Pekan-pekan ini masyarakat di beberapa negara, seperti Turki, Yordania, Kuwait hingga Inggris, turun ke jalan melakukan aksi atas nama solidaritas terhadap warga Aleppo. Aksi juga dilakukan pemerintah Qatar yang menggagalkan pesta perayaan hari nasional negerinya sebagai wujud solidaritas terhadap Aleppo.
Di Paris, Prancis, Menara Eiffel yang biasanya gemerlap oleh cahaya lampu sengaja dimatikan menjadi gelap gulita dengan alasan yang sama.
Dalam aksinya, para demonstran menuduh rezim Suriah telah melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap penduduk kota Aleppo. Rusia dan Iran sebagai sekutu rezim Suriah juga tak luput dari sasaran kecaman para demonstran.
Di media sosial tagar #SaveAleppo menggema disertai foto-foto hancurnya bangunan dan warga sipil yang menderita. Situasi seperti ini mengingatkan kita akan konflik Gaza-Israel.
Apa yang terjadi di Aleppo?
Peperangan Aleppo sebenarnya satu peperangan dari beragam peperangan yang terjadi di Suriah.
Di beberapa tempat, peperangan terjadi antara rezim Suriah melawan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Di beberapa tempat lain, pemberontak dan kelompok-kelompok bersenjata Kurdi memerangi ISIS.
Aleppo adalah kota terbesar kedua setelah Damaskus dan menjadi kota berpenduduk paling padat di Suriah. Konflik telah memaksa kota Aleppo terbelah menjadi dua, bagian barat dikontrol rezim Suriah dan bagian timur dikuasai para pemberontak.
Sebenarnya Aleppo timur secara geografis telah terisolasi dari seluruh arah selama enam bulan. Peperangan Aleppo yang ramai diberitakan belakangan ini disebabkan langkah militer rezim Suriah untuk menyatukan kembali “dua Aleppo” tersebut.
Jadi, peperangan Aleppo adalah episode tentang peperangan rezim Suriah melawan kelompok pemberontak yang menguasai kota ini sejak tahun 2012.
Sebagaimana umumnya daerah yang dikuasai pemberontak, tidak ada kekuatan tunggal di Aleppo. Mereka terdiri dari beberapa faksi atau kelompok, yang kemudian mendirikan dewan lokal.
Yang jelas, tidak ada ISIS di Aleppo. Namun, bagi rezim Suriah, kelompok-kelompok pemberontak yang menguasai Aleppo tak ada bedanya dengan ISIS, mereka dianggap sama saja.
Pertikaian dan ketidakpercayaan di antara pemberontak telah mempercepat keruntuhan mereka. Selama seminggu, pemberontak faksi islamis, misalnya, menyerang kelompok yang didukung Amerika Serikat dan mengambil persediaan mereka.
Seperti disebutkan sebelumnya, peperangan Aleppo hanya bagian dari beragamnya peperangan di Suriah.
Kekuatan-kekuatan asing di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar, Turki, dan negara Barat yang mendukung pemberontak, sementara itu Iran, Hizbullah Lebanon, dan Rusia di pihak rezim Suriah telah membuat perang saudara Suriah ini berlarut-larut.
Dalam peperangan Aleppo, perang antar media dalam konflik Suriah terlihat semakin telanjang. Kita akan mendapati narasi pemberitaan yang berbeda—bahkan bertentangan— antara media dari negara-negara teluk dan media Rusia tentang Aleppo.
Dalam kasus Aleppo tidak mudah memperoleh berita yang benar-benar independen. Mengikuti perkembangan Aleppo dari berbagai macam sumber mungkin satu-satunya cara agar kita tidak terjebak dalam satu framing.
Penderitaan warga Suriah akibat pengeboman AU Rusia di Aleppo memang sulit disangkal, warga sipil berkeliaran di jalanan di antara puing-puing bangunan di musim dingin. Namun, terlalu berlebihan mengatakan telah terjadi genosida.
Keterlibatan pasukan khusus Iran dan paramiliter Hizbullah Lebanon membela rezim Assad (seperti ketika merebut Aleppo) masih saja disalahpahami sebagai kekuatan Syiah yang menindas Sunni di Suriah oleh beberapa kalangan.
Sama ngawurnya juga ketika para pembela rezim Assad memahami Aleppo adalah sarang kelompok teroris, atau semua yang anti-rezim dicap teroris.
Jika orang di Timor Leste atau Suriname salah memahami konflik Suriah, bagaimanapun, menurut saya tidak akan terlalu berpengaruh. Akan tetapi, kesalahpahaman kita di Indonesia memandang apa yang terjadi di Suriah, bisa berakibat fatal dan berbahaya.