Hipotesisnya adalah: Bank Syariah (BS) mungkin sudah menerapkan prinsip syari’ah tapi tidak Islami. Bank konvensional mungkin dianggap tidak syar’i tapi Islami. Mari kita buktikan sambil ngupii tipis-tipis menjawab kemungkinan, probabilitas.
Kenapa demikian?
Sebab, prinsip syariah mengedepankan formalitas birokratis. Islami mengedepankan substansi. Syariah hanyalah washilah. Islami adalah tujuan akhir. Keduanya saling berkait berkelindan tapi beda dalam praktik dan amalan.
Islam mengutamakan ta’awun berserikat atau bersekutu dalam kebaikan dan takwa. Saling percaya. Tidak khianat. Tidak memakan riba. Tidak mengharamkan jual beli. Tidak makan harta sesama dengan cara bathil. Tidak saling merugikan. Suka sama suka. Saling ridha. Tidak menunda pembayaran jika sudah mampu. Memberi kelonggaran membayar hutang. Tidak mengeksploitasi kebutuhan. Tidak mendapat keuntungan sepihak secara berlebihan. Tidak mengharamkan yang halal. Tidak saling menipu. Melakukan pencatatan dalam bertransaksi.
Ini lah sebagian dari prinsip-prinsip Islam yang substanstif sebagai tujuan — maka syariat memposisikan diri sebagai washilah, yang mengatur, yang membatasi, yang memberi arah, dan menjadi bagian dari regulasi yang sifatnya tidak mutlak, dinamis sesuai kebutuhan dan realitas masyarakat.
Jika Islami menjadi tujuan, maka bank syariah belum tentu Islami jika tidak menggunakan prinsip yang Islami. Sebaliknya bank konvensional bisa saja Islami jika menggunakan prinsip Islam sebagai landasan bertransaksi dan bermu’amalah.
Maka sistem mudharabbah dan musyarakah bisa di adopsi oleh sistem apapun, di manapun diganti dengan simbol atau istilah pribumi lokal yang bukan arab sebagai salah satu sistem kerja yang secara ekonomi saling menguntungkan kedua belah pihak.
Tegasnya: syariat berfungsi menjaga dan mengawal tercapainya tujuan yang Islami.. dengan berbagai cara, strategi, metode yang beragam dengan banyak teknis yang sifatnya operasional.
Jadi adakah bank syariah yang Islami ?
Ini pertanyaan menarik, bergaya satire sekaligus sarkasme, ketika bank syari’ah hanya mengedepankan simbol melupakan yang substansi sebagai tujuan akhir.
Ada beberapa skema pembiayaan yang tidak atau belum tercover, oleh lembaga otoritas keuangan semacam bank: pinjam buat makan keluarga, pinjam buat bayar tunggak an SPP, pinjam buat nebus resep obat, tentu berbeda dengan pinjam buat beli mobil sepeda rumah atau tambahan modal. Atau pinjaman buat bangun mushala, sekolah islam, pesantren, tpq, madrasah, atau perluasan lahan.
Pinjaman usahapun harus dibedakan antara bakul bakso, bakul cilok, bakul jamu gendhong, bakul sayur, dengan pengusaha kontraktor, pabrikan dan lainnya — adakah lembaga keuangan syariah yang berani menanggung rugi sebagai salah satu praktik Islami: tidak boleh untung sepihak.
Sebab kebiasaan bank apapun, baik syariah atau konvensional jatuhnya sama: hanya mau untung tidak mau menanggung rugi. Saya juga belum menjumpai ada bank yang berani membebaskan segala utang nasabah yang bangkrut menjadi sedekah. Selain menjual barang sitaan sebagai jaminan. Praktik semacam ini tentu sangat tidak Islami meski bersimbol syariah. Karena ada unsur kezaliman di dalamnya.
Agaknya kita masih belum menjangkau, maka berbagi peran antar lembaga otoritas keuangan macam Bank, Baznas, koperasi dan lainnya saling berbagi peran untuk tujuan izzul Islam yang lebih Islami dengan maslahat yang lebih menjangkau di semua lapis kehidupan lebih utama. Wallahu tala a’lm.
Komunitas Padhang Makhsyar