Siapa yang menduga, Jumat, 16 September, menjadi hari terakhir bagi Irman Gusman menghirup udara bebas sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI periode 2014-2019. Sabtu dini hari (17 September), politikus yang juga pengusaha kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, 11 Februari 1962, itu tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya karena dugaan menerima suap sebesar Rp 100 juta terkait kuota gula impor di Provinsi Sumatera Barat.
Setelah diperiksa sekitar 24 jam, Irman ditetapkan sebagai tersangka dan digelandang ke rumah tahanan (rutan) KPK.
Tertangkapnya Irman Gusman sempat menjadi spekulasi sepanjang pagi dan siang karena kabar yang beredar masih berupa dugaan-dugaan. Bahkan Ketua Dewan Kehormatan DPD, AM Fatwa, belum memberi kepastian kabar seusai berkunjung ke KPK, yang tujuannya untuk memastikan apakah benar yang tertangkap KPK adalah Irman Gusman. Kepastian baru diperoleh setelah Ketua KPK Agus Raharjo menggelar jumpa pers di sore hari.
Bagi bangsa Indonesia, tertangkapnya Irman Gusman merupakan tragedi politik yang—untuk sebagian kalangan—agak sulit diterima akal sehat. Mengapa demikian?
Pertama, saat tertangkap, Irman tengah menduduki jabatan terhormat sebagai Ketua DPD RI. Dalam tiga tahun terakhir, ia menjadi ketua lembaga tinggi negara kedua yang tertangkap tangan KPK, setelah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pada 3 Oktober 2013.
Kedua, sebagai politikus, Irman terkenal punya idealisme yang tinggi. Terkenal memegang teguh nilai-nilai keagamaan, dan dalam banyak kesempatan ia selalu menyampaikan komitmennya dalam gerakan anti-korupsi, bahkan ia pernah berpendapat bahwa koruptor layak dihukum mati.
Ketiga, Irman dikenal sebagai politikus yang paling gigih memperjuangkan kesetaraan dan persamaan pembangunan nasional melalui pelaksanaan otonomi daerah. Irman antara lain memprakarsai pembentukan Fraksi Utusan Daerah (FUD) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang telah dibekukan tahun 2000. Karena kepiawaian lobi-lobinya, FUD MPR terbentuk 2001 sekaligus mengantarkannya sebagai Wakil Ketua FUD MPR sejak 2002.
Tak hanya itu, Irman juga tercatat sebagai pejuang utama dalam menuntut penempatan seorang anggota FUD—yang setelah amandemen UUD 1945 bermetamorfosis menjadi DPD—sebagai salah satu Wakil Ketua MPR RI.
Keempat, dari segi penampilan, Irman sama sekali tidak menunjukkan “tampang” seorang koruptor. Wajahnya simpatik, tatapan matanya teduh, tutur katanya runtut, sistematis, berbobot, dengan arah yang jelas.
Sejak awal berkarir di dunia politik, dia selalu tampil menjadi pemimpin. Bahkan sejak mahasiswa, meskipun dirinya Muslim, ia bisa terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (SM-UKI). Dan menjelang Pemilihan Presiden tahun 2014, namanya disebut-sebut menjadi salah satu calon Presiden atau Wakil Presiden RI.
Di luar itu semua (kelima), yang paling sulit diterima akal sehat, ia tertangkap KPK “hanya” lantaran uang suap Rp 100 juta. Padahal dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2014, harta Irman tercatat sebanyak Rp 31,9 miliar plus US$40.995. Artinya, bagi pengusaha sukses seperti dirinya, uang Rp 100 juta itu hanya “peanut” yang tidak ada harganya.
Lantas pelajaran penting apa yang bisa kita petik dari tragedi politik Irman Gusman? Pertama, seperti kewaspadaan terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, kewaspadaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan harus terus ditingkatkan. Ingat nasihat sejarawan dan bangsawan Inggris yang hidup di akhir abad ke-19, Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut (power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely).
Kedua, gerakan anti-korupsi harus terus digalakkan dan penguatan kelembagaan KPK harus terus ditingkatkan. Tertangkapnya sejumlah koruptor kita yakini seperti fenomena gunung es, sedikit tampak di permukaan, yang tidak tampak jauh lebih besar. Meskipun rutan KPK sudah tak mampu menampung para tersangka korupsi, para koruptor yang berkeliaran bebas (pasti) masih lebih banyak lagi.
Ketiga, jika dalam ilmu psikologi kita mengenal istilah cognitive dissonance yang menjelaskan ketidaksesuaian antara pengetahuan (kognisi) dan tindakan, dalam politik bisa juga terdapat political dissonance. Menurut merriam-webster.com, dissonance berarti lack of agreement, especially: inconsistency between the beliefs one holds or between one’s actions and one’s beliefs.
Pengetahuan seseorang tentang bahaya korupsi, atau bahkan komitmen seseorang terhadap gerakan anti korupsi, sama sekali tidak menjamin dirinya terbebas dari tindakan korupsi. Maka, jangan cepat-cepat percaya dengan siapa pun yang selalu berteriak lantang menentang korupsi karena bisa jadi ia termasuk dalam pepatah “maling teriak maling”.
Keempat, don’t judge a book by its cover. Dalam suatu hadits Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat pada hati dan tindakan-tindakan kalian.” (HR. Muslim).
Lihatlah para tersangka tindak pidana korupsi, dan yang sudah divonis hukuman penjara, mereka adalah orang-orang kaya, dan tidak sedikit yang berpenampilan menarik: yang laki-laki berwajah tampan, yang perempuan berparas menawan.
Jangan tertipu dengan penampakan lahir. Yang tampak innocent belum tentu orang baik-baik, yang bertampang garang belum tentu orang jahat. Orang miskin tentu butuh uang, tapi belum tentu ingin mendapatkannya dengan cara mencuri, dan orang kaya belum tentu merasa cukup karena ada faktor keserakahan yang membuatnya terus-menerus menumpuk kekayaan (termasuk dengan cara-cara ilegal).
Demikian tragedi Irman Gusman, memberi kita banyak pelajaran.