Sabtu, April 20, 2024

Utang Negara di Era Pandemi (Antara Rizal, AHY, Babo dan Sri)

Amir Uskara
Amir Uskara
Dr. HM Amir Uskara adalah Ketua Fraksi PPP DPR RI/Ekonom

Salahkah negara berutang besar di tengah pandemi? Lihat bagaimana reaksi orang-orang yang oposan dan propemerintah. Kaum penyinyir rejim Jokowi, ramai-ramai menyorot utang negara saat ini — yang katanya, sangat besar dan memberatkan perekonomian nasional.

Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Rizal Ramli, misalnya, menyoroti utang dari Jerman dan Australia belum lama ini, yang nilainya masing-masing 550 juta euro ( Rp 9,1 triliun) dan 1,5 milyar dolar Australia (Rp 15,4 trilyun). Rizal mengejek, rejim Jokowi memalukan karena mengemis uang recehan dari Jerman dan Australia. Padahal pinjaman itu, dalam skema mengatasi Pandemi yang disebut “Covid-19 Active Response and Expenditure Support” atau CARES. Hal itu tak hanya dilakukan Indonesia. Tapi juga negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan lain-lain yang terdampak covid parah.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo merespon Rizal Ramli yang nyinyir terhadap utang tersebut. Melalui akun Twitter resminya, @prastow, Yustinus menyatakan, pinjaman dari Australia dan Jerman tidak diperoleh RI dari mengemis, melainkan sebagai wujud persahabatan antarnegara, terutama di tengah pandemi Covid-19. Makanya, pinjaman itu bertenor panjang dan bunga rendah.

Apakah negara bangkrut lantaran utang itu? No, jelas Yustinus. Itu terlihat pada posisi utang negara, oleh yang saat ini, justru turun dari 7,03 persen di awal 2020, menjadi 6,15 persen, November 2020. Karena itu, kata Yustinus, tidak benar utang tersebut memberatkan perekonomian Indonesia.

Kritik serupa muncul dari Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Katanya, utang negara terus membengkak hingga lebih dari 6.500 triliun rupiah. Angka tersebut sudah melampaui 40 persen utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Lalu, apakah prosentasi tersebut membuat Indonesia terjungkal dan mati kutu? No. Malah perekonomian Indonesia di saat pandemi cukup tangguh. Bahkan cepat bangkit dan menuai pujian internasional. Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia di kwartal kedua tahun 2021 mencapai 7,07 persen. Padahal di kurun yang sama, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan hanya 5,69 persen dan India 1,6 persen. Dua negara ini termasuk tinggi pertumbuhan ekonominya dari tahun ke tahun.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjawab kritik nyinyir tersebut dengan santai. Ini karena utang tersebut, termasuk pinjaman luar negeri, sudah sesuai aturan yang jelas; bukan ngoyoworo. Maksudnya, sudah direncanakan jauh hari oleh pemerintah untuk menyeimbangkan postur APBN — jelas Sri Mulyani. Tentu sudah dibahas DPR.

Semuanya sudah tertuang dalam Perpres 72/2020. Di Perpres 72/2020 tertera dari mana sumber uang untuk APBN “penyesuaian” di era Pandemi yang “defisit” itu. Dari SBN (Surat Berharga Negara), pinjaman bilateral, dan multilateral. Kondisi tersebut — di mana utang negara mengalami kenaikan — tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga nyaris di seluruh dunia. Karena pengaruh pandemi corona.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Komposisi utang terdiri dari pinjaman, baik dalam maupun luar negeri, sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen).

Secara nominal, posisi utang Pemerintah Pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Meski demikian, rasio utang 41,35 persen dari PDB tersebut masih berada dalam koridor konstitusi. Karena UU Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan, rasio utang tertinggi adalah 60 persen dari PDB.

Kebijakan pemerintah soal postur APBN di atas, memang menuai nyinyiran. Tapi banyak pula yang memuji kebijakan APBN defisit itu. Babo Erizeli Jelly Bandaro, pegiat sosmed yang rajin menulis masalah-masalah ekonomi dan politik dengan follower jutaan orang, misalnya, menyatakan, strategi Sri Mulyani dalam membuat postur APBN era pandemi sangat jenius. Kenapa?

Karena kita tidak tahu kapan pastinya pandemi berakhir. Sri Mulyani tahu bahwa di saat pandemi, suku bunga pinjaman pasti akan naik, karena tingkat resiko tinggi. Likuiditas juga rendah.

Bayangkan kalau tapering off the Fed (pengurangan pembelian surat utang negara oleh bank sentral Amerika) benar-benar terjadi Oktober 2021. Pengaruhnya jelas akan merepotkan Indonesia yang ketergantungannya pada devisa dolar amat tinggi.

Jika itu terjadi, Indonesia akan sulit mendapatkan utang besar dengan bunga rendah untuk mengatasi defisit di masa pandemi. Makanya sejak tahu 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani berusaha memperoleh pinjaman besar, yang nilainya di atas defisit; untuk berjaga-jaga.

Sekarang, coba nilai sendiri — salahkah Sri Mulyani? Jelas big no. Karena dasar hukumnya jelas, yaitu PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus.

Kita lihat, total pinjaman tahun 2020, sebesar Rp 1.225,9 triliun, padahal defisitnya Rp 947,70 triliun. Jadi ada kelebihan dana sebagai sikap jaga jaga. Itulah hebatnya Bu Sri. Begitu pula utang di tahun 2021.

Sementara itu, pembiayaan valas lebih diarahkan kepada sumber dana multilateral, seperti World Bank. Maklum vaksin dan alat kesehatan masih impor. Jauh lebih baik hutang pada Bank Dunia yang berbunga murah dan lunak dari pada menguras cadangan devisa. Penggunannya sesuai amanah Perpu; yaitu program vaksinasi gratis kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hasil strategi pemerintah terlihat. Di paruh kedua September 2021 yang berlanjut sampai sekarang, misalnya, terjadi penurunan tingkat pandemi di Indonesia yang signifikan — dibandingkan bulan Juli dan Agustus ketika gelombang kedua pandemi Covid-19 mengguncang Indonesia.

Menariknya, di tengah kondisi ekonomi didera pandemi, Indonesia masih mendapat pujian internasional dalam hal investasi. Standard and Poor’s (S&P), 2020, menyatakan Sovereign Credit Rating Indonesia masih berada pada tingkat investment grade (BBB). Sedangkan Lembaga pemeringkat global asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc. (R&I), April 2021, menyebut Indonesi tetap berada pada peringkat Sovereign Credit Rating BBB+/outlook stabil (Investment Grade).

Itu artinya Indonesia masih bermagnet besar menarik sumber daya keuangan. Itulah yang menjadi penyebab, kenapa Indonesia cukup berhasil menangani pandemi. Di gelombang kedua pandemi, misalnya, Indonesia tidak terkena “tsunami Covid-19” separti India. Ini karena rejim Jokowi cukup berhasil mengatasi gelombang kedua tadi. Itu terjadi berkat kebijakan keuangan yang cerdas di atas.

Jelas, Indonesia masih kredibel sebagai tempat investasi global yang akan berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi. Rasio utang terhadap PDB, misalnya, masih di kisaran 40 persen. Bandingkan dengan rasio utang terhadap PDB Singapura yang saat ini mencapai 150%, Malaysia 62%, Filipina 54%, AS 78%, dan Jepang 256%.

Tokh mereka aman. Tak diganggu nyinyiran oplosan kaum oposan yang bikin gaduh seperti Indonesia. Rakyat dan para cendekiawannya bisa memahami langkah pemerintah mereka.

Apa kesimpulannya? Utang Indonesia di tengah pandemi yang membengkak dan defisit, masih berada dalam batas aman. Tak perlu risau. Bahkan kita bersyukur, pemerintah — karena strategi utang tersebut — berhasil mengatasi pandemi dan dampak sosial ekonominya. Ini terlihat dari berkurangnya jumlah kasus positif, kasus kematian, dan keterisian kamar rawat di rumah-rumah sakit pada paruh kedua September 2021.

So, yang nyinyir anggap saja streaming peribahasa yang nylonong di televisi sosial media: “Anjing menggonggong kafilah berlalu.” Itu saja.

Amir Uskara
Amir Uskara
Dr. HM Amir Uskara adalah Ketua Fraksi PPP DPR RI/Ekonom
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.