelas menjadi sanksi sosial bagi mereka yang pulang tanpa membawa cukup uang untuk dibagikan ke sanak saudara.
Kian tahun lebaran dirasa semakin sulit dan mencekik orang-orang yang tertindas, adanya konstruksi yang dipertahankan oleh kebanyakan orang, kini seakan-akan menjadi patokan bahwa lebaran yang seharusnya dijalani dengan penuh suka, cita dan sederhana, diubah menjadi harus serba mewah dan ada segalanya.
Selanjutnya bagaimana tindakan yang perlu kita lakukan?
Mengapa tidak menjalani hari raya dengan sederhana? Tidak perlu memaksakan agar memiliki pakaian baru untuk dikenakan di hari raya. Karena bukan pakaian baru yang menghangatkan suasana lebaran, tapi kebersamaan. Lebih dari itu, semoga kita tetap setia pada garis perjuangan untuk merebut alat produksi agar terlepas dari belenggu kapitalisme, agar tak ada lagi yang malu jika mudik tak bawa banyak uang, agar reforma agraria sejati segera terwujud.