Jumat, Maret 29, 2024

Jadi Kyai Yahya Staquf Itu Membela Palestina Atau Israel?

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Kyai Yahya Staquf sudah datang ke Israel, sudah bicara, dan sudah diprotes sana-sini. Lalu apa? Mau ikut gendang langgam Israel yang girang bisa mengklaim sana sini, atau hendak melakukan perlawanan wacana?

Pikiran-pikiran itu lalu-lalang di kepala. Bukan apa=apa, semangat untuk membela Palestina jadi kesempatan bagi beberapa orang untuk menggebuk Kyai Yahya Staquf dan Nahdlatul Ulama. Seseorang menyebut Gus Yahya sebagai sosok ngawur, yang lain dengan makian yang canggih, menganggapnya sebagai perpanjangan tangan Israel.

Mbahyai Yahya Staquf meminjam pemikiran gurunya, Abdurahman Wahid. Menurut Gus Dur itu, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini hanya mempertimbangkan aspek-aspek politik dan militer, melibatkan hanya pemimpin-pemimpin politik dan militer, dan terbukti gagal. Maka patut dicoba untuk menambahkan unsur baru dalam upaya-upaya itu, yaitu unsur agama, dengan memberdayakan inspirasi-inspirasi agama dan melibatkan pemimpin-pemimpin agama.

Apa ya ini salah? Ya tidak, gerakan untuk mencari kemerdekaan Palestina di luar opsi militer dan diplomasi negara juga di gambarkan oleh Gerakan Boycott, Divestment and Sanction (BDS). Gerakan global ini lahir dari kelompok sipil. Ia tidak dipromosikan oleh petinggi militer atau pejabat pemerintahan tapi 170 lembaga non pemerintah yang sudah muak dengan penjajahan Israel (atau mungkin pertikaian Hamas-Fatah).

Tentu kita bisa mendukung BDS dan sangat mungkin juga mengirimkan bantuan kemanusiaan. Tapi apa ya tidak boleh mencari opsi lain membantu Palestina di luar pilihan tadi? Apa kalau misalnya, kita hendak membantu perjuangan masyarakat Papua untuk memperoleh keadilan, kita harus ikut bergerilya di hutan-hutan ketimbang melakukan diplomasi seperti yang dilakukan kepulauan Solomon di PBB?

Agak keluar konteks memang, tapi saya mau memberi tahu, bahwa bantuan dan solidaritas bisa sangat beragam bentuknya dan tidak harus tunduk pada satu bentuk. Kita boleh tidak sepakat, tapi yang jelas, tujuan kemerdekaan Palestina dan menghukum Zionis adalah tujuan bersama.

Ini yang orang lupakan dari kedatangan Kyai Yahya Staquf. Ia datang tidak sedang mendukung kedaulatan Israel, tapi memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan caranya, yang mana kita boleh tidak sepakat.

Banyak orang yang merasa bahwa dengan datangnya Kyai Yahya ke Israel, mereka punya hak menghina dan merisak. Oh ini ya terserah mereka, kita tak bisa mengatur niat atau persepsi orang. Hanya saja, yang bisa kita pahami, benarkah Kyai Yahya Staquf itu ke Israel dengan niat membela zionis? Benarkah Gus Yahya itu tak peduli sama sekali dengan Palestina?

Jawaban itu hanya bisa ditemukan kalau kita melihat rekam jejak Gus Yahya. Bagaimana sepak terjang beliau selama ini. Tak adil, saya kira, menilai Mbahyai hanya dari satu penampilan di Israel belaka. Soal itu kita perlu mencari tahu, misalnya kenapa kok kesannya Mbahyai menggebuk Hamas dan memuji-muji toleransi?

Pada September 2017, di hadapan Times, Gus Yahya Staquf sudah bilang, kita ini mesti jujur. Bahwa dalam Islam, ada orang-orang yang menggunakan tafsir seenaknya untuk melanggengkan kekerasan. Mbahyai tidak hanya menyindir Hamas, tapi juga ISIS, Al Qaeda, dan pelaku teror di Indonesia. Apakah dengan mengecam Hamas sama dengan membela Israel? Ya jelas nggak. Kita bisa mengecam Hamas dan tetap membela hak Palestina untuk merdeka.

Lalu bagaimana dengan kedatangan Mbahyai Yahya ke acara lobi zionis? Bukankah itu bisa digunakan sebagai propaganda Israel untuk mencari simpati negara-negara muslim? Benar, kedatangan Kyai Yahya sangat bisa digunakan sebagai propganda zionis. Tapi kita juga bisa mengklaim dan menyebut bahwa kedatangan Kyai Yahya adalah untuk mengejek Israel dan meski udah diundang, dia tetep komit pada kemerdekaan Palestina.

Ini mirip dengan imaji saya tentang Sukarno.  Dengan celana pendek, menunjukkan tangan ke horizon. Foto sukarno digunakan Jepang untuk propaganda. “Lihat nih, bung yang kalian idolakan berkubu pada nippon.”

Kita bisa berebut tafsir, misalnya itu hanya sekedar taktik Sukarno untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan. Atau ikut gendang penjajah dan memaki-maki bung Karno sebagai seorang oportunis yang berbahagia di atas penderitaan rakyat.

Tapi kita tahu, bung Karno konsisten memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Alih-alih ribut soal foto, kok mau diundang Jepang buat propaganda atau bisa bisanya Sukarno jadi wakil nippon Padahal banyak yang mati karena romusha, kita bersatu dan percaya perjuangan itu perkara keyakinan masing masing.

Ada yang percaya dengan bedil, bambu runcing, palu arit, meja diplomasi, atau menulis bisa memuluskan perjuangan kemerdekaan. Orang bisa semaunya menilai apa yang kita lakukan. Kita bisa menjelaskan, merebut tafsir atau tepuk tangan sesuai langgam penjajah atau dalam hal ini kelompok zionis.

Saya kecewa dengan keputusan Mbahyai Yahya Staquf pergi ke Israel, tapi alih-alih ikutan marah dan ngantemi Nahdlatul Ulama, mungkin ada baiknya melihat kedatangan Mbahyai sebagai strategi, seperti saat  Syarhir dibenci, karena mau duduk semeja dengan penjajah. Di mana menurut patriot dan prajurit, satu-satunya jalan kemerdekaan ya dengan angkat senjata, melawan di medan perang.

Mbahyai Yahya juga agak samar sikapnya tentang dalam forum American Jewish Committee (AJC), saat Rabbi David Rosen bertanya apa arti kehadiran beliau di forum itu. Kyai Yahya Staquf menjawab bahwa ia hanya meneruskan warisan Gus Dur yang bercita-cita pada masyarakat yang damai. Tak ada hasil yang instan, butuhh proses lama untuk mencapai sesuatu. Ia tak secara jelas mengecam Israel atau membela Palestina.

Tapi kita tahu, tidak semua perang itu dimenangkan lewat bedil dan desing peluru. Perundingan memang melelahkan, ribet, bertele-tele, tapi setiap orang yang berjuang punya cita-cita sama, kemerdekaan. Dengan atau tanpa bedil, melalui atau tak melalui perundingan damai. Kemerdekaan itu cita-cita bersama.

Jika kalian lebih suka ribut cara mana yang paling baik untuk merebut kemerdekaan, ketimbang bekerja sama memperjuangkan kemerdekaan dengan caranya masing-masing, yang menang cuma penjajah zionis.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.