Di suatu malam yang tenang, saya termenung di bawah langit penuh gemintang. Perasaan kadang membuat hati ini merasa asing, namun dengan menatap langit, saya seperti ingat bahwa ternyata saya di sini-sini saja, terasa seperti di rumah.
Selain pesawat melintas yang terlihat seperti kedap-kedip lampu rusak, tentu adalah Bulan yang menjadi fokus utama perhatian di langit malam. Saya masih di bawah Bulan yang ini-ini saja sejak kanak-kanak sampai dewasa, di dekat bulan seringnya ada setitik lampu redup kecil yang sebenarnya planet Mars.
Atau sebelum pagi menjelang, saat menolehkan kepala ke langit gelap bagian selatan, biasanya ada ada 4 titik bintang yang juga itu-itu saja. Konstelasi bintang ke-19 bernama Crux yang membentuk salib. Tak heran nenek moyang kita yang konon seorang pelaut, dengan hebatnya mengarungi samudera meski saat itu belum tercipta kompas atau peta. Langit selalu memberi titik-titik kepastian selama kita mau percaya dan bisa mengingatnya.
Peredaran benda-benda langit yang teratur, bulan purnama yang rutin muncul, Komet Halley yang terjun bebas setiap 75 tahun sekali, seringkali membuat takjub bahwa mungkin ada hukum alam yang sebegitu spesifiknya mengatur seluruh jagat semesta. Saya pun kemudian ingat apa kata Albert Einstein: ‘Tuhan tidak bermain dadu!’
Einstein dengan Kausalitasnya dan Heissenberg dengan Probabilitasnya
Selain temuan hukum kesetaraan massa dan energi E=mc2 yang kemudian mewujud dahsyat pada ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki, yang paling terkenal dari Albert Einstein (1879-1955) mungkin adalah ucapannya: ‘Tuhan tidak bermain dadu!’
Tapi apa maksud dari ucapan itu dan apa yang ada di isi otak Einstein waktu itu? Meski kutipan semacam itu kini mudah saja dicomot dan dipakai kapan saja dan di mana saja untuk mewakili pemikiran tertentu, konteks sejarahlah yang jangan sampai kita lupakan.
Einstein, fisikawan teoritis kelahiran Jerman ini sendiri merupakan seorang deterministik. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobes (1588-1679). Paham ini menyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Dua terobosan besar Einstein dalam sains adalah Teori Relativitas Khusus (1905) yang membahas kecepatan tinggi, dan Teori Relativitas Umum (1915) yang membahas soal gravitasi.
Einstein memprediksikan bahwa medan gravitasi akan melengkungkan berkas cahaya. Dia sanggup menjelaskan pergeseran posisi bintang-bintang yang dekat dengan matahari melalui pelengkungan berkas sinar mereka, dan juga fenomena gerak tak teratur Merkurius pada orbit putarannya saat mendekati titik terdekatnya (perihelion) dengan matahari.
Persamaan kosmis Einstein di 1917 menandakan bahwa alam semesta tidaklah tetap, namun mengembang. Galaksi-galaksi bergerak menjauh dari kita dengan kecepatan sekitar 700 mil per detik. Bintang-bintang terus berubah, lahir, dan mati lalu begitu saja seterusnya sepanjang waktu.
Jika ditarik secara filsafati, Einstein memandang alam semesta dan semua hal terjadi dari keharusan dan bersifat tidak terelakkan. Singkatnya, hukum kausalitas (sebab-akibat), gerak semesta dapat dipelajari dan semuanya bergerak secara teratur.
‘Tuhan tidak bermain dadu!’ berarti Tuhan tidak menciptakan atau menggerakkan alam semesta seperti anak kecil yang bermain melemparkan dadu secara acak, karena bagi Einstein semesta ini bersifat pasti dan teratur.
“Der Herr Gott werfell nicht!” (Tuhan tidak bermain dadu!)
Nah, ucapan ‘Tuhan tidak bermain dadu!’ sendiri muncul sebagai tanggapan dari ‘prinsip ketidakpastian’ Werner Heisenberg (1901-1976), ahli teori sub-atom dari Jerman yang diajukan pada 1927. Einstein dan Heisenberg sama-sama masuk bagian dari para ilmuwan yang membidani lahirnya mekanika kuantum di awal abad ke-20 sekaligus menjatuhkan mekanika Newtonian yang lama bertahta sebelumnya, meski Einstein sendiri tetap berpijak kuat pada teori relativitasnya. Meski begitu, kemelut seru ‘tidak mungkin’ untuk dihindari.
Prinsip ketidakpastian menyatakan bahwa karakter pergerakan partikel sub-atomik yang teramat misterius tidak mungkin diraba dengan persamaan dan pengukuran mekanika klasik yang sederhana. Artinya mustahil bagi kita untuk menentukan posisi dan kecepatan sebuah partikel secara bersamaan.
Sumbangan teori bagi dunia fisika mekanika kuantum ini, lagi-lagi jika ditarik secara filsafati dapat menjadi suatu cara pandang tertentu terhdap alam semesta. Yakni bahwa alam semesta memiliki probabilitas atau peluang-peluang yang terjadi secara acak, tidak dapat diukur atau terikat oleh hukum tertentu dan tidak bisa diprediksi.
Fatalisme-Determinisme-Probabilitas (Peluang)-Free Will (Kehendak Bebas)
Sementara kemelut determinisme atau hukum kausalitas (sebab-akibat) dan probabilitas (peluang) terjadi, keduanya berada di antara dua kutub lain, yakni fatalisme dan free will (kehendak bebas). Lawan dari paham determinisme adalah fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Lebih jauh, determinisme juga bertentangan dengan paham free will yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya dan tidak terikat kepada hukum alam. Jadi, pilihan Anda jatuh pada pandangan mana dalam mengagumi segala gerak polah jagat raya ini?