Jumat, Maret 29, 2024

Ulul Albab dan Manusia Otak Reptil

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan

Salah satu jenis manusia (khalîfah) yang paling unggul di dunia ini adalah Ulul Albab. Kata Ulul Albab diambil dari Bahasa Arab labba-yalubbu artinya “tinggal”, “berdiam diri”, dan “memecahkan sesuatu dari intinya”. Dari kata tersebut kemudian diturunkan (tasyrîf) menjadi kata benda al-lubbu yang berarti “inti sari” atau “hal yang paling penting”. Kata albab yang dibahas di sini merupakan bentuk jamak dari kata al-lubbu tersebut. Secara tidak langsung definisi tersebut menunjukkan bahwa Ulul Albab menempati posisi penting dalam mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi.

Ulul Albab dan Kerja Otak

Kata al-lubbu sepadan dengan al-‘aqlu yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan “akal” atau “nalar”. Selain itu kata tersebut juga sepadan dengan al-qalbu yang diartikan dengan “hati” (Al-Munawir, 1998: 1247). Menurut ilmu pengetahuan modern, sebagaimana yang diungkap Taufik Pasiak, dalam bukunya Unlimited Potency of Brain (2009), kata qalbu (Indonesia: hati), sebenarnya tidak menunjukkan makna yang hakiki, hati sebagaimana yang terletak di dada. Dalam Bahasa Arab hati yang letaknya di dada disebut al-kabdu (Al-Munawir, 1998: 1183). Hati dengan karakteristik yang digambarkan Al-Qur’an sebenarnya lebih mencerminkan “kerja otak manusia”.

Al-Qur’an menyatakan, lahum qulûbun lâ yafqahûna bihâ, artinya “kamu memiliki hati, tetapi tidak digunakan untuk memahaminya”. Dalam ayat ini kata qalb digunakan dalam bentuk jamak, yakni qulûbun. Sementara hati yang berada di dalam tubuh hanya satu. Dengan begitu jika yang dimaksud hati dalam ayat ini adalah secara fisik, maka sudah tentu menyalahi kenyataan. Namun jika dipahami sebaga “otak” menjadi lebih tepat, sebab otak tidak satu, melainkan terdiri dari beberapa bagian.

Lalu juga ada ayat yang berbunyi ‘ala bidzikirllahi tathma’inul qulûb, artinya “sungguh dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”. Ciri hati tenang secara fisiologis adalah dada tidak berdebar-debar dan tidak mengeluarkan keringat dingin. Ciri fisiologis orang yang tidak tenang (gelisah) dada berdebar-debar (denyut jantung berdetak lebih kencang), tensi (tekanan) darah meningkat, dan berkeringat.

Salah satu penyebabnya adalah karena adanya ancaman dalam bentuk apapun. Ancaman tersebut masuk ke otak reptil manusia dan diproses di dalamnya. Setelah diproses otak kemudian memberikan respons menjadi gerak spontan (naluriah), yakni fight (lawan jika mampu) atau flight (hindari jika berbahaya). Namun selain respon spontan tersebut juga ada respons fisiologis yang tidak dapat dikendalikan, yakni denyut jantung yang berdetak kencang, keringat dingin, dan sebagainya seperti digambarkan di atas. Respons fisiologis ini dikelola oleh otak reptil yang letaknya paling belakang.

Dalam beberapa kasus tertentu ancaman tersebut dapat menyerang psikis seseorang, jadilah dia depresi, mengalami ketakutan yang berlebihan bahkan tanpa alasan. Untuk menekan keadaan depresi tersebut Al-Qur’an memberikan jawaban, “sesungguhnya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang”. Meskipun rasa takut tersebut dikelola oleh otak kanan, tetapi ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan berdzikir semua bagian otak menjadi tenang.

Cara kerja otak sebenarnya tidak otonom, melainkan satu bagian dengan bagian otak lainnya saling terkait dan dapat bekerja dalam waktu bersamaan. Itulah sebabnya qalbu yang berasal dari kata qalaba-yaqlibu bermakna merubah, membalik, bergeser, dan berpaling yang secara maknawi menunjukkan sebuah pergerakan yang cepat. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara cepat (Al-Munawir, 1998: 1145).

Namun terkadang seseorang hanya memfungsikan satu bagian saja ketika merespons sesuatu. Salah satu bagian otak yang jarang difungsikan adalah lobus temporal, otak bagian depan, yang didalamnya mengatur religiusitas. Dalam bahasa agama adalah keyakinan dan keimanan. Otak inilah yang menjadi punggawa dari bagian otak lainnya. Ketika seseorang berdzikir, maka secara tidak langsung otak ini akan berfungsi. Di otak bagian inilah sabar, tawakal, optimisme, qonaah, syukur, dan sikap-sikap religiusitas lainnya dikelola. Perintah dzikir dalam Al-Qur’an tersebut secara nyata menunjukkan cara kerja dan fungsi otak tersebut.

Nabi saw bersabda: “Seungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika daging tersebut rusak maka rusak semua semua seluruh tubuh. Jika daging itu baik, maka baik semua seluruh tubuh”. Kemudian salah seorang sahabat bertanya, “Apakah daging tersebut ya Rasulullah?” Kemudian beliau menjawab: “Daging tersebut adalah qalb”.

Pemahaman yang tepat terhadap kata qalb pada hadis di atas bukanlah secara fisik, hati yang terletak di dada. Sebab sudah dijelaskan, bahwa hati yang letaknya di dada secara fisik adalah al-kabdu. Oleh karena itu arti qalb di atas menunjukkan otak sebagaimana penjelasan di atas. Sebab semua fungsi tubuh dikendalikan oleh otak. Jika otak tidak berfungsi maka semua organ tubuh juga tidak akan berfungsi.

Kasus kerusakan otak biasa disebabkan karena stroke, yang disebabkan pecahnya pembuluh darah yang berada di otak. Akibat dari serangan stroke mengakibatkan beberapa organ tubuh tidak berungsi sama sekali. Mulai dari gerakan, komunikasi, dan sebagainya, semua tergantung di bagian otak mana pembuluh darah itu pecah.

Allah Menyebut Mereka Binatang

Mari kembali pada pokok persolan di atas mengenai makna al-lubbu. Jadi substansi kata albab dalam bentuk jamak tidak lain menunjukkan dua hal penting tersebut, yakni terdiri dari akal dan hati. Kata aql sendiri dalam Bahasa Arab ‘aqla-ya’qulu berarti mengikat (Al-Munawir, 1998: 956). Hal ini sejalan dengan fungsi otak, yang bekerja jalin berkelindan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Jadi orang bernalar sebenarnya tidak hanya memfungsikan satu bagian otak saja, melainkan semua potensi yang ada di dalamnya, otak kiri untuk berpikir, kanan untuk merasa, bagian depan untuk religiusitas, dan belakang untuk motorik, —meminjam istilah Amin Abdullah—difungsikan secara integrasi interkoneksi dan bersamaan.

Kalau dalam kehidupan ini kita menemukan orang cerdas, tetapi berprilaku biadab, jahat terhadap orang lain, hal tersebut menandakan yang berfungsi hanya otak kiri dan otak reptilnya saja. Andaikata ada orang beragama, bisa jadi paham agama dengan baik, tetapi masih terus korupsi, zina, dan maksiat, itu menandakan pemahaman agamanya hanya berada di otak kiri saja, tidak pernah masuk ke otak religius. Begitu juga jika kita melihat ada orang shalat, tetapi masih tidak memberikan faedah terhadap lingkungan, justru malah merusak, berarti shalatnya hanya sebatas motorik belaka, tidak pernah masuk sampai penghayatan.

Jadi orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan baik tidak dapat disebut bernalar. Dia tidak berhak disebut sebagai Ulul Albab. Itulah sebabnya orang yang berilmu semestinya semakin tawaduk, tidak sombong, makin peduli dengan orang lain, dan tentu saja makin religius. Jika ada yang sebaliknya, mereka inilah yang di dalam Al-Qur’an dikecam oleh Allah: “Sesungguhnya binatang (makhluk) adalah yang seburuk-buruknya di sisi Allah, yakni orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak berpikir” (Al-Anfal/8: 22).

Ayat di atas keras sekali mengecam orang-orang yang tidak mau mendengarkan nasehat dan menggunakan akalnya. Allah sendiri yang menyebut mereka seperti binatang. Cara kerja hidup mereka hanyalah mengandalkan otak belakang (otak reptil). Disebut otak reptil karena cara kerjanya berdasarkan insting, naluriah, dan nafsu sebagaimana binatang. Jika otak ini yang dominan, maka prilaku manusia bisa lebih hina dari binatang.

Karakteristik Ulul Albab

Oleh sebab itu jika diperhatikan, 16 ayat dalam Al-Qur’an yang memuat kata Ulul Albab, semuanya tidak lepas dari pengertian di atas. Karakteristik tersebut antara lain: (1) berpikir kritis, objektif, dan bersikap terbuka (QS. Az-Zumar/39: 18; Al-Maidah/5: 100); (2) taat dalam beribadah (QS. Az-Zumar/39: 9); (3) mengetahui hakekat Tuhan (beriman dan bertakwa (QS. Ibrahim/14: 52; Ath-Thaalaq/65:10) ; (4) memiliki kesolehan sosial (QS. Al-Baqarah/2: 197); (5) mampu memahami alam semesta (scientist) (QS. Ali Imran/3: 90; Shaad /38; Az-Zumar/29: 21): 43); (6) mampu memahami firman Tuhan di dalam kitab suci (QS. Al-Baqarah/2: 269; Ali Imran/3: 7; Ar-Ra’du/13: 19; Shaad/38: 29; Al-Ghaafir/40: 53); (7) mampu menyingkap tabir kisah-kisah dan sejarah (QS. Yusuf/12: 111); (8) mampu mengambil pelajaran dari sebuah hukum (syari’at) (QS. Al-Baqarah/2: 179).

Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Ulul Albab adalah manusia inti dalam tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Salah satu sebab dia menjadi inti adalah kemampuannya memfungsikan otak dan akal secara maksimal. Orang yang menggunakan otak atau akal sehat di dalam Al-Qur’an disebut “qalbun salîm”, dalam bahasa yang populer saat ini disebut “berakal sehat” (QS. Asy-Syu’ara/26: 89).

Jadi orang yang tepat mengelola dunia ini harus memiliki karakter seperti layaknya Ulul Albab. Mereka harus berlapang dada mendengarkan berbagai nasehat, meskipun nasehat tersebut terkadang menyakitkan. Namun berlapang dada saja tidak cukup, harus juga terbuka pikirannya. Tidak melihat siapa yang menyampaikan, dari kelompok mana, golonganku atau bukan. Begitulah karakter khalifah yang diharapkan Tuhan. Kalau ternyata dunia ini rusak, berarti menandakan sedang dipimpin oleh orang yang berotak reptil saja. Wallahu’alam bishawab.

Hatib Rahmawan
Hatib Rahmawan
Koordinator Program Pegiat Pendidikan Indonesia, Dosen Universitas Ahmad Dahlan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.