Dalam dua dasawarsa terakhir, nomenklatur kelembagaan pendidikan tinggi Islam Indonesia diperkaya dengan istilah UIN, singkatan dari Universitas Islam Negeri. Kemunculan istilah UIN secara resmi dimulai dengan perubahan IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui Kepres Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Mei 2002.
Dua tahun berikutnya, pada 2004 IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan STAIN Malang menjadi UIN Malang. Kemudian, pada 2005, tiga UIN lagi muncul: UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan UIN Alauddin Makasar. Perubahan ini terus berlanjut, sehingga sampai akhir 2018, UIN berjumlah 17. Daftar PTKIN ini bertambah dengan 34 IAIN dan 7 STAIN, sehingga dengan UIN, PTKIN berjumlah 58.
Kemunculan UIN jelas lebih daripada sekedar perubahan nomenklatur atau kemunculan nomenklatur baru. Ia merupakan hasil dari proses-proses panjang perkembangan pendidikan Islam secara keseluruhan di Indonesia; dan bahkan juga terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tanahair, baik dalam bidang pendidikan maupun kehidupan sosial, budaya, ekonomi, agama, politik dan sebagainya.
Peran dan Tribute untuk Prof A Malik Fadjar
Peran Profesor A Malik Fadjar dalam transformasi IAIN dan STAIN menjadi UIN yang tidak lain merupakan pengarusutamaan PTKIN dalam sistem Dikti Indonesia tidak perlu diragukan lagi. For the record, penulis artikel ini yang menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998-2002), merupakan salah satu pemain utama dalam transformasi PTKIN ini menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002); UIN pertama di negeri ini. Selanjutnya, penulis menjabat Rektor UIN Jakarta (2002-2006). Selain itu juga membangun kembali kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik Kampus I dan Kampus II.
Banyak aktor lain perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN, yang harus didapatkan persetujuan dan dukungannya; di antaranya Dirjen Binbaga Islam, Profesor Husni Rahim dan (almarhum) Profesor A. Qodri Azizy; Dirjen Dikti, Profesor Satryo Sumantri Brodjonegoro; Sekjen Kementerian Agama, Profesor Faisal Ismail. Pada tingkat Menteri mencakup terutama Menteri Agama, Profesor A. Malik Fadjar (1998-99); Menteri Pendidikan Nasional, A Malik Fadjar (2001-4); MenPAN-RB, khususnya Muhammad Feisal Tamin (2001-4), Menteri PPN/Kepala Bappenas, Djunaedi Hadisumarto (1999-2001) dan Kwik Kian Gie (2001-4); dan Mensesneg, khususnya Bambang Kesowo (2001-4).
Selain itu, Rektor IAIN Jakarta harus menjelaskan rencana perubahan itu dalam RDPU DPR RI Komisi VI (pendidikan) di bawah pimpinan Profesor Anwar Arifin (Fraksi Partai Golkar), yang mempersoalkan perubahan IAIN menjadi UIN sebagai akan menghilangkan eksistensi PTKIN. Lalu perlu pula penjelasan kepada alumni-alumni IAIN Jakarta yang keberatan dengan rencana transformasi itu seperti (almarhum) Profesor Nurcholish Madjid dan Profesor M. Din Syamsuddin. Keduanya keberatan, perubahan itu mengakibatkan hilangnya karakter IAIN sebagai PTKI yang telah menghasilkan banyak ulama, pemikir, praktisi pendidikan, aktivis sosial-kemasyarakatan dan LSM, dan juga politisi.
Dari sekian banyak figur lembaga-lembaga penting tersebut, tak ragu lagi peran paling instrumental dalam transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN adalah Profesor Malik Fadjar. Posisinya sebagai Menteri Agama (1998-99) dan Mendiknas (2001-4) menjadi faktor penentu apakah transformasi ini bisa dilakukan atau tidak. Tetapi, Mendiknas Malik Fadjar bukan hanya menyetujui, tetapi juga mendorong dan memfasilitasi perubahan seperti terlihat dalam berbagai kebijakan dan pengalaman serta percakapan lisan penulis dengannya.
Sebagai Menteri Agama, Profesor Malik pertama kali ‘memecah telor’ dengan memberi bantuan untuk membangun kembali dan merenovasi tiga gedung IAIN (rektorat, auditorium utama, dan perpustakaan utama).
Selain itu, dia mendorong penyesuaian gelar-gelar sarjana IAIN. Tak kurang pentingnya adalah mengizinkan IAIN Jakarta melaksanakan konsep dan program ‘IAIN with wider mandate’—yaitu membangun Prodi-prodi Umum di luar mandat konvensional IAIN yaitu rumpun ilmu-ilmu agama Islam. Selain itu, Prof Malik sebagai Mendiknas juga ikut melobbi pejabat tinggi berwenang terkait agar IAIN Jakarta mendapat dana IDB untuk pembangunan kampus; dan juga untuk mendapatkan dana JBIC/JICA dengan persetujuan Menteri PPN/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie untuk pembangunan kampus FKIK dan peningkatan SDMnya dengan menempuh pendidikan S3/PhD di berbagai universitas di Jepang.
Kenapa Prof Malik Fadjar sebagai Menteri Agama dan kemudian sebagai Mendiknas sangat supportif pada transformasi IAIN menjadi UIN?
Secara restropektif penulis yang langsung berhadapan, berunding, dan berargumen dengan Prof Malik sebagai Menteri Agama dan kemudian Mendiknas menyimpulkan: sikapnya tak lain karena didorong hasrat sangat kuat untuk mengarusutamakan (mainstreaming) PTKIN. Dalam pemahaman pemulis, dengan mainstreaming itu, Prof. Malik ingin PTKIN ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ dengan PTN (PTUN)—tidak lagi marjinal; PTKIN tidak lagi sekadar PTN ‘kelas tiga’ (third tier), setelah PTN ‘kelas satu’ (first tier) seperti UI, ITB, UGM dan lain-lain dan PTN ‘kelas dua’ (second tier) semacam IKIP.
Ada beberapa kasus yang menjadi bukti ide pengarusutamaan Prof Malik itu. Untuk singkatnya di sini dikemukakan hanya dua kasus saja.
Pertama, ketika penulis menawarkan nama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Mendiknas Malik Fadjar menolak. Dia menawarkan agar namanya ‘Universitas Syarif Hidayatullah’. Dia beralasan, UGM atau UI misalnya juga tidak memakai kata ‘Negeri’ pada namanya.
Kedua, Mendiknas Malik Fadjar juga meminta agar seluruh (lima) Fakultas (eks) IAIN digabungkan menjadi satu fakultas agama Islam. Argumennya, dengan hanya satu fakultas, Islam bisa disajikan dan dipelajari secara lebih integrated; dan pada saat yang sama bisa membangun lebih banyak fakultas-fakultas umum.
Sebagai rektor, penulis menolak kedua saran/permintaan Mendiknas Malik Fadjar tersebut. Bagi penulis, tidak ada alternatif, kecuali namanya harus ada ‘Islam’; dan semua fakultas agama (eks IAIN) dipertahankan dan dikembangkan. Jika keinginan Mendiknas diikuti, penulis menyatakan kepada Prof Malik, ‘tidak mau dikutuk sejarah karena menjadikan IAIN Syarif Hidayatullah menjadi ‘Universitas Syarif Hidayatullah’ dengan hanya ada fakultas agama Islam di samping fakultas-fakultas umum yang lebih banyak dan dominan.
Sampai pada tahap ini, perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN seolah menemui jalan buntu. Tetapi dengan persistent (‘ngeyel’), penulis justru makin sering menemui Mendiknas Malik Fadjar di Senayan dan juga di perpustakaan pribadinya di kediaman Tebet sambil menikmati kopi dan menemaninya merokok. Walhasil, ‘diplomasi kopi dan rokok’ berhasil; Mendiknas menyetujui nama ‘Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah’ Jakarta dengan fakultas-fakultas IAIN yang diperluas dan integratif seperti Fakultas Syariah dan Hukum, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Adab dan Humaniora, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Selain itu, tentu saja juga ada fakultas-fakultas umum semacam Saintek, FEB, Psikologi dan FKIK.
Tak bisa dibantah pula, gagasan mainstreaming PTKIN pada batas tertentu telah menunjukkan hasil. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta UIN-UIN lain menjadi lebih kompetitif ketika berhadapan dengan PTN/PTUN lain di seantero negeri ini. Karena itulah kita sangat perlu menyampaikan tribute kepada Prof Malik Fadjar; inilah amal jariyah yang terus berlanjut (lasting)—insya Allah sampai akhir zaman.
Beyond Imagination dan Mainstreaming
Dalam konteks ide pengarusutamaan PTKIN itu, perlu dirunut secara historis, bahwa umat Islam Indonesia sejak masa penjajahan Belanda telah memendam aspirasi sangat kuat untuk memiliki pendidikan tinggi, yang memungkinkan anak-anak santri untuk melanjutkan pendidikan mereka. Aspirasi ini mulai terwujud dengan pembentukan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) di Jakarta yang masing-masing kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sepanjang akhir 1950an. Selanjutnya, sejak awal 1960an, IAIN-IAIN lainnya berdiri di berbagai ibukota provinsi, sehingga sampai awal 2002 jumlahnya mencapai 14 IAIN di seluruh Indonesia. Dan, sejak 1997 di masa Dirjen Binbagais Malik Fadjar, fakultas-fakultas cabang IAIN yang terdapat di berbagai kotamadya dan kabupaten dilepaskan dari IAIN induknya dan berubah menjadi STAIN, yang berjumlah 33 di seluruh Indonesia.
Harus diakui, eksistensi IAIN dan STAIN dalam banyak segi, pada dasarnya, turut melestarikan ‘dikhotomi’ antara pendidikan agama (Islam) dan pendidikan umum. Sesuai dengan undang-undang dan ketentuan tentang pendidikan tinggi yang lama, IAIN dan STAIN hanya memiliki mandat untuk bergerak dalam bidang yang sering disebut sebagai ‘ilmu-ilmu agama’ (Islam), sejak dari syariah, tarbiyah, tafsir-hadits, tasawuf, dakwah, adab dan semacamnya. IAIN dan STAIN pada dasarnya tidak memiliki mandat untuk juga bergerak dalam ‘ilmu-ilmu umum’.
Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN dalam konteks terakhir merupakan perluasan mandat perguruan tinggi agama Islam (PTAIN). Sebagai universitas, UIN tidak hanya dapat tetap bergerak dalam ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga dapat bergerak dalam ilmu-ilmu umum. Berkat perubahan itu, di UIN Jakarta misalnya, selain fakultas-fakultas ‘agama’, kini juga terdapat Fakultas Psikologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Semua ini, dalam istilah saya adalah beyond imagination, tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Lebih daripada sekadar perluasan mandat, kehadiran UIN memungkinkan terjadinya ‘reintegrasi’ di antara ilmu-ilmu yang bersumber dari ayat-ayat Qur’aniyah pada satu pihak dengan ilmu-ilmu yang bersumber dari ayat-ayat kauniyah pada pihak lain. Sudah terlalu lama terjadi dikhotomi di antara kedua bentuk ayat-ayat Ilahiyah ini. Akibatnya sudah jelas, umat Islam tertinggal dalam ilmu-ilmu kauniyah. Padahal, kesempurnaan pengamalan Islam tidak hanya memerlukan ilmu-ilmu Qur’aniyyah, tetapi juga ilmu-ilmu kauniyah. Kesejahteraan dunia umat Islam tidak mungkin bisa dicapai dengan baik tanpa penguasaan atas ilmu-ilmu kauniyah.
Karena itu, baik secara epistimologis maupun realitas dan praksis kehidupan Islam dan umat Muslimin, reintegrasi ilmu-ilmu Qur’aniyyah dan kauniyah merupakan keharusan sejarah. Menunda reintegrasi itu hanyalah melestarikan keterpinggiran dan kekalahan.
Lebih daripada itu, perwujudan UIN merupakan tahap lebih lanjut dari pengarusutamaan (mainstreaming) lembaga pendidikan tinggi Islam. Pengarusutamaan itu sebenarnya telah dimulai ketika dalam UU Sisdiknas No 2 Tahun 1989, madrasah diakui dan dinyatakan sebagai equivalen dengan sekolah umum. Dari segi ini, kemunculan UIN merupakan konsekuensi logis dari mainstreaming yang sudah berlangsung pada tingkat madrasah.
Dengan mainstreaming pendidikan tinggi Islam, terbukalah peluang bagi UIN untuk berkompetisi dengan perguruan tinggi lain di tanahair; tidak hanya untuk mencapai ekspektasi keunggulan akademis, tetapi juga sekaligus ekspektasi sosial—harapan masyarakat luas agar PTAIN dapat memainkan peranan lebih luas dan kontribusi lebih besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Peluang ke arah itu kini terbuka lebar; banyak tergantung pada sivitas akademika UIN untuk secara lebih serius mengubah tantangan dan harapan itu menjadi peluang dan kenyataan. Salah satunya, seperti sering dikemukakan Prof Malik Fadjar, ketika menjabat Mendiknas, mengubah mental ‘institut’ menjadi mental universitas.
Marjinalisasi IAIN?
Mainstreaming PTKIN mengandung konsekuensi tertentu, khususnya yang tidak diharapkan (unintended consequences). Dalam kaitan itu, penulis agak lama merenungkan pernyataan Menteri Agama Muhammad M Basyuni pada pelantikan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang 15 Juni 2007 yang kemudian ia ulang dari waktu sampai akhir masa tugasnya pada Oktober 2009. Dalam kesempatan itu Menag menegaskan, Depag menghentikan rencana perubahan IAIN menjadi UIN. Sampai sekarang sudah ada 6 UIN yang sebelumnya adalah 5 IAIN dan satu STAIN. “Mumpung belum berubah, saya stop dulu. Selama saya masih menjabat, tidak akan ada [lagi IAIN] yang berubah status [menjadi UIN]”, ujar Menteri.
Alasan Menag menghentikan perubahan IAIN-IAIN lain menjadi UIN, bahwa setelah menjadi UIN, fakultas agama menjadi tertinggal. “Semua mau menjadi dokter, insinyur dan sebagainya. Tidak ada yang mau menjadi kiyai”, katanya. Menag di sini agaknya mengacu kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang ada di UIN Jakarta; dan Fakultas-fakultas Sains dan Teknologi yang ada di seluruh UIN.
Alasan-alasan Menag menghentikan perubahan ini menarik dikaji. Bahwa kian banyak anak-anak pesantren dan Madrasah Aliyah yang ingin menjadi dokter, insinyur dan sebagainya, tentu sangat syah. Bukan karena bidang-bidang ini lebih menjanjikan dalam hal lapangan kerja, tapi juga karena memang umat, bangsa dan negara masih membutuhkan. Lagi pula, sudah saatnya kian banyak lulusan madrasah dan pesantren yang kelak bergerak dalam bidang-bidang strategis ini. Apalagi, cukup banyak lembaga dan organisasi Islam yang memiliki klinik, rumahsakit dan sebagainya yang membutuhkan lulusan seperti itu.
Sekali lagi, pokok keprihatinan Menag adalah ‘tertinggalnya’ fakultas-fakultas agama. Tertinggal dalam hal apa? Saya kira, tertinggal dalam segi jumlah peminat. Pada IAIN/UIN Jakarta dan Yogyakarta yang memiliki sumberdaya pengajar terbaik, penurunan minat itu dapat dikatakan tidak terjadi. Tapi bagi banyak IAIN dan STAIN penurunan minat itu dalam beberapa tahun terakhir terlihat cukup kentara. Sementara pada pihak lain, fakultas-fakultas baru di dalam struktur UIN, seperti Psikologi, Ekonomi, Sains dan Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Pertanian dan Peternakan dan sebagainya terus meningkat peminatnya.
Penurunan minat dan jumlah input pada fakultas-fakultas agama sebenarnya hampir tidak ada hubungannya dengan perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN. Penurunan itu bersumber setidaknya pada tiga hal. Pertama, pergeseran motivasi menempuh pendidikan tinggi; dari semata-mata menuntut ilmu menjadi lebih berorientasi ke lapangan kerja. Sampai akhir 1970an input yang masuk IAIN (ketika itu belum ada STAIN yang terbentuk pada 1997; dan UIN sejak 2002), terutama untuk menuntut ilmu belaka, tanpa berpikir banyak tentang pekerjaan setelah tamat. Tetapi perubahan sosial-ekonomi sejak 1980an, kian memperkuat motivasi memasuki bidang yang lebih jelas kesesuaiannya dengan lapangan kerja yang tersedia.
Kedua, perubahan-perubahan signifikan pada kebijakan pendidikan nasional secara keseluruhan. UU Sisdiknas No 2 Tahun 1989 yang menjadikan madrasah sebagai ‘sekolah umum’ bercirikan Islam, memunculkan berbagai jurusan umum pada Madrasah Aliyah, seperti IPA, IPS, bahasa, dan ketrampilan. Ironisnya, MA jurusan/konsentrasi keagamaan yang juga pernah disebut sebagai MA PK (Program Khusus Keagamaan) kian sedikit. Akibatnya sudah bisa diduga. Sejak 1997 ketika MA mulai menghasilkan lulusan sesuai Kurikulum Diknas 1994, lulusan-lulusan tersebut mayoritasnya adalah lulusan umum, yang tidak ada sambungannya di IAIN dan kemudian juga STAIN. Sementara lulusan MA Keagamaan sangat sedikit, jauh daripada memadai untuk mengisi demikian banyak kursi yang tersedia di IAIN, STAIN, dan kemudian juga fakultas agama di UIN.
Ketiga, munculnya kebijakan Depag sendiri yang berimplikasi pada kian berkurangnya sumber input bagi IAIN/STAIN khususnya. Tidak ada misalnya kebijakan afirmatif guna mendorong lebih banyak MA Keagamaan, yang dapat memperbanyak potensi input IAIN/STAIN dan fakultas-fakultas agama pada UIN. Hal ini didasari alasan, MA Keagamaan tidak tercantum dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Karena itu, sebaliknya Ditjen Pendidikan Islam mengeluarkan kebijakan phasing out MA Keagamaan, dengan tidak boleh lagi menerima murid. Akibatnya bisa dibayangkan; tahun-tahun mendatang kian tidak ada lulusan MA yang memiliki latarbelakang ilmu agama memadai untuk memasuki IAIN/STAIN/fakultas-fakultas agama UIN. Akibat akhirnya, jumlah mahasiswa IAIN/STAIN kian berkurang, yang bahkan akhirnya membuat mereka tidak bisa lagi survive.
Membangkitkan Kembali
Karena itu, jika kita ingin IAIN/STAIN dan fakultas-fakultas agama UIN tidak marjinal, yang diperlukan bukan kebijakan menghentikan perubahan IAIN menjadi UIN, tapi kebijakan khusus yang mendorong kian tersedianya potensi input bagi mereka. Ini tidak bisa lain, kecuali membangkitkan kembali MA keagamaan dan pesantren tafaqquh fi al-din, yang berkonsentrasi dalam bidang keagamaan.
Sedangkan untuk menghasilkan calon-calon kiyai, gagasan Menag sendiri untuk membentuk ‘ma’had ali’, pesantren tinggi, di beberapa UIN dan IAIN seyogyanya segera diwujudkan sebagai kebijakan afirmatif. Jika semua ini bisa dilakukan, eksistensi UIN tidak lagi perlu disesali, tapi justru disyukuri karena membuka peluang lebih besar bagi anak-anak umat.
Kontribusi Artikel untuk 80 Tahun Prof DR A. Malik Fadjar, 2019