Selasa, April 30, 2024

Teknopolitik Presiden Jokowi

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman

Pameran-Kereta-CepatPara pengunjung mengamati miniatur kereta cepat dalam “Pameran Kereta Cepat dari Tiongkok” di Jakarta, Kamis (13/8). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Mari kita coba pahami mengapa Bapak Presiden tak bisa tenang untuk hal-hal yang berkenaan dengan megaproyek infrastruktur. Ia nampak tergesa-gesa, tak bisa memutuskan dengan dingin khususnya untuk megaproyek termutakhirnya—kereta cepat.

Saya tak bisa menjawab dengan pasti pertimbangan beliau melansir sebuah pekerjaan besar yang akan meninggalkan utang miliaran dolar dan urgensinya dapat dipertanyakan. Dan pejabat-pejabatnya, kita mafhum, akan jauh lebih kewalahan. Tak akan ada pembenaran yang apik untuk proyek nasional yang dampaknya akan terbawa untuk beberapa dasawarsa, sementara gagasannya datang seakan dari antah berantah.

Namun, kalau ada yang bisa saya pastikan, Bapak Presiden sama sekali bukan yang pertama mengambil langkah—saya belum berhak menyebutkan keblunderan—semacam itu. Kawan-kawan Bapak Presiden yang melakukan hal yang sama? Mereka adalah para pejabat di segala masa dan di segala tempat.

Mari kita tengok proyek pesawat TU-144 sebagai ilustrasi pertama. TU-144 adalah pesawat supersonic komersial yang paling pertama mengangkasa. Pesawat komersial yang menembus kecepatan suara lainnya adalah Concorde—mungkin namanya sudah tak asing. Concorde, buatan Inggris berkolaborasi dengan Prancis, mengangkasa dua bulan setelah TU-144 dan keterlambatan yang hanya dua bulan ini amat berarti. Hanya karena ini, media massa marak memberitakan Uni Soviet, inisiator TU-144, telah menyalip Inggris dan Prancis.

Akan tetapi, pesawat yang seharusnya menjadi kebanggaan Soviet itu hanya pernah menyelesaikan 102 penerbangan komersial. Sepanjang beroperasi beberapa tahun, TU-144 tak putus dirundung malfungsi dan kecelakaan. Mesin kelewat panas. Kompresor jebol. Pesawat yang pada awalnya menjadi ambisi nasional dan menguras sumber daya luar biasa tersebut akhirnya dialihkan menjadi pengantar surat sebelum produksinya dihentikan pada 1982.

Mengapa sedari awal proyek ini bisa terwujud, pertanyaannya? Dengan biaya penerbangan yang sulit dibayangkan akan dapat mencapai taraf ekonomis, mengapa para pejabat bersikeras merealisasikan penerbangan supersonic komersial? Untuk kian memperhebat keheranan kita: pelbagai tahapan pengujian menemukan TU-114 masih memiliki kecacatan-kecacatan. Namun, pada 1977 ia tetap diputuskan untuk memulai penerbangan berpenumpang hanya untuk pada akhirnya mengalami kecelakaan yang menisbikan kelayakannya.

Tulis Howard Moon, “ia [TU-144] menginkarnasikan angan-angan kebudayaan—yang isinya tidak rasional dan tak dikritisi—akan prestise, kekuatan, serta kecepatan mahadaya.”

Proyek TU-144 sendiri baru benar-benar bisa dihentikan pada saat para pejabat yang sedari awal mengawal ambisi ini meninggal. Tidak sukar mengartikan ini: apa yang masih menjaga denyut dari proyek yang sudah di pengujung nasibnya ini adalah pejabat-pejabat yang harga dirinya dipertaruhkan bersamanya. Hanya ada satu hal yang lebih mencederai mereka daripada TU-114 yang terus-menerus mengalami insiden memalukan, yakni program TU-114 dihentikan.

Mimpi menjadi negara yang memiliki teknologi canggih hampir bisa ditemukan di mana pun. Prancis pernah menginisiasi sistem transportasi kompleks yang dinamai Aramis pada 1969. Saat satu mobil pribadi memasuki ruas jalanan padat, ia akan tersambung dengan sendirinya dengan kendaraan lain—membentuk kereta dengan mobil-mobil pribadi sebagai gerbong-gerbongnya.

Teknologi transportasi ini dibangun untuk membantu mengurai persoalan kemacetan di Paris, tentu. Namun, yang saya curiga lebih penting untuk para pendukungnya, ia juga mempertontonkan kendaraan jalin-menjalin secara otomatis dalam sebuah atraksi kecanggihan yang hanya bisa dibayangkan novel fiksi-sains pada tahun-tahun tersebut. Proyek ambisius ini tak pernah menjumpai kenyataan. Percobaan demi percobaan terus berujung mobil-mobil bertabrakan dan aliansi politik pendukungnya terus melemah sebelum akhirnya bubar.

Menariknya, Aramis, yang merupakan singkatan Prancis dari sistem pengaturan kereta independen, merupakan nama ksatria fiktif ciptaan salah satu novelis kebanggaan Prancis. Aramis adalah tokoh yang menyimbolkan ambisi dan religiusitas. Pemilihan nama ini jelas bukan kebetulan. Sebuah megaproyek infrastruktur teknologi tinggi yang dipelopori negara, saya ragu, ada yang semata didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Amati kasus-kasus yang ada dan ia tak pernah tidak didampingi variabel lainnya—ambisi dan kebanggaan politik.

Indonesia sendiri bukanlah negara yang asing dengan, sebut saja sekarang, kepelikan teknopolitik ini. Indonesia mempunyai IPTN, Industri Pesawat Terbang Nusantara, dalam sejarahnya. Pesawatnya, N-250, bahkan boleh jadi diproduksi tanpa perhitungan pasar sama sekali. Nilai proyek yang ditanggung pemerintah menurut badan pemeriksa Kongres AS sebesar US$1,2 miliar—lebih besar empat kali lipat dibanding nilai pengembangan pesawat berkelas sama oleh negara lain. Dan, IPTN harus berusaha menjualnya di pasar yang dikuasai total oleh produsen-produsen besar Eropa.

Tetapi kendati membebani anggaran negara dengan jumlah yang menyentak dan hanya pernah dijual ke negara lain melalui barter ganjil dengan beras, kapas, dan gula, setidaknya, berkat N-250 Indonesia pernah memiliki pesawat yang diproduksinya sendiri. Dan, masyarakat terbukti mengingat apa yang perlu mereka ingat saja, yakni perasaan bangga bahwa apa yang dihasilkan negerinya dapat terbang setinggi burung besi canggih produksi negara-negara lain.

Mari kembali ke Bapak Presiden kita dan ambisi menyatukan Jakarta-Bandungnya kini. Orang-orang boleh berspekulasi megaproyek ini terlalu ganjil bila tak mendatangkan keuntungan bagi segelintir orang tertentu. Namun, bila kita tak ingin berburuk sangka, ada satu hal yang bisa dipastikan dari proyek kereta cepat. Bapak Presiden membutuhkan tugu untuk menandai jejaknya dalam sejarah dan, dalam sejarah, tak banyak pilihan kebijakan selain megaproyek infrastruktur yang dapat mengingatkan warga untuk waktu yang lama pada satu pejabat tertentu.

Hanya saja, satu hal perlu teramat diinsafi Bapak Presiden. Monumen yang dibangunnya tersebut boleh jadi akan mengingatkan warga Indonesia di masa mendatang dengan kepemimpinan luar biasanya. Namun, bila yang didapati orang-orang dari monumen tersebut adalah pekerjaan yang buruk, ia pun tak enggan akan mengingatkan mereka dengan ketidakbecusan memimpin presiden kita saat ini. Ia menjadi tugu yang mengabadikan ketakmampuannya. Bukan pencapaian yang diharapkan pastinya.

Dengan demikian, ada baiknya Bapak Presiden, yang mengedepankan dirinya sebagai presiden kerja, berhati-hati. Bertindak riil dan cepat tak selalu lebih baik ketimbang berpikir dan berpikir terlebih dahulu. Ingat TU-114. Ingat Aramis. Ingat N-250.

Ingat citra Anda yang akan hidup melampaui masa kepresidenan Anda sendiri.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.