Terik mentari Jakarta menggigit kulit. Tapi sejumlah tokoh “oposisi” berkumpul di Tugu Proklamasi, Jakarta, mendeklarasikan pembentukan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Selasa (18/8/2020) — mengabaikan sengatan matahari.
Tampaknya, deklarasi yang domotori sejumlah tokoh nasional ini — antara lain Din Syamsuddin (mantan Ketua PP Muhammadiyah), Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), dan Rizal Ramli (mantan Menko Kemaritiman) — mendapat liputan luas media cetak dan daring. Tanpa sedikit pun mengikuti aturan pencegahan penularan corona — kecuali bermasker — mereka mengajak rakyat untuk menjatuhkan Pemerintahan Presiden Jokowi.
Meme yang menyertai deklarasi KAMI yang diunggah sejumlah medsos terlihat sangat bombastis. Seperti: Mari kita rebut kembali mandat rakyat; Tidak ada titik kembali dan tidak ada titik menyerah; Ambil alih pemerintahan ke tangan rakyat; dan macam-macam meme yang menyeramkan. Kesannya pemerintahan Presiden Jokowi sudah berada di jurang kehancuran, seperti rejim Soeharto di awal Mei 1998.
Padahal, pemerintahan Jokowi baik- baik saja. Bahkan polling terakhir kepuasan rakyat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang dilakukan Indikator Politik, Juni 2020, masih tetap tinggi, 66,5 persen. Ini menunjukkan mayoritas rakyat puas dengan kinerja Jokowi. Sementara Charta Politika, dalam surveinya, di rentang waktu yang hampir sama dengan survei Indikator Politik, menunjukkan: kepuasan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi mencapai 70,7%.
Dari gambaran itu, secara umum penilaian publik terhadap kinerja pemerintah — kata Direktur Riset Charta Politika, Muslimin — tergolong cukup baik. Kenyataannya miuemang demikian.
Dari sisi kinerja ekonomi, pemerintahan Jokowi juga masih bagus. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kwartal pertama 2020 yang mencapai 2,97% (di tengah kemelut perang dagang Sino-AS). Betul, pertumbuhan 2,97% ini di bawah target 4-5 persen. Tapi bila dilihat konstelasi global akibat perang dagang Sino-AS, pencapaian tersebut patut diapresiasi.
Kita tahu akibat perang dagang Sino-AS yang makin meluas, perekonomian dunia ikut terseret, jatuh. Singapura, misalnya, di kwartal pertama tahun 2020, pertumbuhan ekonominya minus 0,7%. Sedangkan Malaysia, meski masih positif (0,7%), tapi jauh di bawah Indonesia. Negara-negara lain kondisinya lebih parah. Terutama Jepang dan negara-negara Eropa Barat.
Kejatuhan ekonomi global makin menjadi-jadi setelah World Health Organization (Badan Kesehatam Dunia, PBB) mengumumkan bahwa kasus infeksi corona masuk status Pandemi, 11 Maret 2020. Sejak WHO menetapkan pandemi itulah, perekonomian global langsung terpuruk dalam sekali. Manusia di seluruh dunia di hadapkan dua pilihan: kesehatan atau ekonomi.
Di awal pandemi, mayoritas penduduk bumi memilih kesehatan. Kemudian setelah tiga bulan manusia merasa “sumpek” di rumah, sementara sejumlan negara mengalami krisis ekonomi sangat dalam, kebijakan-kebijakan yang terkait pencegahan penularan corona mulai “dilonggarkan”.
Meski demikian, WHO secara global menetapkan pemberlakuan Protokol Kesehatan (PK) untuk mencegah penularan virus corona. Seluruh negara di dunia menerapkan PK tersebut. Bentuknya: melakukan social distancing, atau penjagaan jarak antarmanusia minimal satu meter. Kemudian pemakaian masker. Dan ketiga mencuci tangan dengan sabun, sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.
Kepatuhan individu terhadap Protokol ini berpengaruh linier terhadap jumlah korban infeksi corona di suatu negara. Negara-negara yang penduduknya kurang patuh terhadap Protokol dan pemimpinnya kurang peduli terhadap pandemi, jumlah korban infeksi koronanya sangat tinggi.
Amerika Serikat dan Brasil, misalnya, tercatat sebagai dua negara yang jumlah korban infeksi covidnya paling tinggi. Presiden Donald Trump dari AS dan Presiden Brazil Jair Bolsonaro, misalnya, tercatat sebagai dua pemimpin negara yang meremehkan pandemi. Dampaknya, korban covid di kedua negara tersebut sangat besar. Di AS, misalnya, sampai pertengahan Agustus 2020, jumlah kasus positif corona sudah mencapai lebih dari 5,7 juta orang dengan jumlah korban tewas 175 ribu jiwa lebih.
Sedangkan di Brasil pada saat yang sama, 3,42 juta positif dengan jumlah korban tewas 110 ribu lebih. Bandingkan dengan Indonesia, yang jumlah penduduknya relatif sama dengan kedua negara, tapi jumlah kasus positifnya per-18 Agustus hanya 143 ribu orang dengan korban tewas 6.277 jiwa. Gambaran di atas menunjukkan kepediluan Pemerintah Indonesia, termasuk pimpinan tertingginya, Presiden Jokowi patut diapresiasi. Dunia juga mengakui, Indonesia termasuk negeri yang mampu mengendalikan laju penyebaran virus corona, meski belum sebaik Tiongkok, Taiwan, Vietnam, dan Jerman.
Bagaimana kondisi ekonomi kwartal kedua 2020 setelah pandemi? Memang terpuruk. Terseret kejatuhan ekonomi negara-negara besar yang jadi mitra dagang Indonesia. Meski demikian, kejatuhannya tidak separah negara tetangga dekat dan negara maju.
Di kwartal kedua setelah pandemi makin keras, misalnya, ekonomi Indonesia langsung terpuruk, minus 5,3%. Tapi tetap masih lebih baik ketimbang Singapura yang minus 12,6% dan Malaysia minus 8,4%. Tapi, dengan terpuruknya ekonomi negara-nagara maju mitra ekonomi Indonesia pada kwartal kedua seperti Amerika Serikat minus 9,5%, Jepang minus 8%, Korsel minus 2,9%, Jerman minus 11,7%, Inggris minus 17,9%, Prancis 17 dan Jepang minus 27,8 persen — Indonesia pun terkena imbasnya.
Masih beruntung, Indonesia mempunyai sektor usaha kecil menengah yang lentur dan sektor pertanian yang bertahan terhadap hantaman pandemi. Di samping itu, Indonesia masih punya sumber daya alam yang luas dan beragam sehingga bila dioptimalkan pemanfaatannya, niscaya akan mengurangi dampak buruk pandemi. Presiden Jokowi dalam rangka mengurangi dampak krisis ekonomi, misalnya meminta belanja pemerintah diprioritaskan untuk membeli produk dalam negeri.
Pemerintah juga memberikan stimulus ekonomi — berupa keringanan pajak, penanggguhan cicilan utang ke perbankan negara, kredit murah untuk usaha kecil menengah, bantuan langsung tunai kepada orang miskin, dan lain- lain — untuk mengurangi dampak pandemi. Di samping itu, pemerintah siap meluncurkan dana Rp 2700 Trilyun untuk menggerakkan semua sektor ekonomi sampai akhir tahun 2020. Ini penting agar Indonesia, di kwartal ketiga, pertumbuhan ekonominya positif sehingga tidak terjungkal dalam lembah resesi.
Presiden menyatakan bahwa, “215 negara di dunia tengah menghadapi situasi ketidakpastian menghadapi krisis kesehatan yang juga sekaligus krisis ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada satu pun negara yang siap menghadapi krisis seperti ini,” katanya. “Ini situasi yang sedang kita hadapi saat ini, persoalan nyata di depan mata yang tidak mudah, tapi sebagai bangsa pejuang, kita harus mengatasi persoalan kita sendiri, dengan cara kita sendiri, dengan kemampuan kita sendiri untuk mencapai tujuan nasional, bangsa kita, Indonesia,” ujar Jokowi.
Jelas Presiden lagi — “Jumlah penduduk 260 juta adalah kekuatan besar. Jumlah usia produktif dan kekuatan produktif bangsa kita sangat besar. Kita mampu atasi krisis dengan kekuatan kita sendiri.” Insya Allah.
Dalam kondisi negara sedang berusaha mengatasi krisis ekonomi dan kesehatan; dalam kondisi masyarakat bahu membahu bersama pemerintah mengatasi semua dampak pandemi; dan dalam kondisi semua elemen masyarakat berusaha saling tolong menolong untuk membantu rakyat yang tidak mampu — tetiba muncullah deklarasi KAMI.
Sungguh, ini ironi di tengah pandemi.
Para deklarator KAMI seperti menutup mata terhadap krisis ekonomi dan kesehatan yang melanda negara, tanpa sedikit pun empati terhadap pemerintah dan rakyat yang sekuat tenaga berusaha mengatadi krisis. Jadi, jangan salahkan jika mayoritas publik netizens mengolok-olok para deklarator KAMI dengan kata-kata yang tak sesuai dengan ketokohannya.