Minggu, Oktober 13, 2024

Audisi Djarum Disetop, Bye Bye “Indonesia Raya”

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial

Pada 1971, diadakan sebuah kejuaraan bulutangkis lokal di kota Kudus, Jawa Tengah. Pertandingan seru. Ada yang kalah. Ada yang menang. Biasa. Namanya juga kejuaraan olahraga.

Di sebuah sudut stadion, seorang bocah kecil menangis sesenggukan. Hari itu dia kalah bertanding. Lawannya labih tangguh. Budi Hartono, seorang petinggi Djarum, perusahaan yang berbasis di Kudus, melihat bocah kecil itu. Didekati. Lalu si bocah dinasihati agar tidak putus asa.

Budi menawarkan bocah kurus itu masuk klub bukutangkis yang dipimpinnya. Perjalanan panjang latihan yang keras, keseriusan menggapai prestasi, keringat dan tenaga akhirnya membuahkan hasil. Indonesia mengenal bocah kurus itu bernama Liem Swie King.

Lelaki itulah yang menggantikan takhta Rudi Hartono dalam ajang bulutangkis dunia. Dia menggondol berbagai piala kejuaraan. Gaya smash-nya yang menukik, bahkan diistilahkan dengan ‘King Smash’.

Baru beberapa hari lalu Indonesia kembali dibuat bangga dengan kemenangan pasangan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan dalam ajang kejuaraan dunia bulutangkis. Ahsan dan Hendra selama ini memang dibina PB Djarum. Mereka mengalahkan ganda dari Jepang, Takuro Hoki dan Yugo. Lagu Indonesia Raya berkumandang di Swiss.

Di dunia bulutangkis, lagu Indonesia Raya menjadi langganan dikumandangkan. Atlet-atlet kita merajai ajang dunia. Ketika kita bicara bulutangkis, ada perasaan bangga. Di dunia itulah, salah satunya, wajah Indonesia terukir dengan manis.

Sebagian atlet itu adalah jebolan PB Djarum. Sebut saja Alan Budikusuma, Owi-Butet, Hariyanto Arbi, Kevin Sanjaya, Liliana Nasir atau Tantowi Ahmad, yang semuanya pernah digodok disana.

Meraih prestasi memang bukan perkara sekali jadi. Diperlukan pembinaan serius. Apalagi bagi seorang olahragawan. Sebab, usia 30 saja bagi dunia olahraga sudah bisa dianggap senior. Pembinaan harus dilakukan sejak kecil. Sejak usia dini. Itu kalau kita mau mencetak Liem Swie King baru. Atau jika kita tetap ingin mendengar lagu Indonesia Raya sering dikumandangkan di arena internasional.

Bukan hanya bulutangkis. Hampir semua cabang olahraga melakukan pembinaan atlet sejak usia dini. Lionel Messi atau Neymar juga digojlok sejak masih usia SD. Dengan gojlokan serius jadilah mereka bintang seperti sekarang. Kalau mereka baru latihan bola di usia 16 tahun, paling banter jadi pemain tarkam, antar kampung.

Artinya, kalau membina orang yang sudah tua bangka, tulangnya sudah alot. Jangan mimpi bisa jadi atlet hebat.

Karena itu, aneh tanggapan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengatakan bahwa audisi bulutangkis Djarum dianggap sebagai eksploitasi anak. Bahkan, katanya, logo Djarum di kaos audisi sebagai iklan terselubung. Lha, memang namanya PB Djarum adacsejak 50 tahun lalu. Jadi, kalau kaos itu ada logo Djarum, ya wajar.

Lagian ngapain juga susah-susah Djarum beriklan terselubung. Wong, iklan terang-terangan saja boleh, kok. PB Djarum itu didirikan sejak 50 tahun lalu. Telah menghasilkan puluhan atlet berbakat. Bahkan sebelum bisnisnya menggurita seperti sekarang.

Kita setuju saja anak harus dilindungi dari segala jenis eksploitasi. Tapi, juga jangan berlebihan dan nyari-nyari alasan yang aneh. Jangan juga beranggapan menggelar audisi atau lomba bagian dari eksploitasi anak. Itu berlebihan.

Djarum memang perusahaan rokok. Tapi, saya yakin, bahkan untuk anak didiknya di PB Djarum, pelatih akan memaki siswanya apabila kedapatan merokok. Audisi bulutangkis itu hanyalah cara mencari bakat atlet untuk mengharumkan nama bangsa. Jika yang melaksanakan PB Djarum, ya wajar saja kaosnya gambar PB Djarum. Masak gambar wajah Rhoma Irama. Itu mah, audisi dangdut.

Harus dibedakan mana eksploitasi dan mana proses pendidikan pada anak agar mentalnya kuat menghadapi persaingan. Dalam audisi ada yang lolos dan ada yang gagal itu biasa. Wong untuk masuk sekolah saja ada tesnya.

Jadi, ketika KPAI memprotes audisi bulutangkis PB Djarum dan mendesak untuk dihentikan, itu sama saja mereka ingin mengatakan jangan didik anak-anak kita punya prestasi di dunia bulutangkis.

Artinya, di masa depan, kita harus siap lagu Indonesia Raya tidak lagi berkumandang seperti yang kita saksikan semalam di Swiss, ketika Hendra-Ahsan menggondol medali emas.

Dan bocah kurus seperti Liem Swie King harus kembali nangis di pojokan stadion. Karena ulah KPAI, kita harus kehilangan banyak Liem Swie King baru di layar televisi. Kita juga akan banyak kehilangan momen lagu Indonesia Raya diputar di ajang internasional.

Baca juga

Terbukti Lakukan Eksploitasi Anak, Pemerintah Dukung KPAI Bubarkan PB Djarum

Agar Hari Anak Tak Sekadar Seremonial

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.