Christ! Sapa saya pada Christine Hakim sambil tersenyum.
Saya panggil bintang film Tjoet Nyak Dhien itu. Kebetulan saya pernah bertemu dengannya di sebuah diskusi film yang dimotori Eros Djarot tahun 1991.
Ada apa Fachry? Timpal bintang Daun di Atas Bantal itu.
Saya mau sekolah. Cariin duit dong? Kata saya. Surat undangan sekolah dari Prof. Ricklefs di Monash University, Australia, sudah saya terima.
Christine bersemangat mau membantu saya. Senang saya melihat sikapnya.
“Saya mintakan kepada Pak Bustanil Arifin ya!” Jawab Christine serius. Bustanil Arifin saat itu Menteri Koperasi.
Oke — kata saya, sambil mengucapkan terima kasih.
Saya dan Christine sudah lama kenal. Ketika ada rencana membuat film Tjoet Nyak Dhien, Christine bersama Eros Djarot dan Setiawan Djodi datang berkonsultasi kepada saya di LP3ES. Ismed Hasan Putro yang mengantarkan mereka.
Beberapa hari kemudian, Christine menelpon saya.
“Kamu ditunggu Pak Bus.”
Saya pun datang ke kantor Departemen Koperasi di Kuningan.
Sampai di kantor Depkop, ternyata Pak Bus tidak ada di tempat. Seorang pegawai Depkop dengan baik hati menolong saya mencari keterangan keberadaan Pak Bus.
Sementara dia mencari informasi di mana Pak Bus, saya teringat seseorang. Orang itu selalu berada di belakang Pak Bus jika memberi keterangan di TVRI. Tapi, saya tidak tahu namanya.
Saya pun bertanya kepada seorang pegawai Depkop sambil menjelaskan ciri-cirinya, siapa nama orang itu.
Itu lho?! Yang ganteng dan suka senyum — kata saya.
‘Oooo itu,’ kata orang baik hati ini. Ia tahu siapa yang saya tanya.
‘Itu Pak Subiakto. Mari saya antar,’ katanya.
Maksud saya mencari Subiakto adalah untuk minta tolong mempertemukan saya dengan Pak Bus.
Di ruang kerja Biakto, kami disambut sekretarisnya. Biakto rupanya telah menjadi Dirjen. Karena Biakto tidak ada, sang sekretaris membuat jadwal untuk saya.
Usai membuat jadwal bertemu dengan Biakto, saya mendapat keterangan bahwa Pak Bus ada di Bulog. Saya kejar ke sana.
Begitu bertemu Pak Bus, pertanyaan pertama yg diajukan kepada saya adalah: ‘Kamu pacarnya Christine Hakiem ya?!’
Saya terkejut. ‘Kenapa ada kesimpulan seperti itu?’ Saya balik bertanya kepada Pak Bus.
Pak Bus bilang: ‘Bagaimana tidak. Tiap hari dia telpon saya dan bilang: Pak Bus harus tolong Fachry.’
Ringkasnya berkat Christine, Pak Bus melalui Yayasan Malem Putra yg dia pimpin, bersedia membiayai studi saya di Melbourne. Dengan lega, saya tinggalkan gedung Bulog.
Beberapa hari kemudian, menjelang test kesehatan ke Australia, datang telpon dari sekretaris Biakto. Bahwa ia menerima saya pada hari Rabu, pukul 14.00.
‘Nah lho,’ seru saya dalam hati.
Saya harus ngomong apa? Sebab, urusan dengan Pak Bus sudah selesai.
Karena sdh terlanjur, saya penuhi pertemuan itu. Biakto sangat ramah dan sopan. Ia bukan saja menyatakan membaca tulisan-tulisan saya, melainkan memanggil saya, waktu itu, ‘dik’.
Biakto bertanya: ‘Ada yang bisa saya bantu dik?’
Saya jawab bahwa saya datang karena kangen. Lama tak bertemu. Dia tersenyum.
Lalu pembicaraan ngalor-ngidul sampai akhirnya saya bertanya:
‘Pak Biakto umur berapa sekarang?’
Dia menjawab: 45 tahun.
‘Masih muda,’ kata saya. ‘Pak Biakto ada kans menjadi menteri.’
Dia tertawa. ‘Ah, tidak mungkin, dik,’ sanggahnya. Lalu saya pamit.
Ketika saya sudah menjadi mahasiswa di Monash University, Australia, saya dengar Subiakto Tjakrawedaja ditunjuk sebagai Menteri Koperasi oleh Pak Harto, menggantikan Pak Bus. Tahun 1992.
Ramalan iseng. Tapi terbukti!