Jumat, Maret 29, 2024

Video HTI, Organisasi Islam, dan Produk Intelijen

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

mahasiswa-ui_tolak-ahokNetizen dihebohkan oleh video Gema Pembebasan yang diklaim oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pro-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam video itu, mahasiswa tersebut membawa retorika religius untuk menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak pantas terpilih lagi sebagai gubernur DKI Jakarta.

Sontak netizen langsung bereaksi keras dan semua berakhir ketika pihak Hubungan Masyarakat UI menyatakan, video tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan UI, dan sang mahasiswa meminta maaf secara resmi kepada rektorat. Setelah itu beberapa kampus lain ternyata juga “dicatut” dan dibawa-bawa oleh video serupa.

Fenomena menarik ini sebenarnya perlu dikaji secara mendalam, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa ada kesan bahwa negara membiarkan organisasi seperti HTI yang terang-terangan anti-NKRI mempropagandakan ideologinya?

Sebelum memvonis semua ini sebagai kelalaian dan inkompetensi aparat, ada baiknya kita menengok sebentar ke sejarah untuk mengkaji kasus yang mirip-mirip.

Puluhan tahun sebelum HTI masuk ke Indonesia, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sudah memulai gerakan radikal bersenjata untuk mendirikan negara Islam Indonesia. Perjuangan mereka secara de jure terhenti ketika pemimpinnya, yaitu Kartosuwiryo, ditangkap dan dieksekusi oleh Pemerintahan Orde Lama pada awal 1960-an.

Namun, mereka masih mempunyai pengikut, dan menariknya sejumlah eks DI/TII diketahui masih melakukan gerakan bawah tanah. Persidangan atas Danu Muhammad Hasan di awal tahun 80-an mengungkapkan bahwa negara terlibat dalam pembentukan “Komando Jihad”. Walaupun Danu sudah mengungkapkan keterlibatan negara, dia tetap divonis tuduhan makar.

Komando Jihad adalah asosiasi eks anggota DI/TII, yang diduga dibentuk untuk pemenangan Golkar pada Pemilu 1971 dan 1977. Produk “Komando Jihad” sangat sukses menggembosi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena stigmatisasi terhadap gerakan Islam, sehingga akhirnya Golkar yang menang pemilu.

Menurut Letnan Jendral TNI (purn) Sumitro, mantan Pangkopkamtib, “Komando Jihad” diduga keras merupakan produk intelijen dari Tim Operasi Khusus besutan Letnan Jendral TNI (purn) Ali Moertopo. Siapakah Ali Moertopo, tokoh misterius yang sudah mulai dilupakan ini?

Menurut sejumlah pengamat, Ali Moertopo adalah praktisi intelijen terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Sampai sekarang, walau biografi dan tulisan mengenai Ali Moertopo sudah banyak beredar, masih banyak aksi telik sandi Moertopo yang masih diselubungi kabut misteri tebal. Opsus adalah lembaga semi independen bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) yang bertugas meredam lawan politik rezim Orde Baru.

Hingga kini keterlibatan opsus dalam “menggarap” organisasi Islam anti-Orba seperti eks-DI/TII masih menjadi kontroversi dan misteri paling besar dalam sepak terjang tim besutan Ali Moertopo tersebut. Walau dalam perjalanan sejarah opsus dibubarkan, metode adu domba dan infiltrasi mereka tetap digunakan negara sampai rezim Orba tumbang pada tahun 1998. Jangan lupa, meski opsus dan Orba sudah tidak ada, praktisi dan pengamat intelijen masa kini adalah produk dari era yang sangat bergejolak tersebut.

Kendati metode dan sasarannya sangat berbeda dengan era tersebut, negara diduga tetap melakukan pendekatan dan moderasi terhadap organisasi Islam yang punya potensi radikal. Tentu saja intelijen di era reformasi sudah mengambil pendekatan yang menjauhi instrumen brutal seperti di era sebelumnya demi pengarusutamaan proses demokratisasi negeri ini.

Umumnya, peneliti dan akademisi sangat tidak menyukai teori konspirasi karena terlalu bias stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Keyakinan sebagian kalangan terhadap “konspirasi Yahudi dan Freemason” yang tidak ilmiah, misalnya, membuat teori tersebut ditolak di arus utama akademisi. Teori konspirasi dibenci oleh ilmuwan atas nama “obyektivitas pengetahuan”.

Namun, jika membaca literatur kajian intelijen, semua aksi mereka tidak lepas dari hal tersebut. Membantah teori konspirasi sama saja dengan naif mengganggap aksi intelijen tidak pernah ada. Upaya peneliti untuk menolak teori konspirasi sudah pasti menemui ruang hampa nihilisme ketika mengkaji para tokoh “raksasa intelijen” seperti Ali Moertopo, Kim Philby, dan Lawrence of Arabia.

False Flag Operation Nazi Jerman yang membakar reichstag (parlemen Jerman) kemudian menyalahkan kelompok Yahudi dan Komunis sebagai pelaku adalah event sejarah yang riil dan diakui sendiri oleh penjahat perang Nazi. Ini bukan semata rekayasa pengikut teori konspirasi Yahudi-Freemason. Pada titik ini kita harus berhati-hati supaya jangan terjebak dalam stigmatisasi maupun simplifikasi terhadap event sejarah.

Negara memang diperbolehkan menggunakan instrumen intelijen untuk menegakkan dasar negara dan konstitusi sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 mengenai Intelijen Negara. Walaupun di masa sekarang belum ada bukti mengenai keberadaan operasi intelijen seperti opsus Ali Moertopo, peristiwa-peristiwa yang terjadi hari-hari ini sangat penting dianalisis secara strategis.

Dengan video gerakan Gema Pembebasan yang menolak Ahok, negara berhasil memoderasi HTI untuk memilih lawan politik Ahok di pemilihan kepala daerah. Keterlibatan HTI dalam proses demokrasi membuktikan bahwa mereka sudah jauh bergeser dari posisi awal mereka yang anti-demokrasi.

Klaim Gema Pembebasan bahwa mereka tidak mengarahkan untuk memilih pemimpin lain adalah sangat naif, karena dalam politik menjadi netral dan golongan putih sekalipun akan menguntungkan pihak tertentu. Di sini buzzer dan relawan Ahok tidak perlu emosional terhadap mereka, karena proses moderasi sudah berjalan, walau belum sampai sasaran yang diharapkan mereka.

Keterlibatan HTI dalam pilkada harus didukung penuh sebagai oposisi yang memang diperlukan dalam pemerintahan yang demokratis. Sejalan dengan waktu, retorika radikal mereka akan bisa dilemahkan bahkan dilumpuhkan jika diajak dialog sehat. Selama ormas Islam arus utama dilibatkan, pemanggilan ustaz-ustaz HTI ke berbagai forum tak perlu dilawan. Justru harus diarahkan dan diajak berdialog akademik secara sehat untuk menggiring mereka menjadi semakin moderat.

Program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Agama bisa menjadi instrumen strategis untuk itu. Ali Moertopo sudah membuktikan bahwa bedil dan peluru tidak pernah bisa memusnahkan DI/TII, namun moderasi dalam sistem demokrasi bisa melumpuhkan dan meringkus mereka. Hal yang sama juga berlaku pada HTI maupun ormas lainnya.

Di sisi lain, organisasi Islam yang awalnya kurang disukai oleh arus utama pengikut nasionalis mulai berubah halauan untuk lebih akomodatif dan simpatik. Moderasi Partai Keadilan sejahtera (PKS) yang memilih menjadi oposisi tidak agresif membuktikan bahwa partai tersebut semakin ramah dengan kebijakan negara.

Kemudian, inisiatif Aliansi Cinta Keluarga (AILA) harus diapresiasi karena menggunakan jalur konstitusional untuk memperjuangkan agenda mereka. Hal tersebut jauh lebih baik ketimbang melakukan agitasi inkonstitusional untuk mencapai tujuan mereka, yang tentu saja melanggar hukum. Tentu akhirnya akan ada konsensus yang memoderasi aspirasi mereka oleh negara sehingga dipastikan semua inisiatif mereka akan bergeser sesuai kepentingan arus utama yang moderat.

Dalam konteks ini, yang menjadi pemenang bukanlah partai atau ideologi tertentu, namun Indonesia yang demokratis, plural, dan toleran yang menjadi pemenang. Berbeda dengan era Ali Moertopo dan Orba yang melakukan penyeragaman narasi politik, produk moderasi organisasi Islam tersebut justru mendukung agenda reformasi yang mengarusutmakan hak asasi manusia (HAM), gender, dan demokrasi di negara kita.

Undang-Undang Intelijen yang disahkan di era reformasi mendukung penuh pengarusutamaan tersebut, sehingga wacana “gelap” dan “manipulatif” versi opsus bisa ditutup untuk selama-lamanya.

Kembali ke video Gema Pembebasan, sebaiknya kita tidak perlu terlalu reaksioner dan seyogianya mahasiswa yang terlibat dibina dan didampingi secara psikologis sehingga bisa menyelesaikan kuliah sesegera mungkin. Akhirnya, begitu sang mahasiswa menjadi alumnus, dia akan melihat bahwa dunia kerja tidaklah sehitam-putih indoktrinasi ideologi yang pernah diterima sebelumnya. Terlalu banyak konsensus maupun kompromi yang harus diambil jika ingin memperjuangkan agenda kita, terutama dalam dunia kerja.

Demokrasi menuntut sintesa dari berbagai tesa dan anti-tesa yang ada, agar konsensus tercipta.  Demikian juga pada akhirnya mereka akan memahami hal tersebut supaya bisa tetap eksis di negara ini.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.