Kamis, April 25, 2024

RRI yang Makin Sayup Terdengar

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
dirut-rri
Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik RRI Mohammad Rohanuddin (tengah) mengikuti peringatan HUT ke-71 RRI di Jakarta, Minggu (11/9). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./

Tahukah Anda bahwa Radio Republik Indonesia (RRI) punya 62 stasiun penyiaran, termasuk siaran luar negeri, dan lima satuan kerja lainnya, termasuk pusat pemberitaan; serta diperkuat 16 studio produksi, 11 perwakilan RRI di luar negeri? RRI juga memiliki 61 programa 1, 61 programa 2, 61 programa 3, 14 programa 4, dan 7 studio produksi. Jika digandeng semuanya, kekuatan RRI setara dengan 205 stasiun radio. Tapi, Anda tidak pernah atau jarang mendengarkan RRI, bukan?

Atau tahukah Anda bahwa bahwa RRI punya situs berita yang juga mencakup situs 70 stasiun daerah. Tapi, apakah Anda pernah melihat berita mereka di-share di aneka media sosial? Atau tahukah Anda, RRI punya radio streaming seluruh stasiun yang mereka punya yang bisa diunduh di telepon cerdas Anda?

Jika Anda banyak tidak tahunya, ini bukan salah Anda, tetapi karena pengelola RRI yang menanggapi dengan dingin revolusi digital yang melibas siapa saja yang tidak mengikuti arus derasnya.

Perilaku ini terlihat dari situs pemberitaan rri.co.id. Jika Anda iseng-iseng buka situs rri.co.id, tampak jelas situs berita ini tidak dikelola dengan baik. Tampilannya tidak mencerminkan situs berita. Content management system-nya buruk. Beritanya tidak di-update. Sementara ticker breakingnews menyajikan headline berita yang basi. Tidak heran jika hit item beritanya hanya dalam hitungan ratusan, bahkan ada yang kurang dari seratus.

Lebih dalam lagi mampir ke situs rri.co.id, maka kita akan dapati 70 situs stasiun RRI di berbagai kota. Parahnya hanya empat website yang selalu update, yakni RRI Pusat, Banda Aceh, Kendari, dan Madiun. Selebihnya tidak di-update, termasuk RRI Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Yogyakarta. Bahkan ada yang tidak aktif.

Yang mengejutkan lagi, situs RRI Siaran Luar Negeri (Voice of Indonesia), yang seharusnya menjadi corong terdepan Indonesia di dunia internasional, tidak di-update. Padahal VOA, BBC, NHK , Radio China Internasional sangat jor-joran membuat situsnya menarik. Ini adalah penghamburan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus dibiarkan.

Ketidakpedulian akan pentingnya menenggelamkan diri dalam era digital juga melanda 7.000 karyawan RRI. Padahal, jumlah ini sudah cukup untuk membentuk pasukan buzzer untuk membagikan aneka pemberitaan RRI di berbagai media sosial hingga meningkatkan jumlah klik. Tapi ini tidak terjadi.

Mereka tidak paham bahwa radio dalam era digital lebih sedikit didengar tapi banyak dibaca, seperti yang sukses dilakukan BBC ataupun VOA. Jadi, meleburkan diri adalah sebuah keharusan.

Namun sampai saat ini, kita belum melihat perubahan berarti di program-program RRI, utamanya perhatian mereka terhadap konvergensi media untuk mengantisipasi perkembangan sosial media yang terus-menerus terjadi. Padahal, pemerintahan Presiden Joko Widodo ingin RRI meningkatkan kinerjanya dengan memberi tambahan tunjangan Rp 1,5 juta hingga Rp 14,1 juta per bulan tergantung jabatan sejak Januari 2015.

Seharusnya RRI sadar bahwa dalam era digital, tren radio yang semakin tidak didengar nampaknya tidak terelakkan lagi. Facebook, Twitter, Youtube, WhatsApp, dan aneka model media sosial lainnya telah menggantikan peran radio.

Jika dulunya radio berbangga menjadi teman setia para pendengarnya dan media yang sangat personal, sekarang sudah tidak bisa lagi. Tidak seperti radio atau koran, sosial media memungkinkan mereka bisa berinteraksi dengan siapa pun dalam kondisi apa pun. Jadi, peran radio sebagai media penyampai informasi yang paling cepat adalah jargon yang sudah usang.

Fenomena ini seharusnya diantisipasi RRI secara agresif dengan melakukan perombakan besar-besaran di bidang program yang mencerminkan strategi digital yang komprehensif. Strategi digital yang dimaksud adalah kebijakan yang menjadikan RRI tidak hanya menyajikan konten audio melalui platform tunggal terestrial (lewat pemancar), tetapi juga menjadi penyedia konten yang menggunakan multiplatform dalam bentuk grafis, foto, gambar, dan video.

RRI perlu memperbanyak konten programnya per komunitas. Melayani komunitas dengan program-program yang sesuai dengan minat mereka akan menjadikan RRI media yang mengakar di masyarakat.

Mendekati komunitas sangat penting. Revolusi media sosial telah menciptakan kelompok masyarakat yang kecil-kecil berdasarkan kesamaan daerah, aktivitas, hobi, dan sebagainya. Namun, mereka bukan terkotak-kotak dan terasing satu sama lain, tetapi justru saling berhubungan baik langsung maupun tidak langsung menjadi sebuah jaringan komunitas yang besar. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya menjadi anggota dua atau tiga komunitas online saja, melainkan bisa lima bahkan lebih.

Jika RRI bisa mengelola bahkan menciptakan komunitas tersendiri yang merupakan turunan dari program unggulannya, maka RRI akan menjadi media yang interaktif, kredibel, dan mendidik sekaligus menjadi pemersatu bangsa.

Ini patut direnungkan oleh insan RRI yang memperingati hari jadinya yang ke-71 di 11 September ini. Jangan sampai di masa mendatang hari jadi RRI diperingati dalam ruang penuh kesenyapan, karena RRI tidak lagi didengar dan dibaca.

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.