Senin, Oktober 7, 2024

Seberapa Syar’ikah Bank Syariah?

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

Tulisan sebelumnya diakhiri dengan seruan supaya kita jangan sepenuhnya merujuk pada pandangan fuqaha (ahli fikih) terdahulu sebagai pijakan operasional bagi perekonomian modern karena sistem perbankan belum dikenal saat itu. Poin ini akan dikembangkan lebih jauh untuk menjawab pertanyaan, seberapa syar’i bank syariah itu?

Pernyataan tersebut dapat dijawab dengan dua cara. Pertama, mendiskusikan apakah bank syariah betul-betul menerapkan bentuk “transaksi halal” yang dirumuskan oleh fuqaha terdahulu. Kedua, menelusuri bagaimana bank syariah beroperasi atau dijalankan, misalnya penerapan konsep mudharabah atau musyarakah sehingga menjadi bank tanpa riba.

Tulisan ini akan fokus pada pertanyaan pertama karena akan ditunjukkan bahwa bukan hanya bank syariah tidak menjalankan “transaksi halal” seperti ditulis dalam kitab-kitab fikih klasik, tapi juga dalam praktiknya operasi bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional. Pertanyaan kedua, insya Allah, akan didiskusikan dalam tulisan berikutnya.

Fikih Klasik, Bank Modern

Sebenarnya sudah menjadi kebenaran aksiomatik bahwa pendapat fuqaha terdahulu tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah perbankan dan finansial modern. Para ulama kita dahulu berbicara transaksi atau kontrak yang sederhana, sementara persoalan perekonomian modern sangat kompleks.

Saya tidak bermaksud mengecilkan peran dan kontribusi fuqaha klasik. Di zamannya, mereka telah melakukan ijtihad dan terobosan besar. Tapi, zaman terus berubah dan berkembang. Sebelum saya berikan contoh untuk menjelaskan poin ini, perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa bentuk-bentuk transaksi yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih itu sebenarnya hasil ijtihad, tidak bersumber dari—atau setidaknya, tidak disebutkan eksplisit dalam—al-Qur’an ataupun hadits.

Maka, adalah salah kaprah kalau apa yang dirumuskan fuqaha itu dianggap sebagai ketentuan syariah yang mutlak diikuti. “Fiqih” itu artinya “pemahaman”, jadi yang dihasilkan oleh fuqaha merupakan upaya rasional memahami prinsip-prinsip syariah. Fikih dan syariah itu berbeda. Karenanya, secara epistimologis, penyebutan “bank syariah” itu sendiri tidak benar.

Kalau mau disebut “bank menurut fikih” pun tidak sepenuhnya tepat, karena pemikiran ulama terdahulu sangat terbatas untuk diaplikasikan dalam perbankan modern. Mari kita diskusikan perbedaan konsep “murabahah” yang dikembangkan fuqaha dan yang dipraktikan oleh bank “terpaksa disebut” syariah.

Murabahah (diambil dari kata “ribh” yang berarti laba/keuntungan) merupakan mekanisme invesmen paling banyak diterapkan bank syariah. Secara global, lebih dari 75% aset bank syariah dikelola melalui murabahah ini dan, karenanya, dianggap tidak mempraktikkan riba.

Dalam fikih klasik, murabahah melibatkan tiga pihak: A, B, dan C. A memesan kepada B untuk membelikan barang. B sendiri tidak punya barang tersebut, tapi berjanji akan membelikan dari C. Setelah beli, B menjualnya ke A dengan laba (ribh) yang diketahui A dan B. Jadi, transaksi murabahah itu ialah antara A dan B.

Transaksi murabahah itu seperti jual-beli dengan memberi komisi kepada pihak yang berjasa. Bank syariah mengadopsi murabahah ini sebagai berikut:

  • Pembeli harus mengetahui harga barang dan biaya lain terkait pembelian, termasuk margin keuntungan yang ditetapkan dengan prosentase tertentu.
  • Transaksi harus terkait barang atau komoditas.
  • Pembayaran ditunda.

Berbeda dengan murabahah dalam fikih, A sebagai client B (yakni, bank) sebenarnya tidak punya uang untuk membeli. Dalam praktiknya, bank syariah memperoleh laba bukan karena jasanya mecarikan barang, melainkan—salah satunya—karena penundaan bayaran dari pembeli. Bagi bank syariah, laba tersebut tidak disebut riba, karena akad A dan B bukan hutang-piutang (walaupun kenyataannya memang pinjaman), melainkan jual-beli.

Bank Syariah dan Konvensional Sama Saja

Sekarang kita bisa membandingkan apakah ribh dalam murabahah yang dipraktikkan bank syariah berbeda dengan fixed interest (bunga tetap) yang ditetapkan bank konvensional.

Walaupun berbeda nama, satu disebut “ribh/laba” dan yang lain disebut “interest/bunga”, tapi dalam analisis akhir keuntungan yang diperoleh bank itu sama saja. Bank konvensional membebankan bunga pada client karena bank memang butuh pemasukan, selain karena inflasi, ketidakpastian ke depan, kebijakan moneter, dan suku bunga yang berlaku secara global. Juga, karena demand untuk peminjaman ke bank terus berkembang.

Sebenarnya alasan serupa mempengaruhi bank syariah menentukan “laba” dalam praktik murabahah. Hal ini menjelaskan kenapa laba dan bunga yang diterapkan bank syariah dan konvensional kisarannya tidak jauh berbeda. Rate bank syariah bisa sedikit lebih tinggi atau rendah dari bank konvensional karena keduanya mempertimbangkan interest rate tertentu.

Ini diakui oleh pelaku bank syariah sendiri. Ketika ditanya bagaimana bank syariah mengkalkulasi laba dalam murabahah, berikut jawaban Chief Executive of the Qatar Islamic Bank:

“Ketika menentukan besaran laba dalam transaksi murabahah, suku bunga menjadi pertimbangan. Ini praktik dan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Inflasi diukur, suku bunga dan inflasi dikomparasikan satu sama lain. Kami menganalisis penambahan dan pemasukan dari uang yang kami investasikan.”

Jadi, memang tidak ada bedanya kecuali dalam hal penyebutan akad/transaksi. Di bank konvensional disebut pinjaman, di bank syariah disebut jual-beli. Dalam praktiknya, operasional kedua model bank tersebut sama saja.

Para pendukung bank syariah berdalih bahwa bank berhak mendapatkan laba karena menanggung risiko. Bank menanggung risiko rugi, sebagaimana menjadi syarat murabahah yang dirumuskan para fuqaha.

Namun, dalam praktiknya, bank syariah menghindar dari risiko tersebut dengan cara asuransi dan kesepakatan akad. Biaya asuransi dibebankan kepada client, yakni ditambahkan ke dalam kalkulasi laba. Demikian juga akad dibuat sedemikian rupa supaya bank tidak menanggung risiko dari spesifikasi barang yang dipesan oleh client.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa bank syariah berfungsi sebagai “penyandang dana”, bukan “penjual barang” sebagaimana disebutkan dalam transaksi murabahah yang dirumuskan fuqaha klasik. Kenyataannya, bank syariah tidak menyerahkan barang kepada pembeli, seperti halnya juga tidak menanggung risiko terkait barang tersebut.

Apa yang dilakukan bank syariah tentu tidak salah. Itu bentuk ijtihad dan terobosan ekonomi yang bagus dan akan menemukan pasarnya sendiri. Tapi, jangan katakan bank syariah sebagai satu-satunya bank syar’i dan mengharamkan model bank lain. Sebab, klaim semacam itu memanipulasi agama dan masyarakat Muslim untuk kepentingan segelintir pemilik modal. Itu keji sekali, jahat!

Kolom terkait

Seri Bunga Bank bukan Riba: Apakah Riba Itu?

Riba Dilarang, Bunga Bank Boleh!

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.