Rabu, Mei 1, 2024

The Tale of Old Mortality: Demi Kematian Agung

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Malam sebelum dia bertarung dalam duel klimaks dalam A Hero of Our Time, Pechorin, protagonis dalam Lermontov, membaca sebuah novel sekadar menghabiskan waktu. Dia menulis, “Ini adalah Old Mortality karya Walter Scott. Awalnya saya sekadar ingin membaca, tetapi saya segera terbawa oleh keajaiban kisah dalam novel ini. Penyair Skotlandia ini perlu dihargai di surga untuk setiap momen kesenangan yang dihasilkan oleh karyanya.” Ulasan luar biasa ini dianggap komentar yang paling tidak ironis tapi sepenuh hati yang ditulis oleh Romantic Pechorin.

The Tale of Old Mortality (1816) adalah bagian dari novel tetralogi Sir Walter Scott tentang sejarah Skotlandia pada abad ketujuh belas. Masing-masing tentang empat wilayah negara itu—Perbatasan, Dataran Tinggi, Barat, dan Fife.

The Tale of Old Mortality, novel kedua dari empat novel yang ada, berkisah tentang pemberontakan kaum Calvinis Presbiterian Skotlandia pada tahun 1679 melawan Raja Charles II dari Inggris dan Skotlandia. Tiga perempat pertama novel ini melukiskan nasib sejumlah karakter yang terjebak dalam konflik— Henry Morton, seorang pemuda Protestan moderat; wanita yang dicintainya (Edith) yang merupakan putri bangsawan; Saingan Henry, Lord Evandale, juga seorang anggota kerajaan; seorang prajurit karier, Claverhouse, yang memimpin pasukan reguler; dan seorang pemberontak karir, Balfour, yang memulai aksinya dengan membunuh uskup agung St. Andrews.

Meskipun peristiwa sejarah itu tidak terlalu penting, dan kisah cintanya juga tidak terlalu penting, Old Mortality tetap menarik karena kedalaman dan kompleksitas pemahaman Scott mengenai implikasi pribadi dan politik dari pemberontakan tersebut dan karena kecerdikan psikologis yang digunakannya untuk menggambarkan karakter yang ada. Hal ini juga selaras dengan peristiwa-peristiwa di awal abad ke-21 dengan cara yang pada awalnya tampak luar biasa.

Scott lahir pada tahun 1771 dan merupakan anggota generasi revolusioner. Berita penting tentang masa mudanya dan awal masa dewasanya, ketika dia menulis puisi-puisinya yang terkenal dan memulai novel-novelnya, adalah Revolusi Perancis dan karier Napoleon, yang akhirnya dikalahkan oleh Inggris tepat sebelum Scott mulai menulis tetraloginya tentang perselisihan antar faksi di  Skotlandia abad ketujuh belas. “Untuk apa sebuah revolusi?” dan “Sejauh mana revolusi diperbolehkan?” adalah sedikit pertanyaan yang dijawab Scott dalam The Tale of Old Mortality.

Gaya sastra Scott jernih dan gesit. Dia dengan mudah menggunakan pelbagai dialek yang memang diperlukan—dialek para petani Skotlandia yang nyaris memerlukan terjemahan formal, langgam bahasa Inggris formal kalangan kerajaan, dan berbagai campuran dialek dari keduanya. Dia sangat luar biasa dalam mereproduksi kesaksian dan khotbah yang dipengaruhi Alkitab dari anggota partai pemberontak.

Gaya narasi yang menyatukan semuanya adalah jenaka, cerdas, dan bertempo cepat. Secara keseluruhan, tidak ada yang melelahkan atau bahkan dianggap kuno dalam Old Mortality. Scott mampu menangkap nada yang tepat dalam kedekatan percakapan yang terorganisir, tidak berbeda dengan nada sastrawan yang sezaman dengannya, Jane Austen.

Bagi pembaca modern, sejarah menyangkut Scott dan orang-orang sezamannya sebagian besar tidak diketahui, sehingga alur ceritanya mempunyai dimensi ketegangan tambahan. Tapi pembaca dapat merasakan adaanya keakraban yang suram di dalamnya—sekelompok “penjahat” atau “kaum revolusioner” (tergantung pada sudut pandang Anda) membunuh seorang seorang pemimpin agama yang “benar” atau “jahat” pada suatu malam. Pemerintah mengirimkan pasukan, yang bergerak dari satu rumah ke rumah lain untuk mencari para pembunuh.

Mereka menyapu bersih segala macam warga yang berbeda pendapat. Tak lama kemudian dua kubu terbentuk; pro-pemerintah dan kubu pro-pemberontakan. Mereka harus berperang, namun kenyataannya sebagian besar orang yang terlibat tidak percaya sepenuh hati, baik sesama kubu atau pada kubu lainnya, khususnya Henry Morton, seorang pria muda, berpendidikan dan berambisi sederhana. Ayahnya pernah menjadi pemimpin pemberontakan antikerajaan sebelumnya.

Henry akhirnya memihak para pemberontak karena dia percaya pada kebebasan beragama dan menentang pemerintah yang kejam. Namun Scott terus menganjurkan kesabaran dan sikap moderat seiring berlangsungnya peperangan. Salah satu pencapaian penting Scott adalah kemamapuannya menggambarkan unsur-unsur Evangelis yang fanatik dari kubu pemberontak. Mereka kalah karena mereka tidak memahami dan tidak peduli bagimana dunia ini bekerja. Ketika kaum pemberontak akhirnya dipukuli dan dieksekusi, mereka mati dengan gagah berani karena mengharapkan pahala yang mulia. Scott memahami keanehan dan kekuatan keyakinan mistik agama tanpa mengejeknya atau ikut ambil bagian di dalamnya.

Scott juga sama jelas dan adilnya ketika berbicara mengenai aspek militer dalam konflik. Dia menggambarkan pertempuran tersebut dengan cara yang natural dan terorganisir, sehingga pembaca perempuan modern yang paling pemula sekalipun dapat melihat bagaimana dan mengapa hal tersebut terjadi dan apa maksudnya. Dia juga memahami cara kerja dan pikiran para prajurit. Claverhouse yang keren, anggun, dan kejam sungguh dianggap mempesona, begitu pul dengan Balfour yang dilukiskan kejam, kasar, dan fanatik. Scott adalah sosok pengarang yang mampu menjaga konsistensi karakter; seorang karakter minor akan tetap minor sedari awal hingga akhir penceritaan.

Kelemahan Scott adalah kecanggungannya mengubah suasana. Dia harus mengikuti pertempuran, kampanye propaganda, dan kisah cinta. Ini memerlukan lebih dari model transisi ala “sementara itu, kembali ke peternakan”. Banyak novel modern menemukan beberapa teknik yang menyatukan bagian-bagian yang berbeda secara lebih mulus dan alami. Ini yang mampu dilakukan Scott. Namun suara Scott adalah kompensasi atas kecanggungan yang dimilikinya—suaranya jujur ​​namun penuh seni, rasional namun menggugah, meyakinkan dan mencerahkan.

Pembaca masa kini umumnya menganggap Scott ketinggalan zaman dan relatif membosankan. Tapi persoalan dan dilema yang menarik perhatiannya masih relevan buat kita. Keinginannya sebagai seorang novelis untuk membayangkan hasil yang mencerahkan dan manusiawi layak untuk dihidupkan kembali.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.