Meskipun kita tidak tahu pasti apakah Kate Chopin pernah membaca karya Henry James, ada kemungkinan bahwa James tidak membaca karya Chopin. The Awakening (1899), novel karya Chopin, menimbulkan kontroversi besar saat pertama kali terbit. Saking kontroversialnya, novel ini bahkan dihujat habis-habisan di perpustakaan kota kelahiran Chopin yakni New Orleans, dan Chopin sendiri dikeluarkan dari Fine Arts Club di kota yang sama. Mengingat betapa menggemparkannya novel tersebut, bukan tidak mungkin James justru tertarik untuk membacanya. Dan jika ia memang membacanya, ia mungkin akan mengagumi keberanian Chopin dan pilihannya untuk tidak menghakimi sang tokoh utama, Edna Pontellier.
Salah satu kekuatan utama The Awakening adalah kejujurannya dalam menghadapi pertanyaan abadi tentang peran perempuan dalam masyarakat. Alih-alih langsung menjawab pertanyaan tentang bagaimana perempuan harus diposisikan —sebagai objek atau subjek— Chopin justru mempertanyakan akar permasalahan tersebut: mengapa pertanyaan ini terus muncul? Lebih jauh lagi, ia mempertanyakan peran masyarakat dalam melanggengkan permasalahan ini.
Novel ini memperkenalkan kita pada Edna Pontellier, seorang perempuan berusia 28 tahun yang menghabiskan musim panas bersama suami dan kedua anaknya di sebuah resor danau di utara New Orleans. Keluarga mereka adalah bagian dari masyarakat kelas atas yang makmur. Di tengah kehidupan yang nyaman ini, Edna mulai menyadari bahwa ia berbeda dari perempuan-perempuan di sekitarnya. Ia tidak terpaku pada peran domestik sebagai istri dan ibu, dan ia lebih terbuka terhadap pengaruh dari luar.
Selama musim panas itu, Edna mengalami serangkaian pengalaman sensual yang membangkitkan kesadarannya. Ia belajar berenang, merasakan gairah yang meluap-luap saat mendengarkan alunan piano Frédéric Chopin, dan bahkan jatuh cinta pada seorang pemuda. Ketika musim panas berakhir dan keluarganya kembali ke New Orleans, Edna dipaksa untuk kembali menjalani kehidupan borjuis yang penuh dengan formalitas dan kepura-puraan. Namun, Edna menolak. Ia mulai menjelajahi kota, menemukan tempat-tempat dan cara hidup yang baru baginya. Ia mengambil les melukis dan menjual karya-karyanya.
Namun, semua ini tidak cukup untuk memuaskan dahaga Edna akan kebebasan dan otentisitas. Ia merasa terjebak, bahkan dalam kehidupan barunya yang lebih mandiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil langkah drastis dengan meninggalkan rumah keluarganya dan pindah ke rumah yang lebih kecil. Keputusan ini menandai awal dari babak baru dalam pencarian jati dirinya, sebuah pencarian yang akan membawanya pada konfrontasi dengan norma-norma sosial dan konsekuensi yang tak terduga.
Menjelang akhir perjalanan hidupnya, Edna dihadapkan pada serangkaian kekecewaan pahit yang membuatnya menyadari bahwa kebebasan yang ia perjuangkan ternyata hanyalah ilusi. Kehidupan baru yang ia bangun dengan susah payah, ternyata tak mampu menampung hasrat dan impiannya. Sensualitasnya yang telah terbangun sepenuhnya—yang selama ini ia tekan— menuntut pemenuhan, namun Edna terbelenggu oleh realitas sosial yang mengekang. Ia mendambakan cinta yang sejati dan otentik, namun tak ada tempat baginya untuk mengekspresikan hasratnya tanpa melanggar batas-batas kesopanan dan moralitas yang berlaku.
Di sisi lain, Edna juga terikat oleh tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Meskipun ia merasa terkekang oleh peran domestik, ia tak bisa mengabaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya. Pada akhirnya, Edna terjebak dalam dilema yang tak terpecahkan: memenuhi hasratnya dan mengorbankan reputasi serta anak-anaknya, atau mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi menjaga kehormatan keluarganya.
Dalam keputusasaan yang mendalam, Edna memilih jalan keluar yang tragis. Ia—yang telah terbangun dan menyadari jati dirinya—tak sanggup lagi hidup dalam kepura-puraan. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya, bukan sebagai bentuk kekalahan, melainkan sebagai pernyataan atas kebebasannya. Dengan menceburkan diri ke laut, Edna membebaskan dirinya dari belenggu sosial dan ekspektasi yang selama ini membatasi hidupnya. Kematiannya bukanlah aksi keputusasaan yang dilakukan dalam kegelapan, melainkan sebuah langkah penuh kesadaran menuju pembebasan diri.
Keputusan Edna untuk mengakhiri hidupnya memang miris, namun hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara The Awakening dengan karya-karya sastrawan lain di era yang sama, seperti Henry James dan Edith Wharton. Meskipun mereka sama-sama mengeksplorasi tema perempuan dan seksualitas, James dan Wharton cenderung menyembunyikan atau menyindir aspek seksualitas dalam karya-karya mereka. Chopin, di sisi lain, dengan berani menggambarkan hasrat dan seksualitas perempuan secara terbuka, terutama dalam konteks masyarakat Creole di Louisiana yang lebih terbuka terhadap hal-hal tersebut.
Berbeda dengan Lily Bart dalam The House of Mirth karya Wharton yang mati dalam kekalahan dan keputusasaan, Edna memilih kematian sebagai bentuk perlawanan dan pembebasan diri. Kematiannya yang dramatis di tengah lautan lepas sangat kontras dengan kematian Lily yang sunyi dan tragis di sebuah kamar kos yang suram. Edna, dengan segala kesadaran dan keberaniannya, memilih untuk menentukan nasibnya sendiri, sebuah tindakan yang menginspirasi dan memberdayakan, meskipun dibalut dengan kesedihan.
The Awakening merupakan satu-satunya novel yang ditulis oleh Kate Chopin. Sayangnya, ia meninggal dunia hanya lima tahun setelah novel ini diterbitkan. Meskipun demikian, The Awakening adalah sebuah karya yang sangat layak untuk dibaca, bukan hanya karena plotnya yang menarik (meskipun Chopin berhasil membangun argumen yang kuat untuk Edna), tetapi lebih karena penggambaran yang begitu detail tentang perubahan perlahan dalam cara pandang Edna terhadap dunia dan simpati yang ditunjukkan Chopin kepadanya.
Gustave Flaubert, penulis Madame Bovary, pernah berkata, “Madame Bovary, c’est moi” (Madame Bovary adalah saya). Namun, empati yang ditunjukkan Flaubert terhadap tokohnya, meskipun mendalam, tidaklah sepenuhnya simpati. Berbeda dengan Flaubert, Kate Chopin menunjukkan simpati yang tulus terhadap Edna. Sepanjang novel The Awakening, Edna digambarkan sebagai seorang perempuan yang utuh, dan perjuangannya untuk menemukan jati diri dan kebahagiaan tidak pernah diremehkan atau dianggap sepele.
The Awakening adalah sebuah novel yang signifikan karena beberapa alasan. Pertama, novel ini muncul pada masa ketika perempuan diharapkan untuk memenuhi peran-peran tradisional sebagai istri dan ibu. Chopin, melalui kisah Edna, menantang ekspektasi tersebut dan mengeksplorasi konsekuensi dari seorang perempuan yang berani melanggar norma-norma sosial yang mengekang. Kedua, The Awakening menggambarkan dengan jujur pergolakan batin seorang perempuan yang mencari kebebasan dan pemenuhan diri di tengah masyarakat patriarki. Ketiga, novel ini menawarkan pandangan yang kompleks tentang pernikahan, cinta, dan seksualitas perempuan. Chopin tidak memberikan jawaban yang mudah atau simplistik, melainkan mengajak pembaca untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang keinginan, identitas, dan peran perempuan dalam masyarakat.
Sebagai sebuah karya sastra feminis awal, The Awakening memiliki dampak yang besar pada perkembangan kesusastraan dan wacana gender. Novel ini telah menginspirasi banyak penulis dan pembaca, dan terus dibaca dan dibahas hingga saat ini. The Awakening adalah sebuah testimoni atas keberanian dan visi Kate Chopin, dan sebuah karya yang tetap relevan dan bermakna bagi pembaca modern.