Jumat, April 19, 2024

Jadi Corong PKS, RRI Senjata yang Menikam Tuannya Sendiri?

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais

Perusahaan negara menjadi sarang radikalisme, itu bukan hal baru. Dulu ketika SBY berkuasa, PKS mendapat pulung. Dalam masa sepuluh tahun itu mereka menyebar seperti virus. Tiba-tiba saja, orang-orang yang berjidat hitam dan bercelana cingkrang ada di mana-mana. Mereka menguasai masjid dan struktur kepegawaian BUMN.

Perusahaan negara menjadi kantong persembunyian mereka. Bahkan ketika SBY tak lagi memegang kendali, mereka tetap bercokol di sana. Seperti parasit, pengaruh mereka begitu kuat pada inangnya.

PKS dan radikalisme itu setali tiga uang. Ideologi politiknya mungkin berbeda. Tapi tujuannya sama: menguasai negara. Kesamaan tujuan inilah yang membuat mereka bersatu dan saling menguatkan. Orang-orang inilah yang membuat ustad berhaluan HTI dan kelompok hijrah menguasai palagan.

Mereka sering diundang untuk memberikan pengajian. Panggung untuk merekrut anggota baru. Sekaligus memberikan upeti untuk ustad-ustad gadungan itu.

Kali ini saya ingin bicara tentang RRI. Sudah sejak lama, lembaga penyiaran yang dulu lahir dengan semangat perjuangan kemerdekaan itu, berubah haluan. Sejak mereka dikuasai oleh kelompok cingkrang.

Dulu, di Zaman Orde Baru, RRI adalah media milik pemerintah. Namun sesudah keluar UU Penyiaran, posisinya berubah menjadi lembaga penyiaran publik. Oleh sebab itu, RRI bukan lagi suwita ke menteri, melainkan mengabdi pada rakyat Indonesia.

RRI, sesuai UU penyiaran itu, ia merupakan lembaga penyiaran yang netral, indepeden dan tidak komersial. Apalagi menjadi corong partai politik atau Ormas radikal. Namun faktanya malah sebaliknya.

Menurut temuan Pengamat Media Penyiaran Publik Sapta Pratala, ada indikasi RRI telah menyimpang. Ia menjadi gedibal PKS dan corong ormas anarkis yang telah dibubarkan: FPI.

Padahal RRI adalah tonggak sejarah kemerdekaan. Indonesia Raya kental dalam darahnya. Namun ketika virus PKS telah menginfeksi, pelan-pelan lembaga penyiaran publik ini justru hendak menyerang negara.

Hal itu tentu dilakukan dengan pelan-pelan. Direktur Utama RRI, M Rohanudin memiliki ikatan yang kuat dengan PKS dan FPI. Maka ketika heboh peristiwa penembakan laskar FPI dulu, berita-berita yang muncul di media RRI cenderung membela FPI. Sebab sebanyak 51% pemberitaannya memang menentang pembubaran FPI.

Media yang didanai APBN ini sengaja memelintir berita untuk mengesankan pemerintah opresif dan semena-mena. Padahal jika dibandingkan dengan media lain dengan berita yang sama, jauh sekali kesan yang ditimbulkannya. Sudut pandangnya sangat berbeda.

RRI juga lebih sering menyorot politisi PKS. Memberikan mereka panggung yang tinggi. Seolah-olah lembaga publik itu corong mereka. Jika merujuk data, sejak Januari-April 2021, Fraksi PKS mendapat 67 kali liputan, sementara Fraksi PDIP dan Fraksi Gerindra hanya 38 kali ulasan, Fraksi Golkar 26 kali dan Fraksi Nasdem 17 pemberitaan.

Dan yang lebih buruk lagi, ternyata ada praktik nepotisme di tubuh RRI. Dirut RRI M Rohanudin, yang kabarnya hendak dicalonkan sebagai Dewan Pengawas itu, ternyata memasukkan anak dan mantunya ke dalam lembaga publik tersebut.

Aib Orde Baru itu ternyata masih saja berlaku di era Reformasi. Sungguh menyedihkan.

Menurut Irawan, anak pendiri RRI, yakni Joesoef Ronodipoero, Dirut RRI telah melenceng dari semangat perjuangan akibat menciptakan begitu banyak konflik dan disharmoni.

Selama bertahun-tahun, orang ini telah menyusun kekuatan untuk mengganjal orang-orang yang ingin mengembalikan RRI ke relnya. Menjadi lembaga penyiaran publik yang independen dan jernih.

Apalagi ketika sekarang Dirut RRI itu digadang-gadang akan jadi bagian dari Dewan Pengawas. Dengan posisi tertinggi itu, M Rohanudin berpotensi mengatur siapa saja yang berhak duduk di kursi direksi. Dan ini tentu menjadi ancaman yang lebih serius. Jika nanti ia memperoleh power untuk menempatkan pion-pionnya.

Kabar ini tentu mengejutkan. Padahal selama ini, orang abai terhadap RRI. Karena memang dianggap tidak memiliki prestasi cemerlang. Ia dianggap baik-baik saja dengan kualitas seadanya. Tapi ternyata kerusakan yang diderita RRI demikian parah. Dan jika tidak segera diselamatkan, penyakit RRI akan semakin sulit disembuhkan.

Ini adalah kabar buruk di tengah tergerusnya Ormas radikal. Jika berkaca pada sejarah, RRI adalah ujung tombak perjuangan kemerdekaan. Dengan jasanya yang besar itu, orang-orang jadi tahu, bahwa negara ini sudah merdeka.

Mereka yang awalnya merasa inferior, terjajah, lemah, tiba-tiba memiliki daya untuk berteriak merdeka. Orang-orang itu mendapat pengetahuan dari siaran-siaran radio. Media yang menembus batasan kemampuan literasi saat itu. RRI menjadi garda penyiaran informasi terdepan. Bahwa Indonesia telah lepas dari penjajahan.

Tapi itu dulu.

Sekarang RRI telah menjelma jadi corong PKS dan getol sekali membela FPI. Sementara Dirutnya bersikap otoriter dan melakukan praktik nepotisme. Ini adalah penyimpangan yang sangat jauh.

RRI dibawa ke tepi jurang yang dalam. Di tubir yang rawan itu, sayup-sayup terdengar lantunan proklamasi kemerdekaan. Masa-masa indah sebelum RRI menjadi senjata beracun yang menikam tuannya sendiri.

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.