Kita baru saja selamat melayari bulan Mei. Banyak peristiwa besar tertambat di sana; baik yang berada di masa yang jauh maupun baru meledak di bulan ini. Ada peristiwa yang bersifat harian, ada yang mendatangkan perhatian yang besar karena dampaknya pada kemanusiaan.
Yang sifatnya harian—dan makin ke sini (mungkin makin tak direken)—adalah kehadiran media cetak. Bahkan, untuk membahas tentang soal itu, saya mesti menumpang portal pure daring seperti Geotimes ini. Kehadiran mereka yang kian menuju “kepunahan” itulah membuat saya tetap berada di trek itu. Bersama warungarsip, lembaga yang dikelola harian dan amatir, saya dibantu tenaga seadanya mengoleksi paling tidak 50-an lebih perwajahan koran cetak itu.
Dari kesukaan mengoleksi wajah itu, saya melihat ada siasat yang terus dibangun oleh para jurnalis yang kukuh mengambil jalan kertas sebagai wadah mereka untuk mengabarkan yang perlu demi mengepulnya bisnis informasi dan ide. Siasat itu bernama “Bergaya di Halaman Depan”.
Saya melihat gaya itu ada justru ketika koran kuning macam Lampu Merah masuk gelanggang bisnis, yang kemudian diikuti dengan masifnya kehadiran koran berembel-embel “Radar” (grup Jawa Pos) dan “Tribun” (grup Kompas). Mereka tak hanya menawarkan pemasaran yang gila-gilaan (berlomba meminimumkan banderol harga), tetapi juga berlomba menjadikan halaman depan (front page) sebagai gelanggang artistik yang dinamis.
Kehadiran koran-koran model berita pendek dan enggak mau ribet itu memberi khasanah baru, bahwa infografik, ilustrasi, bahkan karikatur bisa menjadi pengganti foto yang desainnya begitu-begitu saja di halaman prestisus sebuah koran, yakni front page. Visual seperti itu tentu saja lebih dinamis, memanjakan mata, ketimbang menempatkan bingkai foto yang berkesan datar dan dingin. Pertarungan di lapak-bergerak bangjo (perempatan “lampu merah”) maupun di kios koran/majalah yang kian susut kini menjadi lebih gesit.
Di ranah daring, ada persaingan memburu klik layaknya tuyul, di ranah luring atau cetak terjadi persaingan lirik(an). Siapa yang bisa mencuri perhatian, dia dapat.
Pembaca, izinkan saya merefleksikan Mei yang baru lewat dengan mengumumkan pilihan front page paling dinamis, artistik, dengan eksekusi ide yang tak biasa.
Dan, oh, Pembaca, pilihan saya jatuh pada Tribunnews.com Tribun Jogja edisi 14 Mei 2018.
Pilihan itu saya sandarkan setelah mengikuti secara ekstensif front page 50-an lebih koran dari hampir seluruh Indonesia mulai 1 Mei hingga 31 Mei; dari Serambi Indonesia, Waspada, Riau Pos, Sriwijaya Post, Tribun Lampung, Warta Kota, Republika, Kompas, Galamedia, Radar Bogor, KR, Harian Jogja, Solo Pos, Suara Merdeka, Bhirawa, Bali Post, Banjarmasin Post, Kaltim Post, Fajar, Tribun Manado, Kendari Pos, hingga Pos Kupang.
Di hari Senin, 14 Mei itu, hampir semua koran, termasuk koran ekonomi seperti Harian Kontan dan Bisnis Indonesia, berlomba menampilkan peristiwa tunggal yang bahkan mengundang Sang Paus dari Vatikan ikut memberikan testimoni. Yakni, teror bom pagi hari 13 Mei 2018 di tiga gereja di Kota Surabaya. Tentu saja, sepanjang hari Minggu, televisi, media daring, maupun media sosial tak putus-putusnya mengabarkan dan memperbincangkan peristiwa yang menarik animo perhatian publik nasional dan internasional tersebut.
Lalu, bagaimana dengan koran-koran cetak yang mesti terbit keesokan harinya?
Pertarungan sengit terjadi di halaman depan. Semua berlomba menampilkan amarah, bukan hanya diwakili oleh teks, namun juga diaktualisasikan dalam visual. Terutama sekali warna. Amarah itu tampak dengan penggunaan warna hitam dan merah yang dimunculkan secara ekstrem. Blok hitam atau merah satu halaman adalah praktik dari visualisasi itu.
Kata-kata bertenaga kuda kemudian ditempelkan di sana, antara lain “Lawan!” (Koran Tempo), “Surabaya Berduka” (Radar Surabaya), “Suroboyo Wani!” (Republika), “Suroboyo Wani!” (Surya). Tentu saja ada Kompas dengan pilihan diksi yang “khas”: “Bersatu untuk Indonesia”. Atau, Media Indonesia, “Lihat Hatimu, Saudaraku”.
Di antara banyak yang marah itu, ada Tribun Jogja yang tak menampilkan merah dan apalagi hitam sebagaimana gaya front page mereka sebelum-sebelumnya. Tribun Jogja tampil dengan warna “biasa”, putih. Yang tak biasa adalah terdapat tangan kiri yang menghapus gambar dan berita teroris itu dengan warna putih dan diberi judul besar nyaris tanpa ekspresi: “Tak Ada Tempat untuk Teroris”.
Kata-kata dari headline Tribun Jogja itu sehari sebelumnya sedang viral sebagai sebuah himbauan. Di kamar desain Tribun Jogja, kata-kata itu ditafsir apa adanya dalam visual: tak ada teks berita dan gambar di halaman depan mereka dengan cara menghapusnya. Satu halaman news “dikorbankan” demi meraih pesan artistik. Pesan itu juga seperti memberitahukan bahwa Tribun Jogja enggak mau main(-main) dengan teroris-teroris itu. Caranya? Hapus dari front page.
Tribun Jogja di hari Senin itu, ketika hampir semua koran menampilkan wajah front page dengan kemarahan yang mendidih, menyisakan sekulum senyum yang aneh di perempatan. Mungkin, serapah: Hajingaaaan!
Selamat kepada Tribun Jogja!