Jumat, April 26, 2024

Gagasan Literasi Kita yang Terbentur oleh Original dan Bajakan

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.

Saya ingin mengajak Anda untuk menyelami satu isu yang menarik saat ini. Bukan. Bukan tentang RUU KUHP dan PKS, pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial, atau Jokowi yang ingkar janji karena mendukung usulan DPR untuk merevisi UU KPK. Namun, sebelum Anda membaca tulisan ini lebih jauh, jika Anda sedang melakukan aktivitas—apa pun itu—tolong berhenti sejenak, mari kita resapi tulisan ini dengan saksama.

Mari kita awali dengan pertanyaan; apa yang terpikirkan dalam benak kita, ketika kita membaca atau mendengar sebuah kata literasi?

Menurut KBBI sendiri, makna literasi diartikan pada kemampuan menulis dan membaca; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup; serta penggunaan huruf untuk merepresentasikan bunyi atau kata.

Bagi saya sendiri, literasi begitu dekat dengan aktivitas membaca dan menulis, entah dalam bentuk essai, jurnal, ataupun buku. Berbicara mengenai literasi, sebaiknya kita bersepakat terlebih dahulu, bahwa gambaran paling umum yang melekat di masyarakat ialah eksistensi buku. Sebagai sebuah objek literasi, ada fenomena yang cukup menggelitik, seberapa pentingkah membaca buku menjadi sebuah kebutuhan?

Jika kita lihat data yang dikeluarkan UNESCO, mengenai minat baca di Indonesia pada tahun 2012, Indonesia memiliki persentase hanya sebesar 0.001 persen, yang berarti; jika dikalkulasikan dari setiap 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Data lain yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, mengatakan bahwa Indonesia menduduki urutan ke-60 dari 61 negara. Data tersebut tentu mengkhawatirkan, jika kita menyadari betapa pentingnya minat baca buku sebagai sebuah kebutuhan.

Coba kita tengok lebih dalam keadaan objektifnya. Hal ini saya rasakan langsung di tempat saya menempuh pendidikan. Banyaknya individu yang membaca buku dan memenuhi perpustakaan, biasanya adalah mereka yang berstatus sedang mengerjakan tugas akhir. Ini juga berbanding lurus dengan toko buku besar yang sering kita jumpai, di mana titik ramainya ada pada letak penjualan non-buku.

Tunggu, itu belum cukup. Coba tanyakan pada diri Anda, sudah berapa banyak buku yang Anda baca selama ini? Dan adakah tumpukan buku yang bersarang di sudut ruangan Anda? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, karena sebagian besar dari kita akan menjawab “buku bukanlah sebuah kebutuhan utama”. Alasannya mainstream, kita tidak mau mengeluarkan atau membuang uang kita yang besarannya berkisar; anggaplah 40-60 ribu rupiah, hanya untuk membeli sebuah gabungan lembar kertas, yang kalau dipikir-pikir “ya, ngapain juga?”

Menyoal harga buku yang mahal, anggapan ini hanya berlaku jika kita berbicara mengenai penerbit dan toko buku yang menjajakan buku original. Yogyakarta—sebagai rumah bagi pelajar santun nan kreatif—menyediakan alternatif penjualan buku yang murah meriah. Letaknya berada di Jalan Sriwedani, Komplek Buku Taman Pintar. Komplek ini dikenal sebagai surganya buku-buku bajakan. Iya, bajakan, karena buku-buku tersebut dibuat dengan kualitas rendah, dijual secara bebas tanpa pungutan pajak, dan tidak melibatkan penerbit aslinya, alias ilegal.

Kontroversi penerbitan buku original dengan bajakan sedang ramai diperbincangkan hari ini. Kasusnya naik ketika 12 penerbit buku yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) melakukan somasi terhadap penerbit buku bajakan di Yogyakarta. Ke 12 penerbit buku yang tergabung dalam KPJ tersebut diantaranya adalah CV. Gava Media; CV. Kendi; CV. Pojok Cerpen; CV. Relasi Inti Media; Diva Press; Media Pressindo; Penerbit Ombak; PT. Bentang Pustaka; PT. Galang Media Utama; PT. Gardamadya Cipta Sejahtera; PT. LkiS Pelangi Aksara; dan Pustaka Pelajar.  Somasi yang dikeluarkan oleh ke 12 penerbit tersebut dikarenakan penerbit buku bajakan dapat merusak ekosistem penerbitan buku dan merugikan dunia penerbitan. Hal itu diucapkan oleh salah satu perwakilan dari para penerbit, Hisworo Banuarli.

Kampanye penolakan pada buku bajakan merupakan langkah konkret para penerbit untuk menjaga kelangsungan penjualan buku original. Harga yang ditawarkan penerbit dianggap masuk akal, karena sesuai dengan besarnya ongkos produksi dari buku itu sendiri. Saya menilai, bahwa gagasan yang mereka sampaikan adalah usaha untuk mempertahankan value buku agar tetap tinggi di pasaran. Padahal kita semua tahu, bahwa tidak seluruh masyarakat Indonesia mampu membeli buku sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan oleh penerbit original.

Situasi tersebut akhirnya melahirkan penerbit buku bajakan yang menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Kesenjangan kesejahteraan merupakan faktor utama dari terbentuknya segmentasi penjualan buku tersebut. Saya meyakini, penerbit buku bajakan pun memahami masyarakat menengah ke bawah juga perlu mengakses buku-buku tersebut sebagai kebutuhannya. Memaksakan mereka untuk menyentuh nominal yang ditetapkan penerbit original, adalah sebuah langkah bunuh diri, karena menutup akses masyarakat menengah ke bawah dan menjadi salah satu alasan dari rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Ya, walaupun saya yakin, penerbit buku bajakan sudah mengetahui, bahwa tindakan mereka melanggar hukum, atau ilegal.

Ekosistem “bersih” yang diklaim oleh para penerbit buku original dengan cara memusnahkan buku-buku bajakan ternyata masih menyisakan lubang. Hal ini terjadi karena mereka ingin menjaga ketersediaan pasar buku original, tanpa memastikan bahwa akses kepemilikan buku dapat terpenuhi di seluruh lapisan masyarakat. Mudahnya, ini sama saja menjadikan buku seperti barang eksklusif—yang hanya dapat dimiliki oleh mereka—yang mampu membeli buku dengan harga yang sudah ditetapkan oleh penerbit buku original.

Mari kita kembali pada bagian; kesenjangan kesejahteraan merupakan faktor utama dari adanya segmentasi pasar penjualan buku. Kita tidak bisa menghapus tindakan pembajakan buku selama segmentasi pasar penjualan buku tersebut masih ada. Artinya, yang perlu dilakukan adalah menghapus kesenjangan kesejahteraan tersebut, karena jika masyarakat sejahtera, maka mereka tentu mampu membeli buku sebanyak-banyaknya dan memenuhi kebutuhan mereka terhadap membaca.

Di sisi lain, masih ada kepedulian dari civil society terhadap kesempatan seluruh lapisan masyarakat untuk dapat mengakses buku. Perpustakaan Jalanan yang banyak ditemukan di berbagai daerah merupakan bukti dari usaha tersebut. Mereka hadir di titik-titik keramaian, sehingga dapat mengampanyekan pada khalayak mengenai pentingnya membaca buku. Menariknya lagi, ada gagasan yang dibuat oleh mahasiswa Yogyakarta, yang memanfaatkan teknologi dengan menciptakan E-Library, yang dihimpun bersama dari buku-buku milik mahasiswa secara mandiri. Tujuannya hampir sama dengan Perpustakaan Jalanan, yaitu untuk membuka akses seluas-luasnya literasi secara gratis, tetapi melalui dunia digital.

Perlu diketahui, bahwa literatur-literatur yang dimiliki oleh kawan-kawan Perpustakaan Jalanan dan E-Library Kolektif juga masih banyak memanfaatkan buku bajakan—saya bukan mendukung adanya gerakan pembajakan buku—namun semangat kawan-kawan untuk menyebarkan literasi dan mengampanyekan pentingnya membaca merupakan tindakan yang lebih berarti, dibanding mempertahankan eksistensi pasar buku original yang mengesampingkan terpenuhinya akses membaca buku pada seluruh lapisan masyarakat.

Terima kasih karena sudah mau membaca tulisan ini hingga selesai, silakan lanjutkan aktivitas Anda yang sempat tertunda, dan jangan lupa membaca. Salam literasi!

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.