The Decameron adalah ringkasan cerita pendek (cerpen) yang disusun, diterjemahkan, dan disusun oleh sastrawan Florentine bernama Giovanni Boccaccio selama masa Maut Kelam (Black Death) pada 1347-1349.
Sepuluh orang muda kaya—tujuh wanita dan tiga pria, dan masing-masing dengan satu pelayan—memilih untuk meninggalkan Florence, sebuah tempat yang diterpa penyakit, kematian, dan kekacauan sosial, dan pergi menuju pedesaan selama empat belas hari. Di sana mereka menemukan dan memanfaatkan tiga lokasi yang indah dan berlimpah sebagai kompleks resor yang sempurna untuk beristirahat dan memulihkan semangat mereka sebelum kembali ke kota.
Di sana, mereka menghabiskan waktu dengan bernyanyi, menari, berpesta, menikmati alam, dan bercerita atau menulis kisah dengan berbagai tema. Ada tentang lelucon atau satir, beberapa di antaranya mengenai hal-hal mengerikan atau bahkan tragis. Ada yang panjangnya hanya satu atau dua halaman, beberapa relatif sederhana seperti lelucon, tapi ada pula yang panjang dan rumit, mengeksplorasi tema-tema sosial, filosofis, dan spiritual.
Sulit untuk melukiskan tingginya pencapaian Boccaccio, yang tentunya merupakan salah satu mahakarya prosa terbesar sepanjang masa. Boccaccio memanfaatkan sepenuhnya segala bentuk situasi dan gambaran yang ada.
Dia mulai dengan lukisan grafis dan rinci kehidupan di Florence selama Maut Kelam. Bukan hanya karena banyaknya jumlah penduduk yang meninggal, tetapi juga bahwa manusia telah dibawa ke keadaan mati rasa dan kebrutalan yang kasar dalam hubungannya satu sama lain, membiarkan yang dicintai mati sendiri dan dikubur sendiri. Sementara yang hidup menjalani hari-hari penuh kerusuhan dan pesta pora, mencabut segala rupa kesantunan dan kebijaksanaan.
Boccaccio adalah pecinta Dante dan The Divine Comedy. Ia kemudian menjadi teman penyair Petrarch. Boccaccio adalah pribadi yang ramah, berpengaruh, dan memiliki relasi yang baik di Florence.
The Decameron sudah terkenal sejak awal peredarannya di kalangan kelas terpelajar. Satu hal yang sangat menarik tentang cerpen ini adalah kesadaran Boccaccio yang nyata bahwa dirinya bakal menjadi sasaran kritik dalam lingkup sastra alih-alih dalam bidang sosial atau politik. Pada awal hari keempat, ia membahas beberapa dua kritikan yang ditujukan kepadanya.
Pertama, beberapa cerita tidak diterjemahkan secara akurat dan kedua materi yang disampaikan (sering bersifat seksual atau erotis) tidak pantas atau tidak layak untuk sastra. Dia membela diri dari tuduhan pertama dengan menantang para pengkritiknya untuk menghasilkan karya asli yang berbeda darinya, dan menyangkut tuduhan kedua ia menegaskan bahwa hasrat seksual adalah sesuatu yang bersifat alamiah seperti halnya rasa lapar.
Untuk menolak hasrat seksual, ia menulis “seseorang harus memiliki kekuatan luar biasa, yang sering kali telah digunakan tidak hanya dengan cara sia-sia tetapi juga untuk mencelakakan orang-orang yang menggunakannya” (one has to have exceptional powers, which often turn out to have been used, not only in vain, but to the serious harm of those who employ them).
Meskipun kisah tragis dan mengerikan, The Decameron pada dasarnya adalah sebuah karya jenaka, dan pilihan Boccaccio untuk menulisnya dalam bentuk prosa meningkatkan kualitas kejenakannnya. Sebagian besar ceritanya adalah tentang terciptanya sebuah hubungan, baik dengan tipu muslihat maupun melalui cinta dan kesetiaan.
Meskipun beberapa cerita, terutama yang terakhir dengan pemeran misoginis, keinginan adanya hubungan pria dan wanita tidak pernah dipertanyakan. Wanita dan pria tidak pernah sempurna, tetapi mereka lebih baik berada dalam pelukan satu sama lain untuk memiliki “kesenangan dan kegembiraan satu sama lain, menyebabkan burung bulbul lebih sering bernyanyi” (delight and joy of one another, causing the nightingale to sing frequent intervals, h. 396) daripada tidak sama sekali.
Sepuluh anak muda membentuk masyarakat jenaka yang sempurna, dikelilingi oleh keindahan dan kemegahan yang dapat mereka hargai sepenuhnya. Boccaccio memasukkan adegan di mana para wanita pergi dan menemukan sebuah lembah kecil sehingga mereka berenang telanjang di danau yang jernih untuk mendinginkan diri. Mereka banyak berbeda pendapat tapi tidak ada konflik.
Selama empat belas hari mendongeng, mereka memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan sopan. Mereka bukanlah pasangan suami istri, melainkan tetap sebuah persahabatan. Keseimbangan di antara semua peserta tetap terjaga.
Meskipun banyak dari kisah-kisah tersebut didasarkan pada sumber-sumber tradisional, Boccaccio mengambil beberapa dari Florence pada zamannya serta sejumlah sumber-sumber Italia yang dikenal oleh para pembacanya.
Dia memanfaatkan nama-nama terkenal, semisal nama Cavalcanti (keluarga yang terkenal) tetapi dengan karakter fiktif. Layaknya Lady Murasaki dan para penulis cerita Daratan Es (Iceland), Boccaccio tertarik pada keunikan waktu dan tempatnya yang dia paham, misalnya kekuatan kelas pedagang Florentine dan keanehan kehidupan borjuis. Banyak tokoh-tokoh dalam cerpen ini mendapatkan kekayaan mendadak lalu jatuh miskin karena peminjaman uang atau perdagangan.
Dia juga menggambarkan meningkatnya fluiditas kelas sosial dan ekonomi serta beberapa masalah kaum profesional— dokter dan sarjana. Dengan kata lain, meskipun struktur dan materi Boccaccio adalah abad pertengahan dalam banyak hal, namun aspek-aspek perubahan dan kemungkinan, perlawanan terhadap figur-otoritas tradisional (terutama gereja), dan individualitas sejumlah besar karakter yang diciptakannya terbilang modern dan prosais.
Prosa adalah untuk mengeksplorasi apa yang unik tentang situasi dan karakter. Kita dapat mengatakan bahwa prosa berkarakter Aristotelian, sementara puisi adalah untuk mengeksplorasi apa yang dilambangkan oleh kejadian dan orang, sesuatu yang bercirikan Platonik.
Seperti banyak penulis prosa, Boccaccio mengadopsi suara narasi yang cenderung melupakan diri sendiri. Ini tampak dari pernyataannya di atas bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk menentang alam dan tak kuasa melampaui ranah seksualitas dan hasrat ke ranah seni dan filsafat. Boccaccio mengejar semacam akumulasi dari penceritaan yang rinci, sesuatu yang bersifat dan berdampak psikologis.
Jika sebuah cerita adalah tentang bagaimana sesuatu terjadi dengan makna yang muncul dari berbagai pergantian peristiwa spesifik dan sering kali kecil, maka tidak bisa tidak sebuah cerita mengeksplorasi perbedaan antara individu. Kenapa?
Karena peristiwa memaksakan pilihan pada karakter, dan pilihan mengungkapkan apa yang menjadi niat dan kecenderungan yang selalu dibuat secara individual. Cukup sering pilihan tersebut bertentangan dengan aturan atau standar konvensional, dan kemudian narator dan karakter harus mempertahankan atau mengilustrasikan alasan untuk pilihan tertentu.
Sementara The Decameron tidak memiliki struktur novel, dalam pengertian bahwa novel ini bukanlah menyangkut satu set karakter yang terlibat dalam mengerjakan satu plot, ia memiliki tumpukan karakter dan kejadian yang khas dari sebuah novel yang mengungkapkan kehidupan (semisal The Tale of Genji ) seperti yang sedang dijalani di sekitar pengarang.
Kemampuan The Decameron merekam dan menyerap fakta begitu kuat sehingga banyak para peneliti, sarjana dan kritikus sastra tertegun dengan kemampuan Boccaccio memotret wabah di Florence. Ia tidak diambil dari pengalaman pengarang tetapi dari penggambaran wabah di Florence pada abad kesembilan menurut pembacaan Boccaccio.
Seperti dalam banyak novel besar dan terkenal, perbendaharaan detail dalam The Decameron menyuguhkan tantangan buat analisis atau sekaligus apresiasi. Pembaca kritis pun bakal bisa menghargai setiap pergantian frase yang brilian dan ironi yang indah dalam kumpulan cerpen ini. Tapi bagi para pencinta The Decameron, karya ini terlalu panjang untuk dibacakan, terlalu rinci untuk difilmkan kecuali dalam bentuk yang disingkat, terlalu beragam untuk didramatisasi, dan terlalu besar untuk dilukis.